Gadis muda itu menatap dinding penyangga rel kereta antara stasiun Juanda dan stasiun Mangga Besar. Dinding yang bergambarkan anak-anak yang sedang belajar. Sederet kalimat tertulis di atasnya. ‘Dengan membaca menjadi cerdas’. Di sisi lain dinding berhiaskan gambar dan tulisan yang berbeda. ‘Sekolah, gerbang kehidupan yang lebih baik’. Senyum terukir di bibirnya yang indah, matanya sedikit berkabut. Angannya memaksanya menapaki jejak-jejak kehidupan yang tak mudah terlupakan. Kehidupan di kolong rel kereta.
“Aira, bangun sayang,” ujar bapaknya lembut. “Cepet mandi ya, terus sholat.” Setiap pukul setengah lima pagi, dengan setia bapaknya akan membangunkannya. Ibu sudah terlebih dulu sibuk membuat kue-kue yang sebagian akan dititipkan pada warung dekat rumah dan sebagian dijajakanya sendiri saat Aira tengah berada di sekolah.
Aira menggeliat malas, lalu bangkit dan merapikan tempat tidurnya yang hanya berupa selembar tikar pandan dan kasur bekas yang sangat tipis sekedar punggungnya tak menempel langsung dengan lantai. Ia lalu keluar ruangan yang merupakan rumahnya. ‘Rumah’ baginya adalah sebuah ruang persegi berukuran 3x3m yang terbuat dari triplek, menempel pada dinding pagar lahan milik PT KAI dekat stasiun Juanda. Atapnya terbuat dari terpal yang sudah ditambal di beberapa bagian. Tak ada sekat di dalamnya. Hanya ada sebuah lemari alakadarnya tanpa pintu (jika itu masih pantas disebut lemari) untuk tempat menyimpan baju-baju. Lalu sebuah tikar dan kasur tipis kumal tempatnya tidur, sebuah tikar lagi tempat bapak ayah dan ibunya tidur. Di sudut ruangan itu terlihat beberapa buku-buku dan peralatan sekolah Aira. Bertiga mereka menempati ruangan itu.
Ibunya biasa memasak di samping rumah mereka. Kamar mandi mereka adalah kamar mandi darurat yang dipakai bersama-sama dengan beberapa penghuni rumah-rumah liar disana. Jangan harap ada bak mandi yang bersih dengan pancuran yang sejuk atau bahkan bisa disetel untuk air panas. Kamar mandi itu hanya terbuat dari kain rombeng dirangkap plastik bening yang ditata sedemikian rupa sehingga menutupi orang yang sedang mandi di dalamnya. Tak ada bak mandi, hanya sebuah kran dan gayung untuk meratakan air. Lantainya terbuat dari batu kerikil yang ditaburkan agar tak menimbulkan becek jika terkena guyuran air mandi. Airnya mengalir ke selokan yang memanjang sepanjang tiang penopang rel kereta. Peralatan mandi dibawa masing-masing oleh orang yang akan mandi disitu. Setiap hari, sekitar 15 orang yang memanfaatkan ‘kamar mandi’ itu.
Aira segera mengambil peralatan mandinya dan melupakan dinginnya pagi itu agar segera mendapat giliran mandi sebelum para penghuni lain mulai mengantri. Ia juga harus segera bersiap untuk pergi sekolah yang berjarak sekitar satu kilometer dari rumahnya. Bapaknya akan mengantarnya ke sekolah berjalan kaki sambil mencari barang-barang bekas yang masih bisa dimanfaatkan. Ya, bapaknya memang seorang pemulung.
Keluarga Aira mulai menghuni tempat itu sejak Aira berusia 1,5 tahun. Sebelumnya mereka tinggal di sebuah kampung di Jawa Timur. Bapak Aira termasuk salah satu orang kampung yang terpedaya magnet kota Jakarta. Berbekal tekad dan sedikit uang, bapak dan ibunya membawa Aira yang baru bisa berjalan, mengadu nasib di belantara Ibukota. Sayang nasib tak berpihak pada mereka, setelah lontang-lantung dan bekerja serabutan selama beberapa waktu, keluarga Aira akhirnya tak bisa lagi mengontrak sebuah rumah yang paling kecil sekalipun. Mereka hanya bisa membuat rumah alakadarnya dari triplek dan kayu bekas. Bapaknya menjadi pemulung dan ibunya menjajakan kue-kue buatan sendiri. Tapi keadaan mereka tak menyurutkan semangat bapak Aira untuk menyekolahkannya. Ibunya pernah mengeluhkan pada bapak tentang beratnya menyisihkan uang untuk membeli buku-buku Aira. Tapi bapaknya tak mau Aira sampai keluar dari sekolah. Aira yang beranjak menjadi gadis kecil yang cantik dan cerdas.
“Apa kau ingin, Aira menjadi seperti kita, bu, atau seperti si Luluk yang kelayapan di malam hari mencari om om senang?” kata bapaknya setiap ibunya mulai mengeluh. “Tidak. Aira adalah putri kecilku yang cantik dan cerdas. Aku tak mau ia menanggung derita akibat kesalahan orang tuanya. Seberat apapun aku akan menjadikannya keluar dari lingkaran kumuh ini. Dan aku yakin, sekolah adalah cara yang terbaik untuk itu.”
Sejak itu ibunya tak lagi mempertanyakan kenapa harus memaksakan Aira untuk sekolah. Ia hanya bisa bekerja lebih keras membuat kue-kue untuk dijajakan. Kawan-kawan bapaknya suka meledeknya, kenapa bersemangat sekali sekolah, sementara teman-teman sebayanya sibuk mengamen, mengemis atau bahkan menjajakan diri. Aira hanya tersenyum, atau sesekali menjawab singkat, “Aku ingin meraih rembulan.” Biasanya mereka kan menertawakannya, tapi ia tak peduli. Pada malam-malam purnama, bapak selalu mengajaknya ke sebuah tempat yang keramat bagi mereka berdua. Berdiri di depan dinding tiang penyangga rel kereta yang bergambarkan anak sekolah dan bertuliskan ‘Sekolah, gerbang kehidupan yang lebih baik.’ Lalu memandang purnama yang terang di langit malam dan berkata, “Aira anakku, kamu memang hanya anak seorang pemulung. Tapi, rembulan itu tak pernah pilih kasih memberikan sinarnya, menunggu manusia-manusia untuk meraihnya. Jangan sekali-kali kau takut untuk meraihnya. Rembulan tak setinggi langit, Aira. Kau pasti bisa. Bapak dan ibu akan membantumu sekuat tenaga.” “Bapak yakin aku akan bisa?” “Dengan doa dan usaha yang keras, bapak sangat yakin kau bisa.” Begitulah, setiap purnama, bapak memompakan semangat untuk terus maju. “Kalau sekolah memang bisa membawa kita pada kemajuan, lalu mengapa mereka tak mau sekolah, pak?” “Karena mereka tak bisa melihat rembulan.” Aira tak mengerti maksud perkataan bapak, tapi ia sangat yakin apa yang dikatakan bapak benar. Ia sangat bangga memiliki bapak sepertinya. Karena itu Aira belajar lebih keras meski dengan sarana seadanya. SPP memang sudah tak perlu bayar lagi, tapi kebutuhan sekolah lainnya tetap pelu diperjuangkan. Buku-buku pelajaran tak semua bisa dibeli dengan dana BOS, buku tulis, seragam, sepatu, dan tas sekolah tetap memerlukan biaya yang tak sedikit bagi keluarga Aira. Beruntung Aira anak yang mau menerima keadaan. Seragam kumal, sepatu yang harus ditambal berulang kali, atau buku yang terpaksa harus pinjam temannya dan buku tulis yang harus ia hemat sedemikian rupa tak menyurutkan ia belajar dan bersaing dengan teman-teman lainnya.
Sesekali Aira sangat senang ketika di antara gurunya memberikan tas, seragam, atau peralatan sekolah sekedarnya. Aira memang menjadi kesayangan gurunya. Kondisinya yang kekuranyan tak membuat ia menjadi tertinggal. Kecerdasan otaknya mungkin bukan yang terbaik di sekolahnya, tapi Aira anak yang pintar bergaul dan tekun. Paling tidak ranking sepuluh besar selalu ia genggam. Ia pun ringan tangan membantu teman-temannya dalam segala hal.
Beberapa temannya ada pula yang tak suka dengannya karena iri. Tapi Aira tetap menghormati mereka meski sering kali diganggu mereka.
Suatu hari, sepulang sekolah, bapak mengajak Aira ke sebuah tempat. Universitas. Mereka berdiri di depan universitas tersebut cukup lama. Bapak memandangi bangunan dan mahasiswa yang lalu lalang keluar masuk. Aira tak mengerti mengapa bapak mengajaknya kesana. “Pak, mengapa bapak mengajakku kesini?” “Kau lihat bangunan itu Aira?” Aira mengangguk. “Itu adalah gedung yang akan mencetak orang-orang pintar.” “Bagaimana Bapak tahu?” “Itu namanya universitas. Dan kau lihat mereka yang keluar masuk gedung itu? Mereka itu calon-calon orang pintar. Kau mau seperti mereka?” “Pasti aku sangat ingin. Tapi biayanya pasti mahal, pak.” Binar mata Bapak tak sedikit pun meredup oleh pertanyaan Aira. “Kita pasti bisa. Kau pasti bisa.” “Bagaimana caranya, Pak?” “Aku tak tahu bagaimana, tapi bapak yakin impian bapak itu akan menjadi nyata. Bapak selalu berdoa untukmu.”
Tiba-tiba percakapan mereka terganggu oleh kedatangan seorang satpam unversitas itu. Mungkin ia curiga melihat seorang pemulung dan anak kecil berseragam sekolah dasar sejak tadi memandangi bangunan universitas. “Sedang mencari apa pak?” “Oh tidak ada, pak. Saya sedang membangun mimpi buat anak saya. Suatu saat anak saya akan bisa bersekolah di sini.” Satpam itu terheran-heran dan tersenyum geli. Ini orang, mimpinya nggak kira-kira ya. “Ya, sudah jangan menghalangi mahasiswa yang mau lewat ya.” “Terima kasih pak, kami sudah selesai. Mari!” “Ya, mari.”
Mereka lalu beristirahat sejenak di bawah pohon di pinggir jalan sambil minum air bekal dari rumah. “Aira, kau mau berjanji pada bapak?” “Ya, Pak.” “Berjanjilah kau akan bisa seperti mereka.” “Tapi, Pak…” “Yakinlah, ini bukan sekedar mimpi. Kau pasti bisa. Selama Bapak masih hidup bapak akan berjuang sekuatnya agar kau bisa meraihnya.” “Ya, pak.” “Pun bila Bapak tak lagi bisa mendampingimu, berjanjilah kau akan terus berjuang meraihnya.” “Pak…” “Berjanjilah..!” “Aira janji, Pak.” Kedua anak beranak itu tersenyum. Langit bergetar mendengar harapan tulus mereka, berjanji menyampaikannya pada Penguasa Semesta.
Mereka lalu pulang bergandengan tangan. Bapak adalah tokoh idola Aira. Disaat bapak-bapak yang lain membiarkan anak-anaknya mengamen, mengemis, atau bahkan mencopet dan menjajakan diri, Bapaknya malah menyuruhnya sekolah. Sebentar lagi Aira lulus SD dan ia tak tahu apa bisa melanjutkan sekolah ke SMP.
Malam itu Aira membenamkan di kepalanya sebuah tujuan, sekolah setinggi mungkin untuk meraih rembulan. Apapun, bagaimanapun caranya.
Hari itu, Aira terlambat pulang sekolah. Gurunya memintanya membantu mempersiapkan acara yang akan diadakan oleh sekolahnya esok hari. Aira yang sudah kelas 3 SMA telah menjelma menjadi seorang gadis yang cantik, bersih, dengan mata beningnya yang kelihatan penuh optimisme. Hari sudah menjelang malam. Aira berjalan sendiri melewati sepanjang rel kereta. Bapak sudah tidak menjemputnya seperti ketika masih SD dan SMP. Adzan Magrib baru selesai berkumandang. Namun pemandangan sepanjang jalan ke rumahnya membuat berdiri bulu kuduknya. Selama ini Aira tidak pernah diizinkan bapak untuk keluar malam. Selama ini Aira sudah sering mendengar selentingan tentang aktifitas malam hari perempuan-perempuan tetangganya, tapi baru kali ini Aira melihat sendiri.
Aira makin mempercepat langkahnya ketika merasa ada orang yang mengikutinya dari belakang. Mulutnya tak berhenti komat-kamit meminta pertolongan pada Tuhan. Langkah-langkah yang mengikutinya kian mendekat. “Jangan cepat-cepat, Neng! Mari kita bersenang-senang dulu bersama akang,” kata salah seorang yang mengikutinya. Aira hampir berlari ketika di sebuah belokan yang gelap, sebuah tangan yang kokoh menariknya. Aira nyaris menjerit ketika kemudian ia mengenali orang tersebut. “Bapak!” “Kau diam di sini. Biar bapak beri pelajaran dia.” “Jangan, Pak. Aira takut.” “Kalau terjadi apa-apa dengan bapak, jangan pedulikan bapak. Larilah dan berteriak sekencang-kencangnya mencari pertolongan. Satu lagi, berjanjilah kau akan terus sekolah apapun yang terjadi.” “Pak…” Aira tercekat. Ia sangat khawatir dengan bapaknya.
Bapak lalu menghadapi dua orang pemuda yang sedang mabuk itu. “Berani sekali kau mengganggu anakku.” “Ha ha ha. Memangnya kau siapa? Anakmu itu gadis yang cantik. Akan berguna bagimu jika kau jual pada kami… hua ha ha ha…” Aira bergidik mendengar tawa itu. “Sudah, jangan banyak omong. Mana perempuan itu?” kata lelaki yang satunya mencoba mencari Aira yang bersembunyi dalam gelap. Bapak mencoba menghalangi, namun sebuah tendangan tiba-tiba menghantam kakinya. Baku hantam pun terjadi beberapa saat. Merasa terdesak, bapak berteriak menyuruh Aira lari minta pertolongan. Aira sangat ketakutan tapi ia juga tak tega meninggalkan bapak dikeroyok preman-preman itu. Sampai sebuah benda mengkilat berkelebat menusuk perut bapak. Darah langsung mengucur dengan deras. Aira yang sejak tadi mengintip dalam gelap, menjerit. “Lari, Aira!” pelan suara Bapak berusaha memperingatkan Aira. Antara khawatir keselamatan bapak, Aira berlari sekencang-kencangnya sambil berteriak kesetanan.
—
Aira memeluk ibunya erat. Menatap pusara bapak yang mulai sepi ditinggalkan para pelayatnya. Segalanya tak lagi sama. Bapak tak tertolong setelah seminggu dirawat di rumah sakit. Aira dan ibunya terpaksa pindah rumah demi keselamatan mereka. Meskipun dua orang penyerang bapak telah ditangkap, mereka khawatir suatu saat akan balas dendam. Beruntung, ada seorang polisi yang baik hati, mau memberi mereka bantuan agar bisa mengontrak rumah sederhana. Aira dan ibu memulai hidup baru berdua. Ibunya tetap berjualan kue, sementara ia mencoba memberikan les kepada anak-anak di sekitarnya. Dengan segala kesederhanaan, ia bisa melanjutkan kuliah. Di benaknya hanya ada belajar dan belajar. Prestasinya sangat cemerlang dan berhasil menjadi asisten dosen. Sekarang ia benar-benar menjadi dosen di sebuah universitas ternama. Kehidupannya semakin membaik. Ibunya sudah berhenti berjualan.
Setelah segala yang diraihnya, Aira sangat merindukan bapak dan tiba-tiba ia ingin mengenang bapak dengan mengunjungi tempat tinggal mereka dulu. Semua telah berubah, rumah-rumah kardus dan kayu bekas telah sirna. Lukisan itu masih ada meski telah mulai samar. Beberapa bahkan telah diganti lukisan dan tulisan baru.
Aira menghentikan mobilnya dekat tempat dimana dulu ia biasa mandi. Sekarang tempat itu telah bersih. Semenjak kejadian pembunuhan bapak, tempat itu di bersihkan oleh aparat dari segala aktifitas pemukiman liar. Rumah-rumah kardus habis diobrak-abrik dan dibakar.
Kini Aira berdiri di tempat keramatnya bersama bapaknya dulu. Rembulan telah diraihnya, meski tanpa bapak. Tapi tanpa pengorbanan bapak, semuanya tak mungkin bisa.
Akhir Juni 2011
Cerpen Karangan: Nurlaela A. Awalimah Blog: mutiaramutiaraku.wordpress.com