Siang yang teramat cerah membuat Rendra tak henti mengusap keringat di dahinya, ia harus berjalan puluhan kilometer untuk menempuh langkah ke sekolah SD satu-satunya yang ada di wilayah tempat tinggalnya. “Kamu ini kenapa, apa yang akan kamu kejar dari sekolah yang membutuhkan banyak biaya itu” sang ayah selama ini selalu protes terhadap keinginan Rendra untuk tetap sekolah. “Sekolah itu bisa membuat keluarga kita lebih baik, saya yakin ayah akan mengerti jika suatu saat saya tidak lagi menjadi anak tukang tarik bantalan yang miskin” meski begitu sang ayah tetap tidak suka dengan pendirian putranya. Ibunda yang lemah hanya bisa memeluk dan menguatkan, karena di dalam rumah ini ayahlah yang berperan mengatur segalanya.
Malam ini Rendra membaca buku catatannya dengan lampu yang berbahan dasar minyak tanah, karena desa terpencil itu belum terjamah kemajuan teknologi Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir. Ibunda duduk di tempat tidur reyot peninggalan kakek, “Sedang belajar apa?”, “Bahasa Inggris, Bu”, “Apa kamu tidak mau membantu bapakmu bekerja?”, “Menjadi kuli tarik bantalan, Bu?”, “Iya” Ibunda membelai halus rambut putra kesayangannya, “Rendra, kamu adalah putra satu-satunya keluarga ini yang akan meneruskan perjuangan bapakmu” sang bunda terlihat sedih, Rendra yang duduk di bangku SD kelas 5 itu memegang jemari malaikat yang begitu di cintainya, “Bu, saya tidak akan melupakan perjuangan bapak, tetapi apakah salah jika saya ingin membahagiakan ibu dan bapak dengan cara lain” sang ibu menghela nafas resah, “Tapi ibu tidak ada dana untuk meneruskan sekolah kamu”, “Pasti ada jalan, Bu” dua insan itu berpelukan dalam dekapan sunyi. Keinginan Rendra untuk meningkatkan mutu keluarganya begitu besar, putra Dondo itu ingin menjadi salah satu putra sukses di pulau Sulawesi.
Kelulusan sudah di depan mata, baru tadi pagi Rendra didaulat menjadi lulusan terbaik SD Negeri Lampasio. Tetapi kebahagiaannya harus surut ketika ia mendengar berita duka dari tetangganya, “Ada apa, Bu?” tanya Rendra polos, ia masih memegang piagam dari sekolahnya yang membuat ia percaya ada jalan menuju sukses. Ibunda memeluk putranya dengan sedih, ia tak sanggup menguntai kata untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada kepala keluarga yang selama ini mereka cintai. Meski harus bergelut dengan terik matahari, keringat tak mampu menandingi banjirnya air mata Rendra di atas pembaringan sang ayah. “Ayah, maafkan Rendra yang selama ini telah mengecewakan ayah” ia berada di tempat itu seorang diri, “Rendra tidak akan membantah apa yang ibu katakan, karena dulu Rendra telah banyak membuat ayah kecewa. Maafkan Rendra” kaki kecil itu melangkah menuju rumah, kampung halaman yang menjadi pelindungnya selama ini. “Bagaimana ini, saya tidak ada urusan dengan bapak yang mati karena proyek saya lebih berharga” tuan kayu itu mulai marah di hadapan wanita setengah renta yang paling Rendra kasihi. Sebagai putra satu-satunya, ia harus bisa menjadi tulang punggung keluarga mengingat keadaan ibunya sudah tidak memungkinkan untuk bekerja. “Baik, saya akan masuk menggantikan bapak” ucap Rendra lantang, “Rendra, kamu akan masuk ke SMP Negeri”, “Bu, sebagai putra yang baik saya ingin membuat ayah bangga karena saya bisa menjaga ibu yang telah ayah titipkan” sang bunda memeluk putra kesayangannya, ia menangis sedih karena putranya yang sudah berusaha keras mendapat beasiswa harus mengubur dalam-dalam keinginannya melanjutkan pendidikan.
Hari demi hari Rendra bekerja begitu keras di banding apa yang ayahnya kerjakan selama ini. Tenaga mudanya yang kuat sengaja dimanfaatkan untuk kepentingan pihak atas, “Hei Ren, apa kamu tidak mau melanjutkan sekolah?” tanya pak Gusman teman akrab ayahnya, “Mau pak, tapi apa yang saya harapkan lagi, bapak sudah tidak ada dan ibu tidak mungkin bekerja untuk memenuhi kebutuhan kami” terkadang Rendra memang iri melihat teman-temannya memakai seragam putih biru dengan bangganya. Tetapi sebagai putra Dondo yang sebagian besar pekerjaannya ada pada pabrik kayu, ia harus rela menjadi kuli bantalan. Sang bunda semakin renta, beberapa waktu ini ia sering batuk mengeluarkan darah, membuat Rendra juga semakin jarang masuk kerja karena harus merawat satu-satunya malaikat yang tersisa.
“Rendra putraku” suara bunda tak sesegar biasanya, ia mulai terlihat kurus dan pucat, “Iya Bu, Rendra di sini dan akan selalu di sini menemani ibu” batuk kecil yang kadang membuat malaikat itu tidak bisa tidur sering datang menyerang. “Ibu bangga pada putra kesayangan ibu” Rendra membelai tangan kusut itu, “Jika ibu tiada, maukah kau berjanji kepada ibumu yang bodoh ini?”, “Ibu tidak boleh mengatakan itu, ibu harus tetap bersama Rendra dan melihat bagaimana Rendra akan menjadi orang sukses” sang ibunda menggeleng, “Orang dondo tak akan berubah nak…” suara itu semakin melemah, “Tak akan berubah… tak akan jika tetap menarik bantalan…” Rendra tak kuasa membendung air matanya, “Jadilah orang sukses dengan pendidikanmu, buatlah ibu bangga dengan apa yang kau dapatkan dari ilmumu” Rendra pun semakin terisak, “Jadilah putra kesayangan ibu, putra kesayangan bangsa ini…” wanita yang amat dikasihinya harus kembali menggores luka teramat dalam di hati Rendra, “Ibu…” malaikat itu dimakamkan di samping makam suaminya, Rendra kembali menjadi orang terakhir yang menunggu makam itu.
Langkah Rendra semakin melemah, ketika ia hendak jatuh sebuah tangan nan kokoh menopangnya. “Apa? Bapak ingin menyekolahkan saya?”, “Iya, kamu adalah siswa berprestasi, saya tidak ingin otak kamu harus berhenti sampai akhirnya tumpul tanpa ada usaha”.
Semenjak hari itu Rendra giat belajar dan mengikuti les untuk menimba ilmu sebaik mungkin demi menjaga amah malaikat hatinya, ia berhasil lulus SMP, lulus SMA dan orang berhati mulia yang sejatinya adalah kepala sekolah SD yang begitu tanggap terhadap prestasi Rendra, meminta putra dondo itu untuk melanjutkan pendidikannya di Angkatan Bersenjata Repulik Indonesia. Karena giat dan gigih serta semangat yang dimiliki Rendra, ia berhasil menjadi seorang Brimob yang disegani karena kedisiplinan yang tinggi.
Hari ini ia pergi ke suatu tempat dimana kedua orang tuanya diistirahatkan beberapa tahun yang lalu, ia duduk di samping makam ayahnya, “Assalamu’alaikum ayah, ini anakmu.. anak yang selalu membuatmu jengkel, karena tak pernah mengikuti ucapanmu” Rendra merasa dadanya sesak, “Anak yang ingin membuatmu bahagia, karena anakmu yakin bisa menembus cakrawala dengan pendidikan” beberapa saat kemudian ia beralih ke makam ibundanya, “Ibu… Rendra datang…” di sini air matanya mulai membanjir, “Rendra datang untuk membuktikan janji Rendra pada ibu, Rendra sudah menjadi orang, Bu” ia menunjukkan tanda identitasnya sebagai seorang Angakatan, “Rendra sangat menyayangi ibu, Rendra akan menjadi putra kebanggaan ibu yang selalu menjadi pelita penerang surgamu…” air mata itu adalah air mata pengingat, dimana orangtualah yang selalu menjadi penolong disaat kesulitannya menentukan arah. Sebagai seorang putra, Rendra ingin menyejahterakan kehidupan keluarga dan saudaranya yang masih tinggal di Kampung Tengah. Kampung yang menjadi tempat lahirnya, kampung yang menobatkan ayahnya menjadi tukang tarik bantalan dan kampung yang menjadi pemicunya untuk sukses seperti saat ini. Hari ini Rendra membuktikan bahwa pendidikan adalah mutiara yang harus dikejar dan diperjuangakan, agar hidup manusia tidak dijajah oleh kebodohan dan kemiskinan.
Cerpen Karangan: Ikke Nur Vita Sari Facebook: Ikke N Vita Sari