Fajar mulai menyingsing. Langit semakin terang. Embun yang semalam telah tiada, namun jejak keringat nenek belum juga lepas. Masih saja nenek membuat gorengan untuk dipasarkan setelah ini. Sedangkan kakek yang terlihat tertidur pulas sembari menunaikan Sholat Shubuh. Aku yang selesai menunaikan kewajibanku, langsung benganti seragam. Dan masih ku sempatkan memberikan sedikit keringatku untuk membantu nenek menyiapkan dagangannya. Yah, begini lah rutinitas keluarga kecil seorang Zara Aisyah. Setiap harinya, nenek berjualan gorengan di pasar. Sedangkan saat siang sampai menjelang sore, kakek bekerja menjadi buruh tani. Tanpa keringat yang bercucuran ini, aku tidak mungkin bisa duduk di bangku sekolah. Saat ini aku memasuki tahun terakhir Sekolah Menengah Atasku.
“Krriinnnggg” Bel masuk sekolah telah dibunyikan. Sudah sekitar 15 menit yang lalu aku duduk di bangku depan guru ini setelah mengantar nenek ke pasar yang satu arah dengan sekolahku. Tercantumnya namaku di sekolah ini bukanlah karena kemampuanku atau kecerdasanku. Aku hanyalah siswa biasa yang dibiayai belajar oleh pemerintah kota karena keterbatasan ekonomi. Sejak umurku 3 tahun, kedua orangtuaku telah kembali kepada sang Khaliq. Oleh karena itu, aku dirawat, dibesarkan dan dibiayai hidupku oleh nenek dan kakekku.
Aku tidak banyak menyukai pelajaran sekolah. Hanya beberapa saja yang lebih kusukai dari yang sekedar kusukai. Seperti Sastra Bahasa Indonesia, Menggambar, dan yang lain. Sejak menginjak kelas 2 SMP aku mulai menggemari kata kata para sastrawan. Saat itu aku sangat suka sekali menulis. Entah menulis puisi atau sekedar belajar memahami makna kata dalam setiap tulisan sastrawan dan penulis hebat. Sesekali pernah aku bermimpi menjadi seorang penulis hebat contoh lah, seperti: Habibburahman El-Shirazy, Andrea Hirata, Oki Setiana Dewi, dan masih banyak lagi.
Oh iya, hari ini aku tidak berlama lama di sekolah seperti jam belajar hari hari biasa. Semua siswa dipulangkan lebih awal dari jam pulang sekolah biasanya. Karena semua guru akan mengadakan rapat mengenai lomba Penulis muda Nasional. Lomba yang rencananya akan diadakan setiap tahun dan baru dimulai di tahun terakhirku ini. Sekitar pukul 11.00 aku keluar dari pagar sekolah. 15 menit berlalu.
“Assalamu’alaikum. Nenek, zara sudah pulang” aku pun masuk dengan senyum mengembang menyambut nenek yang segera mendekatiku. “Loh nduk, kok sudah pulang toh, tumben?” Jawab nenek yang bingung melihat kepulanganku dari sekolah. “Iya nek, ada rapat semua guru di sekolah untuk lomba minggu depan. Jadi semua murid dipulangkan lebih awal nek” Jawab aku sambil mengecup tangan nenek. “Oalah begitu toh nduk, ya sudah cepat ganti baju. Biar nenek siapkan makan sebentar” Kata nenek dan berlalu menuju dapur.
Nenek memang sangat menyayangiku. Aku pun sangat menyayangi nenek dan kakekku ini. Karena merekalah aku mampu menjadi orang yang lebih baik dan berpendidikan. Entah bagaimana caraku berterimakasih atas segala kebaikan mereka. Seandainya pun aku memiliki gudang uang, tidak akan mampu menggantikan atas apa yang telah mereka berika kepadaku. Hari ini aku telah mencicil sebagian cerita pendekku. Sementara kubiarkan nenek istirahat. Namun berganti kakek yang keluar hendak mencari nafkah.
“Nduk, cah ayu. Kakek berangkat dulu ya, jaga nenek mu. Jangan bangunkan dia, biar dia istirahat” Kata kakek memotong tulisan karanganku sambil menoleh ke arah nenek. “Kakek tenang saja, semua pasti beres, hehehe… Kakek hati hati” Jawabku sambil mencium tangan kakek. “Hehe, ya sudah kalau begitu. Assalamu’alaikum” Kata kakek lalu meninggalkan rumah. “Wa’alaikumsalam kek” Jawabku memandang perginya kakek.
Ku teruskan kembali tulisanku yang terpotong karena kakek tadi. Beberapa menit kemudian, adzan Dzuhur berkumandang. Nenek segera ku bangunkan dan ku ajak Sholat. Setelah sholat Dzuhur, kami pun makam bersama. Setelah itu, aku membantu nenek mengupas dan merajang bahan bahan untuk membuat gorengan pada esok hari. Aku pun membuka obrolan siang itu. “Nek, do’a kan aku ya. Supaya cerita ku terpilih dan bisa mewakili sekolah” Kata ku sambil mengupas wortel. “Oalah, iya nduk. Do’a nenek sama kakek selalu menyertaimu nak. Semoga cita cita muliamu itu bisa terwujud nak” Jawab nenek dengan mata berkaca kaca. “Aaamiiin Ya Robbal’alamin, terimakasih nenek” Kataku sambil memeluk nenek.
Sore telah menjelang, kini aku siap membersikan rumah. Sementara nenek sedang sholat ashar. Aku memang sengaja tidak mengizinkan nenek untuk membantuku, aku tidak mau nenek nantinya terlalu capek. Menyapu, mengepel rumah, menyirami tanaman dan jalan kecil di depan rumah telah selesai. Lantas aku mandi lalu menunaikan kewajibanku. Sore itu masih menunjukan pukul 04.30. Masih ada waktu untuk menyelesaikan cerita pendekku. Seperti inilah rutinitas rutinitas pagi hingga sore ku. Sedangkan pada malam harinya, aku hanya belajar sebentar sholat dan langsung saja tidur.
Aku memiliki 2 orang sahabat yang sangat dekat denganku. Terpat tinggalnya pun tidak jauh dari rumah nenek. Namanya Alifa dan Tsania. Kehidupan mereka juga sangat sederhana. Mereka sangat baik dan menyayangiku. Di sekolah pun, kami seperti kembar 3. Antara cara berkerudung dan kebiasaan kami hampir sama untuk setiap harinya. Kami berteman sejak Sekolah Menengah Pertama. kedekatan kami layaknya saudara kandung. Dan yang lebih menariknya adalah, kami bertiga sangat menyukai Karya Sastra. Yah, bersama merekalah aku banyak belajar tentang ilmu ilmu yang tidak kuketahui mulanya.
Memang di setiap harinya, aku tidak bisa lepas dari sebuah puisi ataupun karangan. Aku sangat senang sekali mengarang. Yah, sebagai hiburan dan perbaikkan pribadi saja. Banyak pula di antara teman ku yang biasa menyuruhku untuk membuat suatu kata kata. Banyak dari mereka menyukai karangan serta tulisan ku. Entah bagaimana awalnya
Hari demi hari pun berlalu, sampai pada hari pengumpulan cerita pendek para siswa. Sejak melangkahkan kaki keluar rumah menuju sekolah, Sudah ku niatkan bahwa aku tidak mencari apapun dari cerita yang ku buat itu, hanya untuk membesarkan hati saja seandainya tidak terpilih. Hari ini nenek tidak berjualan, oleh karena itu aku berangkat bersama kedua sahabatku, Alifa dan Tsania.
Mulai hari pengumuman, pengumpulan cerita pendek, hingga penyeleksian lomba cerita pendek, sekolah tidak membebankan pelajaran kepada anak anak. Tak lama kemudian, pihak sekolah memberitahukan jika penyeleksian akan dilakukan 2 hari kedepan. Oleh karena itu dalam 2 hari tersebut, siswa bebas dari pelajaran. Banyak yang berharap terpilih dan mewakili sekolah tercinta, aku pun di antaranya. Tetapi setelah melihat karangan teman teman yang begitu indah, semangatku menjadi turun. Akhir akhir ini pulang sekolah ku lebih cepat.
Hari penentuan pemenang lomba cerita pendek Nasional pun tiba. Sudah siap lah Alifa dan Tsania di depan rumah menungguku. Segera kucium tangan kakek dan nenekku, meminta Do’a agar aku menjadi pemenang lomba Penulis Muda Nasional tersebut. Selepas ku dari pintu rumah, kupanjatkan segala keinginan dalam hati ku kepada Tuhan, berharap Ia mengabulkan segala permohonanku. Berangkatlah kami bertiga dengan penuh rasa harap. Tidak perlu lama untuk menuju sekolah. 15 menit saja Aku, Alifa, dan Tsania sudah duduk di tengah tepat di sebelah Ibu Sulestari, guru bahasa Indonesia kelasku. “Ehm, wah calon penulis muda nasional nih, heheh” kata bu Tari sambil menggoda kami “Ah ibu tari bisa saja, Aaamiiin deh hehehe” Kami serempak menjawab.
Hampir 20 menit sambutan dari beberapa orang telah usai. Kini saatnya Bu desy selaku Kepala Sekolah ku memberitahukan pemenang lomba Penulis muda Nasional. “Nah, Baiklah anak anak. Ibu akan menyampaikan beberapa kegembiraan untuk calon penulis muda berbakat tahun ini. Ialah, dia akan dikirim untuk mewakili kabupaten. Serta mendapatkan beberapa hadiah. Dan yang lebih menggembirakan lagi, ia diberi kesempatan menerbitkan bukunya pada penerbit yang terkenal” Kata ibu desy di sambut tepuk tangan seluruh siswa, ibu/bapak guru dan beberapa Dinas yang datang waktu itu. “Langsung saja saya bacakan isi amplop yang saya terima dari Dinas Pendidikan ini” Sambung bu desy sambil membuka segelan amplop. “Dan yang diberikan kesempatan istimewa oleh bapak Pemerintah Kota Surabaya adalah. “Zara Aisyah dari Sekolah menengah akhir negeri 4 Surabaya”. Pemenang harap naik ke poidium. Untuk bapak dinas dan ananda Zara, waktu dan tempat kami berikan” Kata bu desy dengan penuh bahagia. “Saya sangat bangga sekali dengan siswa ini, cerita yang ia muat sangat mengagumkan. Patutlah ia mendapatkan seluruh hadiah yang telah dijanjikan. Selamat kepada nak Zara, semoga sukses untuk kedepannya” Sambutan bapak Dinas Pendidikan. “Assalamu’alaikum. Pertama tama, saya ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada Allah SWT yang telah melimpahkan segala karunianya kepada saya. Juga rasa terima kasih saya yang sangat dalam kepada nenek dan kakek tercinta saya yang sudah susah payah membiayai saya hingga sampai saat ini. Tak lupa pula untuk para guru guru saya yang selalu mengajarkan dengan penuh keikhlasan dan kasih sayang serta untuk guru kedua saya, kalian semua teman temanku, izinkan saya membawakan sedikit puisi Tanda rasa terimakasih saya “Dalam hitam aku berguru pada duka yang tiada pernah terlihat luka. Dalam putih aku berguru pada kesabaran yang senantiasa memekarkan aroma kebahagiaan” demikian sambutan dari saya, Wassalamu’alaikum”
Setelah aku turun dari podium, aku disambut hangat dengan Alifa dan Tsania beserta ibu bapak guru. Aku tidak sabar untuk pulang, untuk membagikan kebahagiaanku ini kepada nenek dan kakek ku. Terlihat dari depan pintu rumah, kakek dan nenekkku tersenyam bahagia. Langsung saja aku berlari dan merangkul mereka. Bahagianya mereka melihat kemenanganku. Aku pun demikian.
Sejak kemenanganku menjadi Penulis muda Nasional berbakat, aku semakin gemar mengarang. Entah sebuah cerita pendek ataupun sekedar Puisi saja. Semakin lama tulisan-tulisanku semakin baik. Banyak penerbit-penerbit menawarkan kepadaku. Puisi-puisi ku pun banyak yang menyukainya. Semakin lama semakin mudah untukku mengais rezeki.
2 tahun kemudian Bahagiaku tak tergambarkan seperti apa. Kini aku berhasil kuliah dengan hasil keringatku sendiri. Memiliki rumah sendiri, walaupun berukuran sedang dan mampu dihuni untuk 3 orang saja. Kini kakek dan nenekku tak perlu membanting tulang untuk kebutuhan, saatnya aku yang membalas baik budi mereka. Buku buku ku yang telah terbit banyak yang berkomentar baik tentang itu. Aku sangat bahagia. Di tambah dengan menjadi narasunber di berbagai acara bedah buku misalnya. Belum pula waktu bekerjaku yang aku lakukan sore hari. Aku menjadi wanita karir yang sangat sibuk. Sangat tidak kusangka keberhasilanku ini berbuah sangat manis. Sungguh nikmat Allah tiada duanya. Aku semakin khusyu’ beribadah pula. Satu harapanku adalah, semoga kedua orangtuaku disana ikut merasakan kebahagiaanku ini…
Ketika kehitaman terbujur kaku.. Maka putihlah yang lebih baik.. Karena Tuhan tidak menciptakan yang abadi di dunia ini.. Cukuplah yakin dan tetap bersyukur kepada-Nya adalah yang lebih baik dari yang terbaik…
Cerpen Karangan: Muthobiin Naimah Maslichan Facebook: Iin Smk Negeri 10 Surabaya