Riiiiiing “Ok anak-anak, bel sudah berbunyi,” guru Bahasa Indonesia, Bu Neneng, berkata sambil mengelilingi kelas. “Silahkan pulang.”
“Akhirnya,” Kezia bergumam, sambil menaruhkan buku tulis ke dalam tasnya. Temannya, Mara, berdiri dari kursinya dan mengatakan, “Yay! Sekarang pulang!” Temannya, Laras, tertawa kecil. “Guys, kan masih ada bimbel.” “Oh iya,” Mara berkata dengan lelah, duduk lagi di kursinya. “Ugh, mengapa kamu harus mengingatkan kita?” Kezia mengeluh, menutup resleting tas. “Yuk.” Mereka bertiga ke luar kelas dan bertemu dengan teman satu lagi, Alana. “Ugh,” Alana mengeluh, berjalan ke arah Kezia, Mara, dan Laras. “Kalian bimbel gak?” “Iya,” mereka berkata serempak, Kezia dan Mara kelihatan lelah. “Aduh, menurut aku bimbel di sekolah enggak membantu,” Kezia mengatakan penuh frustrasi. “Bimbelnya udah tiga hari seminggu, dua jam sampe sore! Memang mereka pikir tidak capek? Udah ngantuk, pasti gak bisa menyerap pelajaran! Bagaimana belajar?” “Iya kan? Mama aku juga gak peduli soal UN, sekolah aja yang mengatakan bahwa kita harus datang bimbel,” berkata Mara. “Tapi mama aku peduli, kalau disuruh sekolah aku harus dateng,” Alana mengatakan. “Aduh,” Kezia mengeluh, “Capek.” “Sama,” Mara dan Alana mengatakan serentak. “Tapi sebetulnya aku ingin UNnya bagus, walaupun tidak akan menjadi masalah jika nilainya bagus atau jelek, aku akan merasa bahwa aku berhasil melakukan sesuatu dengan benar.” “Iya, sama,” kata Kezia. “Tapi materinya susah untuk dimengerti.” “Eh guys, kalau kalian mau nilai UN bagus tapi gak mau bimbel di sekolah, aku baru aja mau mulai bimbel di rumah. Kalian mau ikut?” “Mau dong, Lar!” jawab Kezia. “Aku juga!” kata Alana. “Kata kepala sekolah jika ada bimbel di tempat lain tidak apa-apa jika tidak mengikuti bimbel di sekolah!” “Oh iya! Betul!” kata Kezia dengan gembira. “Mar, kamu mau ikut juga gak?” tanya Laras. “Iya, Mar, ikut dong,” kata Kezia. “Iya! Seru kita belajar bersama di rumah Laras!” kata Alana. “Uh,” Mara bergumam, jarinya bermain dengan ujung jaketnya. “Nanti aku tanya dulu.” Yang lain melihat Mara dengan kebingungan. “Kenapa, Mar?” tanya Kezia. “Enggak, tidak kenapa-kenapa,” kata Mara yang sedang melihat ke bawah. “Bener?” tanya Alana. “Iya, bener,” jawab Mara, yang lain melihat dia dengan muka yang mengatakan aku tidak percaya. “Beneran, guys, aku tidak apa-apa.” Mereka menatap Mara, ekspresi mukanya seperti tidak benar-benar percaya dengan apa yang dia bilang, tetapi mereka pindah topik. “Oke, jadi hari apa yang kita mau bimbel?” “Oh, kita sih tinggal bilang gurunya mau kapan, tapi aku rasa hari sabtu?” tanya Laras. “Oh, dan omong-omong, setiap orang bayarnya seratus ribu per sesi.” “Whoa, itu lumayan murah. Biasanya dua ratus,” kata Kezia, terkejut. Bagaimana aku bayar seratus ribu per sesi? Mara berpikir. “Ya, karena itu sesinya langsung empat orang, pasti lebih murah,” Laras menjelaskan. “Yay! Jadi enggak bimbel di sekolah lagi!” kata Alana, bahagia.
Malam itu, ketika Mara pulang dari sekolah, dia berpikir tentang bagaimana dia akan mendapat uang untuk bayar sesi bimbel di rumah Laras. Menanyakan ibu dia sudah diluar pilihan, karena Mara tidak merasa enak untuk menanyakan ibunya untuk sesuatu yang dia tidak benar-benar peduli. “Aku tahu!” kata Mara ke diri sendiri. Neneknya masuk dalam pikiran Mara. Aku bisa meminta kedua nenek saya untuk masing-masing membayar setengah dari harganya!
Dia kemudian pergi ke luar kamarnya ke ruang tamu, di mana neneknya sedang duduk. Mara pergi duduk di samping neneknya di sofa dan mulai berbicara. Dia bertanya neneknya jika dia bisa membayar setengah untuk sesi bimbel. Karena sudah tinggal satu bulan sebelum UN, akan ada empat sesi bimbel yang akan diadakan setiap sabtu. Dia bertanya neneknya jika dia bisa membayar untuk dua sesi itu, dan bahwa dia akan meminta nenek dari ibunya untuk membayar dua sesi selanjutnya. “Oh, boleh,” kata neneknya. Dia mengambil tasnya dan mengeluarkan dompet darinya. Dari dompetnya, dia meraih dua ratus ribu dan memberikannya kepada Mara. “Terima kasih banyak, eyang!” Mara berteriak penuh semangat. Aku akan bergabung bimbel dengan teman-teman saya! yay!
Keesokan harinya, Mara datang ke sekolah dan bertemu dengan Laras, Kezia, dan Alana. “Guys, aku akan ikut bimbel di rumah Laras!” Mara berkata, penuh semangat. “Nenekku akan bayarnya.” “Yay!” Kezia kata, juga bersemangat. “Sekarang kita semua bisa belajar bersama!” Kata Alana dengan nada senang. Laras tertawa, “Baiklah, jadi, kita akan mulai Sabtu akhir pekan ini.” Yang lain bersenyum dan menjawab, “Oke.”
Pada hari Sabtu, Kezia menjemput Mara di rumahnya. Mereka berdua berbicara tentang betapa semangat mereka merasa untuk belajar barang di rumah Laras. Tidak lama kemudian, mereka sampai di rumah Laras. Mereka naik ke kamarnya dan melihat ada makanan ringan untuk sesi jika salah satu dari kita menjadi lapar. Tidak lama setelah itu, Alana juga sampai di rumah Laras. Mereka menyiapkan alat tulis dan buku catatan untuk sesi bimbelnya. Sekitar lima belas menit kemudian, guru bimbel tiba. “Hai teman-teman! Aku Kak Via!” Kek Via menyambut mereka dengan riang. “Apakah kalian siap untuk memulai?”
Selama empat jam, mereka menutupi try out dan soal UN dari tahun-tahun sebelumnya untuk topik matematika dan sains. “Baiklah, saya pikir itu semua untuk hari ini. Kalian bisa menyimpan kertasnya kalau mau belajar sendiri,” kata Kak Via. “Oke, Kak,” yang lain merespon. “Oh!” Mara berkata. “Aku belum bayar Kak Via!” Mara mengambil uang seratus ribu dari tas selempang kecil dan memberikannya kepada Kak Via. “Oh, terima kasih, Mara,” kata Kak Via, bersenyum saat menerima uangnya.
Ketika sesi kedua datang pada minggu berikutnya, Mara tetap semangat seperti sesi minggu lalu. Mara, Laras, Kezia, dan Alana sedang beristirahat setelah belajar selama dua jam, dan Kak Via telah pergi ke kamar mandi. “Oh! Aku harus menelepon nenekku dan tanya dia jika dia bisa membayar dua sesi bimbel lainnya,” Mara ingat. “Oke!” kata Kezia, sambil dia sedang melihat instagram.
Mara menekan kontak neneknya di telepon Ring… Ring… Ring… “Halo?” “Hai nenek, aku ingin bertanya…” Mara menjelaskan tetang situasinya, dimana dia memperlukan dua ratus ribu untuk bayar dua sesi bimbel sebelum UN. Mara bertanya neneknya jika dia bisa membayar dua ratus ribu itu. Tidak seperti eyang Mara, nenek ini tidak berpikir bahwa UN itu penting. Dia bilang Mara bahwa dia tidak ingin membayar sesuatu yang tidak penting atau diperlukan. Sayangnya, nenek yang ini sangat keras jika berbicara, sehingga tidak hanya Mara yang bisa dengar, tetepi teman-temannya juga. “Jadi gitulah,” kata neneknya. “Oma bukannya tidak mau bayar, tapi itu untuk UN, dan tes itu juga tidak diperlukan di sekolah kamu. Jadi mengapa harus membayar uang tambahan untuk mendapatkan nilai baik jika itu tidak akan mempengaruhi apapun? Oke?” Sudah bisa dilihat bahwa matanya Mara mulai berkaca-kaca, dan dalam waktu itu, Kak Via masuk lagi ke kamarnya Laras. “Oke…” kata Mara, dan kemudian menutup telepon. Mara menunduk kepalanya dan menatap pahanya, ruangannya diam.
“Apa yang dia katakan?” tanya Alana. “Dia mengatakan bahwa dia tidak ingin membayar sesuatu yang tidak penting, tapi masalahnya,” Mara mengatakan, tapi mulai terisak-isak. “Tapi masalahnya, itu penting untuk–untuk ak—” Sebelum Mara dapat menyelesaikan kalimatnya, dia mulai menangis. “Aw, Mara!” Laras, Kezia, dan Alana langsung bergegas ke sisinya dan berusaha menghiburnya. “Mar, kita bisa bayar sesi bimbel untuk kamu!” kata Kezia. “Jangan, itu terlalu banyak,” Mara mengatakan, masih menangis. “Mar, itu kan hanya dua ratus ribu. Lalu ada kita bertiga, jadi uang itu dibagi tiga orang,” kata Kezia. “Iya! Satu orang juga tidak sampai tujuh puluh ribu,” kata Laras. “Ya! Kita bisa membantu membayar!” kata Alana. Mara menatap teman-temannya dengan kagum, “Kalian ingin membayar untuk aku?” “Tentu saja! Kita semua bisa patungan!” Mara menangis lebih keras ketika dia mendengar itu. Fakta bahwa dia memiliki teman-teman yang luar biasa, yang menawarkan untuk membayar sesi bimbelnya, membuat Mara bertanya diri sendiri apa yang dia telah lakukan untuk mendapat teman seperti ini. Mara senyum, “Kalian benar-benar baik sekali untuk menawarkan itu, tetapi aku tidak bisa membiarkan kalian membayar untuk aku. Itu tidak merasa benar.” “Mara—” “Gini aja deh, Mara, kamu tidak harus bayar jika kamu tidak bisa,” kata Kak Via sambil bersenyum. “Bener Kak? Masa aku tidak bayar Kak Via untuk mengajarkan aku?” Mara bertanya, merasa bersalah. “Tidak apa-apa, Mara, jika kamu tidak bisa kamu tidak harus. Kak Via bisa lihat bahwa Mara memang ingin belajar. I’m not going to let the fact that you can’t pay me get in the way of your learning.” Mara bersenyum. “Makasih banyak, Kak!”
Dua minggu kemudian, minggu UN sudah datang. Mara, Laras, Kezia, dan Alana merasa gugup. “Good luck ya!” Mereka berempat melakukan UN dan melalui soal yang susah dan soal yang lebih mudah. Sebelum nilai UN diumumkan, mereka merasa sangat cemas tetapi juga tidak sabar untuk melihat hasil tesnya karena mereka sudah belajar sangat keras sebagai persiapan.
Sekitar sebulan kemudian, semua murid mendapat amplop yang mengadung hasil nilai UN. Mara, Laras, Kezia, dan Alana berkumpul di depan loker saat pulang sekolah supaya bisa membuka surat dan melihat hasilnya bersama-sama. Laras adalah orang pertama dari mereka berempat untuk membuka amplopnya. Dia perlahan-lahan membukanya dan mengeluarkan kertas di dalamnya. Dia langsung membuka kertasnya dan melihat hasilnya. Laras bersenyum, “Tiga puluh tujuh koma lima!” Sekarang giliran Alana. Dia melakukan hal sama yang Laras melakukan dan membuka kertasnya secara cepat karena dia tidak sabar melihat hasilnya. Alana juga bersenyum, “Tiga puluh tujuh koma tiga!” Gilirannya Kezia, dia merobek amplopnya dan mengeluarkan kertasnya. Dia melihat ke samping dan membuka kertasnya. Dia lalu membalikkan matanya kepada kertasnya. Awalnya, ekspresi mukanya takut, tetapi sekarang dia bersenyum besar. “Tiga puluh enam koma tujuh puluh lima!” Sekarang adalah gilirannya Mara, dan semua mata menatapnya. Tangannya bergemetaran sambil membuka amplopnya. Dia mengeluarkan kertasnya, “Aku takut…” “Mar, kamu sudah belajar sangat keras!” kata Kezia penuh semangat. “Pasti kamu nilainya bagus!” kata Alana. Mara bersenyum kepada teman-temannya. Dukungan teman-temannya membuat Mara berani melihat apa yang ada di kertas terlipat itu. Akhirnya dia membuka kertasnya untuk melihat hasilnya. Mara bersenyum besar, dia terkejut dengan nilainya. “Guys, nilai aku adalah… tiga puluh tujuh koma lima!” “Mara!” Kezia teriak, senang. “Tuh kan, Mar, kamu belajar keras jadi pasti nilainya bagus!” kata Laras.
Malam itu, mereka semua mengirim SMS kepada Kak Via untuk memberi tahu dia hasil nilai UN. Kak Via terutama bangga kepada Mara. Dia tahu bahwa Mara ingin sekali mendapatkan nilai yang bagus, dan dia memang bekerja keras untuk mendapatkan hasil itu.
Cerpen Karangan: Shaumozza Desra