Sudah 5 menit bel masuk berbunyi di hari pertama tahun ajaran baru di sebuah SMA. Murid-murid memasuki kelas barunya dengan tertib. Seorang murid perempuan yang baru datang langsung memasuki ruangan kelas 2 IPS di SMA itu. Baru beberapa langkah memasuki ruang kelas dia sudah disapa temannya. “Selamat pagi, Ketua Kelas! Bagaimana liburannya?” tanya seorang temannya. “Pagi. Liburanku biasa saja. Eh, aku sudah bukan Ketua Kelas lagi. Ini kan sudah kelas 2. Bukan kelas 1 lagi.” Jawabnya setelah duduk di meja paling depan. “Tapi kamu cocok jadi ketua kelas. Di kelas ini tidak ada yang bisa dijadikan pemimpin, Rani!” jawab temannya yang lain. “Enak saja! Aku tidak mau.” Jawab murid itu, yang ternyata bernama Rani.
Tiba-tiba wali kelas yang sekaligus guru geografi Rani memasuki ruangan kelas. Murid-murid langsung duduk di bangkunya masing-masing. “Hei, Rani! Siapin! Buruan, darurat nih. Kita kan belum punya ketua kelas baru!” Seorang teman Rani yang duduk tepat di belakangnya menyuruh Rani. “Ini terakhir kali, ya!” Jawab Rani. “Semua siap! Beri salam!” Rani memberi komando pada teman-temannya. “Selamat pagi, Pak!” Kata murid-murid dengan kompak. “Selamat pagi! Anak-anak, hari ini kita kedatangan murid baru. Hey, you! Please come in!” kata Wali Kelas Rani pada seorang murid laki-laki yang sedang berdiri di depan pintu. Murid laki-laki itu pun berjalan memasuki ruang kelas Rani. Murid laki-laki yang tinggi, putih, kurus dan bermata coklat itu tampak tampan mengenakan seragam putih abu-abu dengan tas ransel di bahu kirinya. Rambutnya dipotong cepak rapi, tampak serasi dengan bentuk wajahnya. Di lehernya terpasang kalung berbandul cincin perak. Semua mata memperhatikan murid baru itu, termasuk Rani. “Anak-anak! Dia namanya Kenichi Satou. Dia dikirim ke sekolah kita karena sedang melaksanakan tugas studi banding dari Negara-nya. Kenichi berasal dari Jepang, tepatnya di Nagasaki. Kalau ingin berbicara dengannya silahkan menggunakan Bahasa Inggris.” Jelas Pak Kepala Sekolah. Murid-murid menatap Kenichi dengan takjub.
Pak Wali Kelas melihat ke seluruh penjuru kelas. Namun semua bangku sudah terisi penuh. Akhirnya, matanya melihat ke meja tempat tangannya menumpu sekarang. Merasa sedang diamati, kepala Rani mendongak ke atas. Ditatapnya Pak Wali Kelas. “Silahkan duduk di sini, Kenichi. Rani duduk sendirian, kan?” Kata Pak Wali Kelas dalam Bahasa Inggris. Rani melongo. Murid baru itu segera duduk di samping Rani. “Sekarang kita mulai pelajaran pagi hari ini.” Kata Pak Wali Kelas sambil berjalan menuju meja guru. “Oh iya, Rani. Saya senang akhirnya kamu yang menjadi Ketua Kelas lagi di sini!” Ujar Pak Wali Kelas sambil menoleh ke belakang. “Eeh? Eeehh! Ta… Tapi, Pak…” Rani terbata-bata ingin protes. “Buka buku cetak geografi kalian halaman 3! Rani, kamu bantu Kenichi belajar, ya!” Kata Pak Wali Kelas, mengacuhkan protes Rani yang terbata-bata. Rani menunduk lemas, dilihatnya Kenichi sudah membuka buku geografinya yang bilingual Bahasa Indonesia-Inggris tepat di halaman 3.
Hari ini dilalui Rani dengan kesal. Akhirnya semua temannya menunjuknya kembali sebagai Ketua Kelas, setelah kata-kata Pak Wali Kelas tadi pagi. Padahal itu semua hanya kesalahpahaman. “Bruk!!” Rani terjatuh saat hendak menuruni tangga. Dia tersenggol teman-teman laki-lakinya yang berlari-lari menuruni tangga. “Kamu tidak apa-apa?” Tiba-tiba seseorang menyapanya sambil mengulurkan tangan kanannya. “Tidak apa-ap…” Baru saja Rani menatap orang yang menolongnya dia langsung terhenti bicara. “Eeeehh? Ken… Kenichi? Kamu bisa Bahasa Indonesia?” Tanya Rani sambil terkejut. “Iya. Ibu saya orang Indonesia. Papa saya yang orang Jepang asli.” Jawab Kenichi sambil tersenyum. “Kenapa seharian ini kamu diam saja? Pak Wali Kelas juga berbicara denganmu dalam Bahasa Inggris.” Tanya Rani. “Yang mendaftarkan saya bersekolah di sini adalah Kepala Sekolah saya di Jepang. Jadi, dia berbicara dalam Bahasa Inggris saat mendaftarkan saya. Karena Bahasa Inggris saya paling bagus di sekolah, makanya saya dikirim ke sini untuk tugas studi banding. Buku pelajaran di sekolahmu semuanya bilingual Bahasa Indonesia-Inggris, kan? Itu membuatku mudah mempelajarinya. Selain itu, Pak Wali Kelas duluan yang menyapaku dalam Bahasa Inggris. Makanya kujawab dalam bahasa yang sama.” Jawab Kenichi. “Oh… Begitu ternyata.” Kata Rani.
Sekolah Rani memang terkenal bagus mutu pendidikannya apalagi ditunjang dengan fasilitasnya yang serba lengkap dan melebihi fasilitas di sekolah lain. Tidak mudah untuk bersekolah di sini. Karena itu banyak juga murid dari kota lain yang datang tiap tahun, selain itu banyak juga murid-murid studi banding dari negara lain selain Kenichi di sekolah Rani. “Tolong rahasiakan ini dari teman-teman yang lain ya, Ran. Aku mau konsentrasi belajar dan menyelesaikan tugasku tanpa diganggu saat belajar di kelas.” Pinta Kenichi. “Baiklah, Kenichi Satou. Aku tidak akan bilang pada siapapun bahwa kamu bisa Bahasa Indonesia.” Jawab Rani. “Apa kamu mau jadi teman pertamaku di sekolah ini? Tapi tolong setiap kita berbicara di kelas kita menggunakan Bahasa Inggris saja, ya?” Tanya Kenichi. “Tentu saja, Kenichi Satou” Jawab Rani sambil tersenyum. “Cukup panggil Ken saja. Satou itu marga ayahku.” Kata Ken. Mereka saling pandang lalu tertawa bersama.
Sejak hari itu Rani menjadi dekat dengan Ken. Anak dari Negeri Sakura itu. Mereka sering menghabiskan waktu bersama di sekolah. Teman-teman Rani sering mengganggu saat Rani dan Ken sedang berbicara berdua. Tentunya dalam Bahasa Inggris. Namun akhirnya mereka semua jadi bercanda bersama-sama sambil belajar Bahasa Inggris. Sungguh hari-hari yang menyenangkan di sekolah para remaja itu. Hingga suatu hari sepulang sekolah, Ken sedang berjalan dengan Rani. “Ran, aku harus pamit.” Kenichi membuka percakapan. “Pamit? Kenapa?” Tanya Rani. “Aku harus kembali ke Jepang. Sudah hampir 3 bulan aku di sini. Masa studi banding-ku hampir habis.” Jawab Ken sambil menatap langit. Rani terdiam sesaat. Dia merasa bodoh karena lupa bahwa Kenichi bukan murid tetap di sekolahnya. “Rani, kamu tidak apa-apa?” Tanya Ken, membuyarkan lamunan Rani. Rani menoleh pada Ken. “Tidak apa-apa, Ken. Hanya saja aku pasti merasa kehilangan.” Jawabnya. Ken menarik napas lalu menghembuskannya perlahan. “Ran, aku juga begitu. Selama di Indonesia kamu selalu menolongku. Kamu teman terbaikku. Jadi tenang saja, aku tidak akan melupakanmu walaupun aku sudah di Jepang nantinya. Aku juga tidak akan melupakan kenangan kita disini.” Kata Ken. “Yang benar? Temanmu kan banyak di Jepang. Ah, kenangan apa? Belajar bersama?” Tanya Rani. “Walaupun temanku banyak, tapi kan berbeda denganmu. Wah, masa lupa? Banyak kenangan kita selain belajar bersama. Waktu kamu jatuh, waktu hujan kita main hujan pulang sekolah, waktu aku pertama kali belajar makan pisang goreng, belajar makan bakso dan makanan lain yang tidak ada di Jepang, masih banyak lagi. Pulang berdua seperti ini kan juga kenangan.” Jawab Ken sambil berkedip sebelah mata. “Beda bagaimana? Wah, kamu hapal semua, ya?” Kata Rani sambil tertawa. “Rahasia!” Jawab Ken sambil tertawa. “Menyebalkan!” Rani mencubit tangan Ken. “Ayo kita pulang!” Ken tertawa lalu menggandeng tangan Rani, untuk terakhir kalinya.
Keesokan harinya Ken mulai berpamitan pada teman-temannya dan semua guru-gurunya. Hari ini adalah hari terakhir studi bandingnya di Indonesia. Setelah mengetahui hal itu, seluruh sekolah diliputi rasa sedih. Hari itu Ken menghabiskan waktu bersama teman-teman sekelasnya. Sepulang sekolah, Ken memberi secarik kertas pada Rani. “Ini nomor ponsel-ku. Besok aku akan berangkat jam 2 siang. Kalau bisa, datang ya! Jangan lupa hubungi nomor-ku!” Kata Ken sambil tersenyum pada Rani. Rani menerima kertas itu.
Keesokan harinya teman-teman dan guru-guru dari sekolah Rani datang ke Bandara. Mereka memberikan kado perpisahan pada Ken. Sekitar 15 menit jelang keberangkatan pesawat, Ken mencari Pak Wali Kelas. “Pak, Rani dimana? Daritadi saya tidak melihatnya.” Kata Ken dalam Bahasa Inggris. “Saya juga tidak tahu, Ken. Mungkin dia terjebak macet.” Jawab Pak Wali Kelas. Ken tertegun. Tak lama teman-teman dan gurunya pamit pulang. Ken masih menunggu Rani di bangku tunggu. 10 menit lagi pesawatnya akan berangkat. “Ran, dimana kamu? Kenapa lama sekali?” Pikir Ken. Ken mulai berjalan. Di saat yang sama Rani tengah berlari-lari mencari sosok Ken. Sahabatnya. Rani lelah, ia terhenti. Matanya menatap sekeliling hingga akhirnya menangkap sosok seorang pemuda Jepang. Satu-satunya orang berkulit putih di Bandara itu. “Ken! Kenichi! Wait!” Rani berlari kearah Ken sambil memanggil namanya. Ken menoleh ke belakang. Wajahnya berubah cerah. “Ran!” Ken berlari ke arah Rani. Ketika sudah berpapasan, mereka berdua berhenti. Sekarang mereka berdua sedang menunduk sambil memegang lutut masing-masing. Mereka kelelahan berlari. “You late! Kamu terlambat.” Kata Ken. “Almost. Hhh… hampir!” Jawab Rani. “Ini untukmu.” Kata Ken sambil memberikan sebuah kalung berbandul cincin. “Kalung?” Tanya Rani. “Ya iya lah. Masa gelang kaki?” Jawab Ken. “Ini kan kalung-mu? Barang kesayanganmu. Kalung yang kamu pakai setiap hari.” Tanya Rani. “Ini kenang-kenangan dariku. Ambilah. Kupakaikan, ya?” Jawab Ken sambil memasangkan kalungnya di leher Rani. “Terima Kasih. Ini untukmu. Tadi aku terlambat karena menjemput ini.” Kata Rani sambil mengeluarkan jam tangan sport warna hitam dari kotaknya. “Wah, terima kasih, ya! Jam tangannya keren sekali.” Jawab Ken. Ia segera memasang jam itu di tangan kirinya. Rani terlihat senang. “Terima Kasih, ya. Aku senang sekali kamu datang, Ran.” Kata Ken sambil tersenyum. “You’re Welcome.” Jawab Rani sambil tersenyum menampakkan deretan giginya yang rapi. “Kamu sudah mau berangkat, kan? Aku pulang ya.” Pamit Rani. “Iya.” Jawab Ken. Baru beberapa langkah Rani berjalan tiba-tiba Ken menarik tangannya dari belakang. Spontan Rani menghadap ke belakang. Ken langsung memeluknya. “Ken? Are you ok? Kamu baik-baik saja?” Tanya Rani. “Ini ucapan perpisahan dariku. Selamat tinggal, aku akan merindukanmu di Jepang. Terima Kasih atas segalanya. Nanti malam hubungi nomorku, ya.” Kata Kenichi. Kenichi lalu melepaskan pelukannya, bersiap-siap menuju pesawatnya. “Selamat Jalan, Ken! Sayoonara!” Jawab Rani. Ken menatap ke belakang lalu melambaikan tangannya sambil tersenyum pada Rani. Sudah beberapa menit Rani menatap kepergian Ken. Rani menatap ke langit, melihat pesawat Ken yang sudah lepas landas. “Sayoonara Tomodachi. Selamat Jalan, Teman.” Katanya dalam hati.
Cerpen Karangan: Yanti Eng Facebook: Yanti Eng