Seseorang mengguncang tubuhku. “Yash! Bangun!” Aku menggeliat, menepis tangan yang mengguncangku itu sambil masih terpejam. Mataku masih berat untuk dibuka, kantuk masih menguasaiku. “Yash! Aku mau bicara penting, nih.. Bangun!” tangan itu mengguncang tubuhku lagi. Suara Nay sepertinya. Dengan malas terpaksa kubuka mataku. “Kenapa Nay?” sahutku serak akibat bangun tidur. Nay adalah sahabatku, sekaligus teman satu kos dan satu fakultas. “Aku mau berhenti kuliah.” APA? Sisa-sisa kantukku segera hilang. Aku langsung bangun terduduk di atas kasur. Menatap Nay lekat-lekat. Aku memang sering menjadi tempat Nay berkeluh kesah tentang dana kuliah dan biaya hidup. Aku tahu bagaimana sulitnya dia bertahan untuk tetap melanjutkan pendidikan strata satunya, tapi aku tidak pernah menyangka dia akan menyerah sekarang. Saat kami baru selesai dari program Kuliah Kerja Nyata dan tinggal menulis skripsi untuk menuntaskan pendidikan bachelor kami. Kecuali memang ada hal yang sangat genting yang memaksanya untuk itu, kecuali keadaannya sudah tidak tertolong lagi. “Kamu serius?!” tanyaku setengah melotot. Nay mengangguk. “Aku sudah nggak punya biaya lagi, Yash. Aku ke sini hanya mau pamit ke kamu..” katanya. “Nay… kamu jangan sembarangan memutuskan begini..” Aku menasihati. Nay mengubah posisi duduknya, meraih bantalku dan mendekapnya dalam pelukannya. “Kamu harus pikirkan baik-baik, kita ini tinggal menghabiskan satu semester lagi sambil nulis skripsi aja lho, Nay… tinggal itu dan.. selesai!” kataku menjelaskan dengan perlahan-lahan agar lebih terkesan tegas. Agar Nay mau berfikir ulang mengenai keputusannya yang menurutku sangat mendadak begini. Sepertinya keputusan yang emosional. “Yash.. aku capek kaya gini terus…” katanya mulai terdengar sendu. “Keadaannya juga nggak kunjung membaik.. Aku sudah usaha buat ngirim-ngirim karya tulisku ke media massa seperti yang kamu sarankan, tapi nyatanya? 100 cerpen tanpa hasil. Nihil.” keluh Nay.
Aku menarik napas berat dan menghembuskannya lagi. Aku ikut bingung. Bukannya aku tidak tahu perjuangan Nay mencari penghasilan. Dia sudah menjajal semua usaha. Jadi buruh cuci, penjual pulsa, guru privat, pembantu rumah tangga, pelayan restoran, pedagang makanan ringan dan entah apa lagi. Nay selalu berganti-ganti profesi, dan setiap dia mengawali profesinya, dia memancarkan energi optimis yang amat sangat besar.
Terkadang aku memandang Nay dengan kagum. Sahabatku ini pantang menyerah, selalu berusaha bangkit meski usahanya berkali-kali gagal. Gadis itu seperti teratai yang terus tumbuh dengan indahnya di tengah-tengah rawa kesulitan. Tetapi sang teratai sekarang sedang layu.
“Kondisinya tidak seperti kemarin lagi, Yash.. biaya skripsi dan wisuda lebih mahal, ekonomi keluargaku juga makin menyedihkan sekarang.. aku memang harus break dulu, lalu jika sudah sukses suatu hari nanti, aku akan menulis skripsi dan wisuda.“ “Kamu yakin?” “Insya Allah, Yash… Ini yang terbaik.” Aku menarik napas lagi. Cukup kecewa dengan keputusan Nay. “Ya sudah, terserah kamu aja..” “Tapi aku harap kamu tidak termasuk orang-orang yang tergesa-gesa dalam bertindak, juga tidak termasuk yang takut dengan ketidakpastian, juga tidak pesimis dengan keadaan-”
Langit sore agak mendung saat aku sampai di depan rumah kontrakku. Di teras rumah beberapa mahasiswi penghuni kos ini sedang duduk-duduk membahas berita di koran remaja. Melihat mereka mengingatkanku pada Nay. Kami juga suka berkumpul dan mengobrolkan banyak hal dengan teman-teman sekampus di depan kos ini seperti mereka. Ah, kenapa sih sahabatku yang ceria dan penuh semangat itu, harus pulang sebelum janji kami untuk wisuda bersama terpenuhi?
Sampai di kamar aku terkejut. Ternyata ada Nay di dalamnya, sedang asyik membaca majalah sambil tidur-tiduran di ranjangku.
“Lho? Nay?” Gadis manis itu tersenyum padaku. “Aku nggak jadi putus kuliah, Yash..” Senyumku serta merta merekah mendengar kata-katanya. “Alhamdulillah..” sahutku senang. “Apa yang bikin kamu sadar?” tanyaku sambil beranjak duduk di sampingnya. Nay tertawa, “Sadar? Emang tadi aku ngelindur apa?” protesnya sambil memukul wajahku dengan bantal bergambar “angry bird”. “Ekonomi keluargaku memang sedang sulit banget, Yash..” kata Nay. Dia bergerak duduk menghadapku. “Tapi, meskipun begitu aku harus tetap selesai kuliah pada waktunya! Gak pake ngolor!” lanjutnya semangat sambil mengepalkan tangannya dan mengangkatnya tinggi-tinggi sambil bertakbir. Benar-benar gadis yang penuh semangat. Aku pun membeo takbirnya. “Allahu Akbar!” “Lagipula sekarang aku sudah punya solusi untuk masalah keuanganku, Yash..” lanjutnya. Aku mengerutkan kening dan memiringkan kepalaku, penasaran dengan ide Nay. “Aku mau menulis cerpen lagi! Aku baca di buku, ada kok yang sudah menulis ratusan cerpen dan baru cerpen keseribu yang dimuat media. Dari sana gampang saja mengambil kesimpulan, Yash. Cerpen yang kutulis baru 100, terlalu dini bagiku untuk menyerah. Iya, kan?” jelasnya berseri-seri. Wajahnya optimis sekali. Sama seperti hari-hari kemarin –seperti yang sudah kuceritakan– saat Nay memulai satu bisnis baru.
Lihat, kan? Gadis ini sungguh layaknya teratai yang terus mekar dengan indahnya di tengah-tengah rawa kesulitan. Dalam hati aku berdo’a semoga sebelum cerpen keseribunya, Nay sudah mendapatkan honor dari media yang menerbitkan salah satu cerpennya. Aku sungguh ingin melihat senyum bahagia Nay dalam kesuksesan.
“Terus ya Yash… Aku mau.. bla-bla bla..” Nay bercerita panjang tentang rencana-rencananya untuk mendukung bisnis cerpennya dan apa saja yang akan dia kerjakan bila usahanya kali ini sukses. Termasuk membuat percetakan sendiri denganku. Dia bahkan sampai sibuk menyusun nama penerbitan yang diadopsi dari gabungan nama kami berdua, katanya
“NaYash atau YashNay, atau Nanaysh aja?” Kujawab sembarangan, menyebut nama salah satu toko yang kutemukan di kota. “Nana Toys juga boleh…” Gadis itu terkekeh.
Beberapa kali Nay memintaku menjadi editor cerpennya. Menurutku sebenarnya dia berbakat, tapi untuk saat ini, cerpennya masih kurang hidup dan bisa dibilang belum standar untuk diterbitkan oleh media massa. Namun semangat Nay yang luar biasa itu, yang justru menjadi nilai tersendiri dari cerpen-cerpennya.
“Yash!” Panggilnya antusias, wajahnya sangat berseri. Nay berlari tergopoh-gopoh menghampiri aku. Dia segera memelukku suka-cita begitu sampai di hadapanku. “Yash!.. Cerpenku… diterima… media..” Nay melepaskan pelukannya. Kata-katanya terbata-bata akibat napasnya memburu sehabis berlari. “Alhamdulillah..” Syukurku ikut bahagia. “Akhirnya ya Nay… selamat!” kataku sambil menepuk pundaknya bangga. Nay kemudian berhamdalah berkali-kali, berterima kasih pada sang Kuasa dan mengagungkan-Nya. “Allah memang tidak akan menyia-nyiakan usaha orang yang sungguh-sungguh,” tuturku pada Nay. Gadis itu mengangguk setuju. Dia menghapus titik airmata di ujung sudut matanya. Terharu. Aku menepuk-nepuk pundak Nay, memberi dukungan penuh. Aku sangat senang sang teratai kini mekar indah sebagaimana kemarin, sudah tidak layu lagi. “Aku jadi makin optimis sekarang. Ayooo menulis yang banyaaakkk!!!” seru Nay dengan semangat ’45. Aku membeo, “Ayooo!!”
Kami berdua berjalan beriringan menuju kampus. Nay bercerita banyak hal tentang sms dan email yang dia terima dari redaktur majalah remaja yang akan memuat cerpennya di edisi bulan depan. Diam-diam aku mengirim sms “Terima Kasih” pada pamanku yang bekerja di majalah remaja yang tadi disebutkan Nay. Aku pikir, kadang-kadang keberuntungan harus kita panggil dan bukan hanya kita tunggu. Iya kan?
SEKIAN
Cerpen Karangan: Aya Emsa Blog: butirbutirembun.blogspot.com Facebook: anindya aryu emsa