Ada keadaan dimana harapan terpatahkan begitu saja oleh takdir. Perlahan-lahan terbakar menjadi abu lalu beterbangan dihembus angin. Kita memang merencanakan yang terbaik, tapi rencana Tuhan jauh lebih baik. Butuh perjalanan panjang dan perjuangan yang tidak biasa untuk sampai ke titik finish yaitu kenyataan. Disini awal kisah akan dimulai…
Aku sendiri tak percaya, aku mampu banting stir dari kedokteran gigi. Aku mengalah… Mungkin tak perlu dibahas mengenai siapa, mengapa dan kenapa aku mengalah. Aku mengalah bukan tanpa pertimbangan. Kawan, perlu kau ketahui ada saat dimana kehendak dikalahkan oleh kebutuhan. Mungkin sekarang kau merasa impianmu sudah sampai di awang-awang, terbang melayang-layang di atas kepalamu, namun tanpa kau sadari sesaat angin kencang telah membawanya pergi. Saat itu kau akan merasa tak ada lagi cahaya, tak ada lagi harapan, hanya rasa rugi dan kekecewaan. Percayalah nun jauh disana, di bukit tertinggi sana, ada secercah harapan baru yang lebih gemilau dari impianmu sekarang.
Tadi aku mengatakan bahwa aku mengalah bukan tanpa pertimbangan. Aku tahu dari awal kau pasti bingung dengan apa yang sedang Aku bicarakan. Mari, Aku ceritakan satu per satu. Seperti orang kebanyakan, aku banting stir memang karena aku takut nilaiku jauh berada di bawah. Aku juga tidak tertarik untuk bekerja, kalau pun berkerja, mau kerja apa? modal ijazah SMA saja?, haha… nggak bakalan laku.
Kemudian dalam renungan Aku berpikir keras. Mencampur adukkan antara impianku dengan kerja keras orangtuaku mencari nafkah sampai larut malam untukku dan adik-adik. Tidak terbayang kalau aku sampai berhenti disini hanya karena masalah mau mengalah atau tidak. Tidak sanggup aku melihat rawut kekecewaan di wajah mereka. Itulah pertimbangan yang Aku katakan tadi kawan yaitu mereka, orangtuaku. Ikut ujian SBMPTN bisa saja, namun harapan orangtuaku untuk SNMPTN jauh lebih besar. Agar Aku bisa kuliah di perguruan tinggi negeri lewat jalur undangan tersebut. Kalau Aku ikut SBMPTN pun persiapanku juga kurang matang. Salah satu kebodohanku yang paling Aku sesali saat itu. Apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur, terlambat jika harus memulai dari awal lagi. Namun Aku harus tetap kuliah!. Jika di Melayu sana, di Belitong, di kampung Mas Andrea Hirata ada istilah bujang lapuk, disini Aku juga tidak mau disebut sebagai gadis lapuk yang hanya penghuni rumah saja.
Zaman kegalauan segera dimulai. Ini bukan soal kegalauan cinta atau pun cek-cok kekasih seperti kebanyakan remaja. Ini soal harga diri dan masa depan. Harga diri karena Aku sudah terlanjur mengatakan akan kuliah di UNAND dan mengambil jurusan kedokteran gigi. Masa depan yang saat ini sudah diambang kehancuran karena terpatahkan oleh satu tiupan angin kencang dan harus segera dibangun kembali. Mau bertanya entah kepada siapa, karena Aku tinggal di tengah lingkungan pesantren, jadi tidak ada tumpuan untuk bertanya mengenai masalah kuliah.
Ok, magrib aku putuskan ke Ganesha Operation (GO). Bicara soal GO, hahaha… ini yang membuat Aku sedikit mampu mengangkat kepala ketika ditanya orang-orang. Kawan, biarkan Aku bercerita sedikit kenapa Aku bisa bimbel di Ganesha Operation, hampir semua orang tahu kalau biaya masuk ke sana sangatlah mahal bagi orang kecil seperti keluargaku. Bagiku, Ayah dan Ibuku adalah orangtua nomor satu seluruh dunia. Mereka bukan pegawai negeri ataupun pengusaha. Ayahku adalah seorang guru pesantren yang mengajar suka rela dan tidak ada gaji tetap, kadang digaji, kadang juga tidak. Ibuku hanya seorang ibu rumah tangga biasa yang berjualan makanan ringan dan membuatkan sambal untuk santri dan santriwati di lingkungan pesantren demi membantu mengurangi beban Ayah.
Kalau aku boleh jujur Aku tidak pernah merasa kekurangan apapun. Ini bukan soal materi tetapi juga perhatian dan kasih sayang. Jika dibandingkan dengan teman-teman yang orangtuanya memiliki materi lebih di luar sana, Aku bukanlah apa-apa. Namun di balik kekurangan itu, orangtuaku selalu berusaha mencukupi semua kebutuhanku. Salah satunya untuk bimbel di GO. Jika mereka yang bimbel di GO karena uang orangtuanya yang berlebih, Aku malah sebaliknya. Aku bisa bimbel di sana karena tabungan orangtuaku yang mereka kumpulkan selama beberapa tahun yang lalu dari hasil uang yang tidak seberapa. Sekali lagi Aku katakan Aku bangga, Aku sangat bangga bisa terlahir dan menjadi bagian dalam keluarga sederhana ini.
Kembali ke topik. Sampai di GO aku meminta kepada Contumer Service (CS) untuk diberikan jadwal konsultasi jurusan malam itu juga. Satu jam lebih waktu berlalu, akhirnya Aku bisa berkonsultasi dengan kak Nanang (NN), guru matematika di GO. Setelah melalui diskusi yang panjang selama dua jam. Tepat pada pukul sepuluh malam, Aku putuskan untuk mengambil jurusan Teknik Pertanian UNAND sebagai pilihan pertama di jalur SNMPTN. Kata-kata kak Nanang telah mampu menghipnotis pikiranku dan mencabut akar-akar kedokteran gigi di kepalaku sampai ke urat-uratnya.
Sekarang tibalah saatnya hasil jalur SNMPTN diumumkan. Dag-dig-dug, jantungku lebih cepat memompa darah dari sebelumnya. “Alhamdulillah, Aku LULUS!!!”. “Aku diterima di Teknik Pertanian UNAND…”. Bahagia rasanya dan sangat melambung-lambung. Akhirnya, masa depan yang sudah diambang kehancuran tadi dapat Aku rangkai kembali. Soal harga diri biarkanlah, yang terpenting Aku bisa kuliah di Universitas Andalas, itu sudah cukup. Selain lulus di jalur SNMPTN, Aku juga mendapatkan beasiswa bidikmisi. Kesempatan yang tidak boleh Aku lewatkan. Setidaknya Aku bisa sedikit meringankan beban orangtuaku dalam masalah biaya kuliah. Tanpa beasiswa ini mungkin Aku juga tidak mampu bertahan kuliah nantinya, karena melihat kondisi keluargaku.
Aku lihat dalam-dalam tulisan yang ada di layar monitor, penuh dengan wajah keseriusan. “Teknik Pertanian”, terpampang jelas di depan mataku. “harapan baru sudah datang, Ia telah menanti di luar sana”. Di bawah Aku kepalkan tanganku erat-erat. Di dalam hati Aku berbisik, “Terima kasih Tuhan (Allah SWT), di saat satu pintu tertutup ada ribuan pintu lain yang telah Engkau bukakan untukku”.
Cerpen Karangan: Syafiayata Asrarin Nas Facebook: Syafiyata Asrarin Nas