Di sebuah gubug kecil dan reyot, tinggallah Nita bersama ibunya yang sakit-sakitan. Nita adalah anak yang rajin dan cerdas. Namun karena ketiadaan biaya, terpaksa ia hanya bersekolah di sebuah sekolah dasar kecil dan terpencil. Nita sebenarnya sangat ingin bersekolah di sekolah swasta ternama yang ada di tengah kota. Namun itu hanya sebatas angan. Seperti kata pepatah, “Maksud hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai”. Tapi di hati kecil Nita, niat itu tidak pernah padam, ia yakin suatu saat Allah pasti akan memberi jalan orang yang pantang putus asa.
“Nita, ayo masuk rumah, nak! Dingin lho, di luar!” Panggil ibu dari dalam rumah. “Iya, bu…” Nita menurut. Dia masuk rumah dan duduk di sebelah ibunya. Oya, sebelumnya Nita sudah mengambil obat milik ibunya di atas meja makan. “Terimakasih, ya nak…” Ucap ibu sambil mencium Nita. Nita hanya tersenyum. “Sama-sama, bu. Ibu, Nita masuk kamar dulu ya! Nita ngantuk. Hoahmm…” Nita menutup mulutnya yang terbuka. Lalu Nita mencium punggung tangan ibunya. “Iya nak. Besok bangun pagi ya nak… Nanti terlambat sekolah, lho!” Ibu tertawa kecil. Nita hanya tersenyum simpul. Nita hanya sedang memikirkan sesuatu. Dapatkah ibu terus bersamanya? Ia tahu, ibunya menyembunyikan sesuatu darinya. Menurutnya, mungkin ibu terkena penyakit yang berbahaya. Makannya, ibu menyembunyikan hal itu darinya. Pasti agar ia tidak khawatir.
“Selamat siang anak-anak. Sampai bertemu besok.Assalammu’alaikum.” Salam Bu Dina, wali kelas Nita. Nita segera mengemasi peralatan sekolahnya, memasukkan ke dalam tasnya yang tetap terlihat bersih meski sudah pudar warnanya. “Wa’alaikumussalam. Selamat siang Bu.” Murid-murid SDN 3 Kadipiro berlarian ke luar kelas.
Di tengah perjalanan, Mira, sahabat Nita memanggil Nita. “Nita! Ini ada pengumuman beasiswa di SD MIPA 1 Surakarta. Sekolah idaman kamu itu, lho, Nit!” Mira tersenyum sambil menunjuk sebuah pengumuman yang terpasang di tiang listrik. Segera dilepasnya pengumuman itu dari tiang listrik dan diberikannya kepada Nita. Nita mengamati surat pengumuman itu dengan dahi berkerut. ‘Sepertinya ini asli. Persyaratannya mudah lagi! Wah.. ibu pasti senang sekali!’ Pikir Nita di dalam hati. Sesaat kemudian, Nita tersadar dari lamunannya. “Terimakasih ya, Mir! Matamu jeli sekali!” Puji Nita kepada Mira. Mira yang mendengarnya hanya tersenyum malu dengan pipi yang bersemu merah. Lucu! Nita dan Mira kemudian melanjutkan perjalanan ke rumah masing-masing.
“Assalammu’alaikum! Ibu..? Nita punya kabar gembira, nih!” Nita berteriak. “Wah… anak ibu kok ceria banget? Ada apa nih?” Ibu tertawa kecil dan tersenyum. “Ini lho bu… cita-citaku sudah dibuka pintunya.” Nita tertawa sambil menyerahkan pengumuman yang tadi dilihatnya. Ibu tersenyum senang. Bagaimana tidak senang? Cita-cita anak semata wayangnya sudah hampir tercapai. Sebentar…lagi! “Tunggu apa lagi, Nit? Ayo langsung siapkan berkas-berkas yang dibutuhkan, sana gih!” Ibu mendorong Nita yang meringis sampai di depan kamar Nita.
“Ibu, Nita sudah siap, nih! Ibu sudah siap?” Tanya Nita setengah berteriak. “Tunggu sebentar! Ibu mengunci pagar dulu.” Ibu mengunci pagar kemudian menyetop angkot. Sesampainya di SD MIPA 1 Surakarta, ibu dan Nita turun dan membayar ongkos. “Bu, apa benar ini SD-nya? Kok besar sekali, seperti hotel saja!” Nita tercengang. “Iya. Kalau menurut alamat, sih, ini tempatnya.” Ibu menanggapi. Mereka pun masuk dan mengantre dengan rapi. Tak lama kemudian nama Nita pun dipanggil. “Nomor urut 20, Anita As-Syifa, silahkan masuk ke ruangan.” Seorang perempuan memanggil Nita. Nita dan ibu segera berdiri dan masuk menuju ruangan yang di atasnya tertulis ‘R. Bimbingan Konseling’.
Kreek… Kreek… Kreek… “Anita dan ibu ya? Anita silahkan duduk di sini. Ibu di sebelahnya Anita.” Kata seorang perempuan cantik yang memakai kemeja, rok 4 per-4 biru, dan jilbab biru. Setelah menyerahkan berkas dan ditanyai sedikit oleh perempuan tadi yang ternyata bernama Bu Aini, Nita dan ibu segera pulang ke rumah.
Sesampainya di rumah… “Uhuk… uhuk… uhuk…” Suara batuk ibu yang lama tidak terdengar kini terdengar kembali. Bahkan malah terdengar lebih parah dari yang dulu. “Ibu, ibu tidak apa-apa kan? Ibu baik-baik saja, kan?” Tanya Nita khawatir. “Nita… Ibu baik-baik saja, kok! Kamu istirahat dulu saja sana!” Suruh ibu lembut. “Iya, bu. Kalau begitu Nita masuk kamar dulu ya..?” Nita menurut. Ia berjalan pelan ke kamarnya.
Beberapa hari kemudian, Nita mengecek kotak surat di depan rumah. Ternyata ada isinya, dan dari SD MIPA 1 Surakarta. Nita berharap, ia diterima di sana. “Ibu! Ibu! Ada surat dari SD MIPA 1! Kita lihat bersama, yuk!” Panggil Nita. “Iya, iya, nak! Semoga kamu diterima ya…” Kata ibu lirih. Setelah dibuka ternyata benar kalau Nita diterima di SD MIPA 1 Surakarta. Nita senaaang sekali. “Terimakasih ya, bu… Besok kita ke sana bersama ya…?” Tanya Nita dengan haru. “Iya, nak. Akhirnya pintu gerbang masa depan indahmu terbuka juga! “Tapi, besok ibu tidak bisa mengantarmu daftar ulang. Tidak apa-apa, kan?” Tanya ibu.
“Mbak… saya Anita As-Syifa. Saya mendapatkan beasiswa di sini. Kalau boleh tahu, kapan saya bisa mulai masuk sekolah di sini mbak?” Tanya Nita sopan. “Hmm, kalau begitu, coba saya lihat berkas-berkas kelengkapannya lebih dahulu.” Ujar petugas di sana. “Ini berkas-berkas kelengkapannya.” Nita menyerahkan sebuah map. Lalu perempuan itu mengambil sebuah amplop berlogo SD MIPA 1 yang di di dalamnya terdapat surat. “Ini untuk kamu. Berikan orangtuamu, ya… Kamu mulai masuk besok Senin pekan depan. Terimakasih, Selamat siang…” Perempuan itu tersenyum manis. “Iya, mbak… terimakasih kembali.” Nita langsung keluar dan menyetop bus umum.
Sekarang sudah 1 bulan Nita bersekolah di SD MIPA 1 . Ya, memang ada… saja yang usil dan nakal di kelas Nita. Tapi, Nita tetap semangat bersekolah. Karena, Nita sendiri yang berjanji akan belajar dengan giat di SD MIPA 1.
Pada hari Sabtu pekan depan, akan ada lomba cerdas cermat di SD MIPA 1. Keysha, Nita, dan Vera, sahabat Nita, ditunjuk mewakili kelas IV-D. Tetapi tiba-tiba, penyakit batuk ibu menjadi lebih parah. Terpaksa Nita berencana minta ijin tidak masuk sekolah kepada Bu Ima, wali kelasnya. Nita ingin menunggu dan merawat ibunya, tetapi rupanya ibu tidak mengizinkannya. “Nita, Kamu tetap masuk sekolah, ya..? Ibu di rumah sendiri saja tidak apa-apa, kok! Yang penting, Nita sekolah, ya? Ibu mohon, Nita…” Ibu memohon pada Nita. “Ibu, bukannya Nita menolak. Tapi Nita khawatir kesehatan ibu…” Nita menjawab dengan sedikit tangisan. Namun ibu tetap memohon dengan sangat kepada Nita. “Baiklah bu, Nita mau sekolah, deh, kalau begitu…” Nita akhirnya luluh hatinya. Sesaat setelah Nita pergi sekolah, tiba-tiba ibu menjadi sesak nafas. Ditambah dengan batuk yang tak henti-hentinya. “Asy..hadu al.. laa ilaa.. ha il.. lal.. lah, wa asy.. hadu an.. na Muham.. madar.. rasuul.. ullah… Allaahu akbar!!!” Ibu menghembuskan nafas terakhirnya. Tanpa ada, Nita…
Sepulang dari sekolah, Nita begitu terkejut. ‘Mengapa ada banyak orang di rumah? Ada apa ini?’ Tanya Nita di dalam hati. Nita melangkah ke dalam rumah. “Sabar ya, nak…” Kata Tante Lisa, kata salah satu tetangga Nita. “Tante Lisa, memangnya ada apa, tante?” Tanya Nita setengah terkejut. “Ibu kamu me…ni…mening…gal. Sabar ya…” Tante Lisa mengelus punggung Nita. Nita seperti kehilangan ruh. Ia tercekat. Nita tidak percaya dengan apa yang telah terjadi.
Esok harinya jenazah ibu Nita dikuburkan. Nita menangis tersedu-sedu di samping kuburan ibunya. Akhirnya Nita diangkat menjadi anak tiri Tante Lisa dan Om Dahlan. Nita sudah tidak masuk sekolah selama 4 hari, hatinya masih pilu ditinggal pergi ibu yang sangat menyayanginya. Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. ‘Apa aku akan membukakan pintu atau tidak? Sementara tante dan om sedang pergi… Sebaiknya kubukakan saja!’ Pikirku. Kreeek… Kreeek… “Assalammu’alaikum. Nita, sebaiknya kau masuk sekolah lagi saja, deh!” Kata Vera to the point. Bu Ima terlihat menyikut Vera. Nita terkejut karena sahabatnya, Vera, dan Bu Ima selaku wali kelas IV-D datang menjenguknya.
“Nita, bagaimana keadaan kamu sekarang?” Tanya Bu Ima. “Baik, bu. Kalau Bu Ima sendiri bagaimana? Oya, Bagaimana keadaan kelas?” Tanya Nita “Baik. Kelas juga baik, kok! Kan ada Zeta, wakil ketua.” Jawab Bu Ima. “Nit, aku dan teman-teman mohon kamu sekolah lagi…” Vera memohon. “Tapi, Ver, aku masih trauma atas…” Nita sengaja menghentikan ucapannya. “Trauma kan bisa dihapus dengan tertawa bersama dan sejenisnya…?” Desak Vera. “Hmmm, ya sudah deh! mulai besok aku akan masuk sekolah lagi..!” Nita menjawab dengan senyuman manisnya. Bu Ima dan Vera pun merasa gembira karena Nita mau pergi ke sekolah lagi.
Cerpen Karangan: Hafshah Mufidah Facebook: Hafshah Fida Huhuhu.. Gaje! Jamankapan_ini Latepost Kelas_4 SD