Namaku adalah Emilia. Aku memiliki seorang sahabat yang begitu sempurna di mataku. Namanya adalah Angela. Kami memiliki satu tujuan yang sama untuk masa depan kami. Negara yang menumbuhkan tunas mimpi yang mendebarkan. Negara itu adalah Jepang. Tujuanku ada disana. Sebuah universitas yang ternama di Osaka. Apalagi kalau bukan Osaka University.
Beruntunglah Angela. Karena dia dapat melanjutkan pendidikannya ke universitas di kota kami selepas lulus dari SMK Negeri favorit di kota kami. Sedangkan aku, aku hanyalah seorang pelayan restauran dengan gaji yang bisa dibilang rendah. Aku hanyalah lulusan SMK swasta yang tidak bisa menandingi kualitas SMK tempat Angela menuntut ilmu dulu. Aku dan Angela berpisah karena aku memilih merantau ke kota besar dan kini menjadi pelayan restauran.
Aku jarang sekali menghubungi Angela, tapi Angela selalu menghubungiku. Untungnya Angela mengerti akan kondisiku. Langkah menuju Osaka University mulai kurancang sejak sekarang. Di pikiranku berputar-putar satu pertanyaan yang belum bisa diketahui jawabannya. Pertanyaan itu adalah: Siapakah yang akan menginjakkan kaki pertama kali di Jepang? Aku (Emilia) atau Angela?
Biarpun kami bersahabat tapi aku anggap hidup itu ajang persaingan. Dan persaingan merupakan suatu cara yang bisa membangkitkan semangat hidupku. Di awal tahun 2014, aku berhasil membeli laptop. Bulan berikutnya, aku berhasil masuk universitas swasta di kota tempat aku bekerja. Langkahku semakin berat ketika aku mendengar kabar bahwa ibuku sakit. Aku pulang ke kampung halamanku. Kulihat ibuku terbaring tak berdaya di atas dipan tua di kamar belakang. Kupeluk tubuh ibuku yang kurus kering. Sinar wajahnya redup. Namun, masih menyisakan kecantikan di masa mudanya dulu.
“Ibu… aku sayang ibu…” aku menangis dalam pelukannya. “Ssstt… jangan menangis ya, nak. Ibu juga sayang kamu. Tapi ibu tidak mau anak ibu menjadi orang yang lemah. Ibu tahu kamu pasti kuat. Dan tetaplah menjadi anak ibu yang kuat.” “Ibu… maafkanlah anakmu ini, bu. Aku jarang menghubungi ibu. Aku sibuk mengejar mimpiku, bu. Aku ingin orang-orang tidak lagi melecehkan dan merendahkan ibu seperti dulu. Aku ingin mereka segan pada ibu.”
Ibu mempererat pelukannya. Butiran air menetes dan membasahi pundakku. Butiran air mata yang mahal untukku. Air mata yang mampu membuat hati ini terguncang olehnya. Ibu melepaskan pelukannya. Ku lihat mata indah ibuku. Jauh, dalam, dan dalam. Sorot matanya menyatakan ungkapan terima kasih untuk semua yang kulakukan untuknya. Keadaan ibu semakin membaik. Pada saat aku hendak kembali ke perantauanku, ibu menundukkan kepalanya. Menyembunyikan matanya yang sembab karena menangisi kepergianku. “Ibu jangan lagi menangis. Ibu harus kuat. Bukankah ini yang ibu ajarkan pada kami, anak-anak ibu.” ujarku. “Ibu… ingin mengucapkan terima kasih, nak. Terima kasih untuk segalanya ya, nak.” seulas senyum menghiasi wajah renta ibuku. Aku pun membalas senyumnya.
Setahun berlalu, akhirnya aku akan menjadi seorang Sarjana Ekonomi dan akan mendapat gelar SE. Jadi bisa kubayangkan namaku akan menjadi Emilia Luna, SE. Seminggu sebelum acara wisuda berlangsung, aku menjemput ibuku dan mengabari Angela bahwa aku akan segera di wisuda. Aku dan ibu berjalan menuju gang kecil menuju kontrakanku.
Acara wisuda akan segera dimulai. Aula kampus dipenuhi mahasiswa dan mahasiswi disertai walinya masing-masung. Aku lulus dengan predikat baik. Bahkan aku mendapat kesempatan meneruskan pendidikan ke negara Jepang. Aku tak menghiraukan biaya kuliah. Karena biaya kuliahku telah ditanggung oleh pemerintah. Kini kuncup-kuncup bunga sakura mulai berkembang di dadaku. Aku tidak lagi peduli siapa yang akan ke Jepang lebih dulu. Kini yang lebih penting, aku siap menyambut impianku. Bunga sakura bermekaran di dada dan angan-anganku.
Cerpen Karangan: Eti Sundari Facebook: Alanza Quianna