Pagi yang cerah, tampak matahari terbit di sebelah timur. Terdapat seseorang yang sedang duduk di teras yang berwarna hijau itu. Bu Dina. Tampaknya, Ia sedang memikirkan sesuatu. Oh, ternyata tentang biaya sekolah anaknya. Ia punya empat anak. Yang mana dua laki-laki dan dua perempuan. Semua anaknya duduk di bangku sekolah. Anak pertamanya sekarang sudah tamat SMA dan ingin melanjut ke perguruan tinggi. Anak kedua sedang duduk di bangku SMA kelas XI sedangkan anak ketiganya duduk di bangku kelas X SMA. Untuk anaknya yang bungsu, duduk di bangku SMP.
Sudah mulai berat tanggungan yang dirasakan oleh Bu Dina. Harta yang dimilikinya pun makin berkurang. Tetapi Ia tetap menyekolahkan semua anaknya itu sampai ke perguruan tinggi. Karena baginya anak adalah harta satu-satunya yang berharga di dunia. Pada saat anaknya yang pertama itu ingin melanjutkan studinya ke perguruan tinggi, adalah salah seorang ibu yang mencampuri kepentingan Bu Dina itu. Bu Toi namanya. Memang, Ia suka sekali mencampuri urusan orang lain. Ia selalu mencampuri yang bukan kepentingannnya.
Suatu hari, Bu Toi mencampuri urusan Bu Dina. Betapa irinya beliau kalau Bu Dina menyekolahkan semua anaknya. “Berani-beraninya engkau membuat anakmu kuliah. Sedangkan engkau hanya petani. Darimana uangmu?” kata Bu Toi “Kenapa rupanya. Kok jadi kau yang repot. Orang anakku kok. Aku ingin anakku tidak seperti aku, hanya petani. Tetapi aku ingin anakku menjadi anak yang sukses kelak.” Jawab Bu Dina dengan tegas Bu Dina merasa sedih ketika Bu Toi mengatakan hal itu kepadanya. Tetapi Ia akan tetap berjuang untuk menyekolahkan anak-anaknya.
Banyak tantangan yang dirasakan oleh Bu Dina beserta anak-anaknya. Banyak orang yang selalu usil dengan keluarga mereka. Orang-orang itu selalu menggosipi perlakuan keluarga mereka. Padahal, yang mereka lakukan adalah hal baik untuk keluarganya. Inilah mungkin yang dikatakan dengan cemburu. Memang, Ibu-ibu di kampung itu terlihat penggosip dan bahkan suka berantam. Tidak semua Ibu-ibu sih. Ada juga yang baik dan ramah. Maka dari itulah Bu Dina jarang keluar rumah. Beliau dan keluarganya hanya di rumah.
Tibalah anaknya yang pertama itu meminta uang semester I, uang kuliahnya. “Ma, kami sudah ditagih untuk membayar uang semester I. Besok harus sudah dibawa Rp. 2.500.000,-” “Iya Nak. Mama akan usahakan mencari uang untuk uang kuliahmu.” Jawab Ibu itu dengan nada suara yang kurang maksimal.” Ibunya tampak sedih memikirkan hal itu. “Darimanakah aku harus mendapatkan uang sebanyak itu? Padahal, utang kami telah banyak di agen padi.” Gumamnya dalam hati
Karena nggak ada pilihan lagi, Ia terpaksa meminjam ke rentenir. Ketepatan rentenir itu berada sekitar seratus meter dari rumahnya. Lalu Ia pergi dengan naik sepeda ontelnya yang berwarna biru itu. Ia pun mengayuh sepedanya dengan penuh hati-hati. Beberapa saat kemudian, tibalah Ia di rumah rentenir itu. Ia pun mengetok pintu rumahnya yang ketepatan rumahnya sedang tutup. Ia pun mengetok dengan keras. “Syalom…” katanya dengan suara yang agak keras “Ya Syalom.” Sahut pemilik rumah itu Pemilik rumah itu pun segera membuka pintu rumahnya. Mereka pun berbincang-bincang sebentar. Setelah itu, Bu Dina segera mengatakan tujuannya datang kerumah rentenir itu. Ia pun mengatakan bahwa maksud kedatangannya ialah untuk meminjam uang kepadanya. Nama rentenir itu Bu Tania. “Bu. Boleh pinjam uang.” Kata Bu Dina “Boleh. Emangnya mau pinjam berapa Bu?” tanyanya “Mau pinjam Rp.2.500.000,- Bu.” Jawab Ibu Dina “oh. Bisa. Tetapi ada bunganya ya, Bu.” “Bunganya berapa, Bu?” Tanya Bu Dina dengan gemetar “Bunganya hanya 10 persen Bu.” Bu Dina sempat bengong memikirkan hal itu. Karena bunga yang diberikan rentenir itu terlalu tinggi. Tetapi mau gimana lagi, tidak ada pilihan lagi. Mau nggak mau, Ia harus meminjam uang itu. “Nggak bisa kurang lagi, Bu?” Tanyanya “Nggak lagi Bu. Itu sudah pasaran, Bu.” Jawab rentenir itu “oh.. Iya jadilah pinjamnya.” Kata Bu Dina
Selesainya, Ia pulang ke rumahnya. Di tengah jalan sambil bersepeda, Ia memegang uangnya dengan erat-erat. Ia takut uang itu kececer atau dirampok orang. Ia pun mengayuh sepeda dengan agak kencang. Sampai di rumah, Ia segera memberi uang itu kepada anaknya. “Ini Nak, uang kuliahmu.” Katanya kepada anaknya “Darimana Ibu dapat?” Tanya anaknya dengan sedih “Ibu pinjam dari rentenir Nak.” Jawab Ibu itu dengan sedih “Sudah banyak utang kita, ya Bu. Aku akan berusaha dalam belajarku, Bu. Aku akan membanggakan mama.” Kata anaknya dengan percaya diri “Iya Nak, semoga engkau dan adik-adikmu menjadi anak yang berhasil.” Kata ibunya dengan tegar “Amin. Semoga Tuhan menjawab segala perminntaan kita.” Kata anaknya Selesai itu, anaknya pun segera pergi ke kampusnya untuk membayarkan uang kuliahnya itu.
Ibunya dan ketiga adiknya selalu pergi ke sawah. Ketepatan masa itu, musim menanam padi. Bu Dina selalu membawa cangkul. Ia dan anak-anaknya itu- membersihkan, mengikis rumput-rumput yang ada di benteng sawahnya itu. Tepat menanam padi di sawahnya, Ia terpaksa menggaji sejumlah orang untuk menanamnya. Pada masa itu, untuk satu orang penanam padi saja harus membayar Rp. 50.000,-. Ia membutuhkan empat orang untuk menanam padinya. Setidaknya harus ada Rp. 400.000,- untuk menggaji para penanam sawah. Ia mendapat uang itu terpaksa harus meminjam lagi dari rentenir itu. Rentenir itu pun memberikannya. Selesai ditanam, Ia segera memberikan uang itu kepada para penanam padi itu.
Dua bulan kemudian, padi yang ditanamnya itu telah bertumbuh. Telah mengeluarkan benih padi yang masih muda. Ia pun selalu memberikan asupan yang tepat untuk padinya itu. Disemprotnya dengan obat-obatan yang tepat. Beberapa hari kemudian, benih padi itu sudah mulai berisi. Isinya air yang putih kental. Mereka pun harus menjaga padinya agar tidak di makan burung. Ia beserta tiga anaknya pergi ke sawah untuk menjaga padinya. Agar nantinya membuahkan hasil yang bagus. Setiap hari mereka menjaga padinya itu.
Beberapa hari kemudian, padi mereka tampak menguning. Burung-burung pemakan padi pun mulai berkurang. “Ma. Padi kita ini sudah bisalah dipanen hari sabtu depan.” Kata anaknya yang kedua itu “Iya. Sudah bisa.” Jawab Bu Dina Bu Dina pun segera memesan para pemanen padi ke agen padi. Hari panennya tepat hari sabtu. Tibalah hari sabtu. Mereka pun panen padi. Para pemanen pun berdatangan untuk memanen padinya itu. Lalu, beberapa jam kemudian, padi itu usai dipanen. Cukup memuaskan hasilnya.
“Puji Tuhanlah. Cukup memuaskan hasil panen ini.” Kata Bu Dina di dalam hatinya. Ia pun segera menyicil sebagian utangnya ke agen padi itu. Tinggal Rp. 1.000.000,- lagi utang yang harus dibayarnya. Lalu, Ia menemui rentenir itu untuk menyicil utangnya. Ia menyicil dengan sejumlah Rp. 1.500.000,-. “Bu. Ini uang cicilan utangku Rp. 1.500.000,-.” Katanya kepada rentenir itu “Oh.. iya.” jawab rentenir itu “Jadi tinggal berapa lagi utangku, Bu?” Tanyanya “Tinggal Rp. 1.690.000,- Bu. Itu sudah ditambah dengan bunganya sampai bulan ini, Bu.” Jawab rentenir itu “Oh… iya.” Katanya Selesai itu, Ia segera pulang ke rumahnya. Ia merasa sedih. Karena hasil padinya untuk tahun ini habis untuk menyicil utang. Hanya dua karung dari empat puluh goni karung goni padi yang dibawa ke rumah. Selainnya mencicil utang. Tetapi Ia tidak pernah menyerah. Ia serahkan semuanya kepada Tuhan. Karena baginya, Tuhan tidak pernah memberikan cobaan diluar kemampuan umat-Nya. Ia tegar kembali. Meski Ia tidak punya harta benda lagi, tetapi baginya Ia punya harta yang paling berharga di bumi, yakni anaknya.
Anak yang keduanya itu, sekarang sudah duduk di bangku kelas XII SMA. Beberapa bulan lagi, Ia akan mengahadapi Ujian Nasional. Anaknya ini selalu menddoakan ibunya itu, mendoakan kakak dan adiknya, agar senantiasa diberi kesehatan, panjang umur dan rezeki. Ia merupakan salah satu anak yang berprestasi di sekolahnya. Ia meraih rangking II di kelasnya. Di sekolah, Ia menyukai mata pelajaran kimia. Ia selalu unggul di bidang kimia dari semua mata pelajaran. Oleh sebab itu, Ia bercita-cita setelah lulus SMA nanti, Ia mengambil jurusan teknik kimia. Ia bermaksud mencoba ke ITB dan UGM.
Tibalah saatnya untuk ujian. Ia pun sudah bersiap-siap dengan matang. Dalam arti, Ia sudah belajar semaksimal mungkin. Tiga hari lamanya ujian berlangsung. Sebelum menjawab soal ujian, Ia terlebih dahulu berdoa kepada Tuhan agar diberi kemudahan dalam menjawab soal.
Selesai itu, Ia pulang ke rumah. Ibunya pun menanyakan bagaimana dalam ujian itu. “Bagaimana yang ujian itu, Nak?” Tanya ibunya “Puji Tuhan Bu. Lumayan.” Jawabnya “Oh.. syukurlah. Semoga dapat nilai yang memuaskan ya, Nak.” Kata ibunya “Amin. Semogalah Bu.” jawabnya
Sebulan kemudian, adalah ujian SBMPTN. Yang mana, ujian tersebut merupakan seleksi untuk masuk Perguruan Tinggi Negeri. Ia pun segera mendaftarkan diri. Seminggu kemudian, ujian pun berlangsung. Ia pun mengikutinya. Ia tak lupa untuk berdoa sebelum menjawab soal ujian itu. Dengan teliti, ia menjawab soal itu. Ia telebih dahulu menjawab soal yang menurutnya mudah. Hasil ujian itu akan keluar dua minggu lagi. Ia sangat berharap sekali masuk ke PTN pilihannya itu. Disamping itu, Ia berpasrah. Apapun hasilnya nanti, Ia akan tetap bersukacita.
Keesokan harinya, kakaknya datang untuk meminta uang kuliah. Sekarang, Ia sudah semester V. Tinggal tiga semester lagi yang harus ditempuhnya. Ibunya pun segera meminjam uang ke rentenir. Betapa banyaknya tantangan yang dirasakan oleh keluarga mereka. Tetapi mereka tetap tegar dalam menghadapi ini semua.
Dua minggu kemudian. Hasil ujian anaknya itu pun keluar. Anaknya segera melihat hasilnya di internet. Alhasil, anaknya masuk di ITB dan UGM denga jurusan yang sama. Ia segera berlari ke rumahnya untuk memberi tahu kepada ibu dan adiknya.
Sesampainya di rumah, ibunya bertanya kepadanya. “Bagaiman hasilnya, Nak?” Tanya ibunya penasaran “Puji Tuhan, Bu. Aku masuk di ITB dan UGM.” Jawabnya dengan senang hati “Oh… Puji Tuhan. Ternyata, Tuhan menjawab doa-doamu, Nak.” Kata ibunya dengan penuh syukur
Diantara dua universitas itu, Ia harus memilih salah satunya. Yang dipilihnya ITB. Karena impiannya dari dulu ingin masuk ke ITB. Ternyata, Tuhan mengizinkannya masuk ke PTN itu.
Ibunya beserta kakak dan adiknya bangga kepadanya. Ia akan berangkat ke Bandung bulan depan. Ibunya akan meminjam uang lagi ke rentenir. Makin bertambah lagi utangnya. Namun, demi anaknya Ia akan lakukan yang terbaik.
Tibalah saatnya anaknya yang kedua itu berangkat ke Bandung. Ibunya hanya mengantarkannya sampai ke bandara. Dengan terharu, Ia memberangkatkan anaknya. Ia berpesan kepada anaknya, untuk hidup lebih hemat dan tidak mengikuti orang-orang yang nakal. Di sana, Ia kost di rumah pamannya. Biaya makan, biaya uang kost, tidak dibayar oleh mereka. Karena pamannya merasa kasihan kepada mereka.
Satu setengah tahun kemudian, anaknya yang pertama pun wisuda. Ia harus meminjam uang lagi untuk wisuda anaknya. Setelah, Ia segera pergi melihat anaknya yang wisuda. Anaknya, mendapat IP yang bagus. Ia pun bangga kepada anaknya itu. Selesai itu, mereka pulang ke rumah. Sekarang tanggunganya pun berkurang. Ia merasa senang, akhirnya Ia mampu menyekolahkan anaknya yang pertama itu sampai perguruan tinggi. Tak lupa, Ia berterimakasih kepada Tuhan yang selalu memberkati keluarganya.
Esok harinya, anaknya itu segera pergi untuk melamar pekerjaan. Alhasil, Ia diterima di salah satu perusahaan asing. Ia memang pantas menerima kebahagiaan ini, karena Ia selalu berbakti kepada orangtuanya dan takut akan Tuhan.
Sebulan kemudian, Ia menerima upah pertamanya. Ia segera memberi uang itu kepada ibunya. Ibunya pun menyicil sebagian utangnya. Ia juga mengatakan kepada ibunya bahwa Ia yang akan menyekolahkan adik-adiknya. Ibunya sangat berterima kasih kepada Tuhan yang sejauh ini, masih mengabulkan semua doa-doanya.
SELESAI
Cerpen Karangan: Alvino Sianipar Facebook: Alvino Sianipar