Detik berganti detik, menit berganti menit. Jam berganti menuju ke arah yang salah. Jam 12.00 tengah malam. Aku masih berjaga-jaga, memincingkan mata kantukku dan menahan kelopak mata agar tidak lekas menutup.
“Ra, tidur dulu!” bujuk perempuan setengah baya di sebelahku. Perkataan itu sama sekali tak kuhiraukan. Satu kata tak terucap dari bibirku yang komat kamit menghafalkan sebuah penjelasan dari seorang ahli biologi bercampur dengan sejarah. Frustasi. Semua hafalan ini membuatku agak bimbang. Menurut Max Schultze, protoplasma merupakan struktur dasar kehidupan dan merupakan bagian penting dari sel. Kolonialisme adalah paham tentang penguasaan suatu negara terhadap negara lain untuk mendapatkan wilayah kekuasaan… “Helo Rara semangat, mana semangatmu?” Sejenak aku menyemangati diriku sendiri sambil mengoleskan minyak kayu putih di kedua pelipis, hidung, punggung, dan kelopak mata. Berharap ada keajaiban datang di waktu yang semakin menipis.
“Tidur dulu, dilanjut besok lagi belajarnya! Sekarang udah jam setengah dua,” peringatan kedua perempuan yang tidak lain adalah Ibuku sendiri. Dengan terpaksa kuturuti perintahnya. Padahal memang inilah yang aku tunggu-tunggu. Membenamkan diri di pulau kapas. Seketika aku tertidur, mungkin tidak ada lima menit.
You are the only exception… You are the only exception… When I was yonger… Cep… Tanganku meraih Hp Cina yang kubeli dengan diskon 50 %. Menghentikan seluruh aktivitasnya membangunkanku di jam tiga pagi ini. “Wua…”, mataku masih terasa berat. Mungkin dia memintaku untuk tidur kembali. Okelah kalau begitu, dengan senang hati.
You are the only exception… You are the only exception… When I was yonger… Cep…. Untuk kedua kalinya aku menghentikan langkah Hp pembangun itu tepat pukul empat. Apa.. Pukul empat… “Mati aku, hafalanku belum banyak”, celotehku lirih.
Secepat kilat aku membaca dan menghafal semua penjelasan, mulai dari Bahasa Indonesia hingga Bahasa Latin. Tidak terasa waktu semakin cepat berlalu. Tidak seperti biasanya, aku tenang dan waktu juga ikut tenang. Kali ini aku memang tergesa-gesa.
“Rara cepet mandi, nanti aku berangkat naik shuttle jam 06.15!” perintah kakak perempuanku yang sedang asyik menikmati tidur nyenyaknya. “Yo…” jawabku ketus, tak memperhatikannya sama sekali.
Dengan sigap ku ambil ancang-ancang segera pergi ke kamar mandi. Tak sampai lima menit, hanya tiga menit. Buka pakaian, guyur pakai air dua gayung, sabunan, guyur lagi lima kali, basuh dengan handuk, terakhir pakai kembali pakaian dengan benar. Selesai. Lalu lari menuju rumah mengambil buku yang masih berserakan di kasur. Sepertinya mereka juga lelah dibolak-balik sampai ada yang sobek.
“Putik: Pistilium, Mahkota: Korola, Kelopak: Kaliks, Benang sari …. Lupa.” Sudahlah, terlalu banyak hafalan di pagi ini. Aku tinggalkan semua hafalan itu di bawah meja televisi. Muak dengan semua ini. Tapi tetap saja, semuak-muaknya aku dengan ulangan buku-buku pelajaran seperti mempunyai gaya gravitasi untuk menarikku. Menyuruhku membuka lembarannya dan menghafalkan semua teori dengan baik.
Waktu berlalu sangat lambat. Mungkin kali ini aku lebih tenang. Hampir lima per enam bahasan telah kukuasai tersisa satu per enam lagi. Mungkin membutuhkan waktu kurang dari satu jam. Jika dihitung mulai sekarang kurasa cukup. Apalagi aku sudah siap berangkat sekolah, buku sudah kusiapkan, kartu tanda ulangan, seragam sudah dipakai, sepatu juga sudah. Sayangnya hari ini Hari Senin. Berangkat sekolah di hari Senin selalu berantakan. Celotehan dari Bapak tidak bisa dihindari, membuatku frustasi. Pikiran tentang hafalan sejarah dan biologi kacau semua. “Bapak, diam!” sentakku kasar sambil duduk di lantai. Membentak orang tua memang salah. Tapi mau bagaimana lagi, pikiranku kacau karena Bapak. Aku belum selesai menghafalkan. Masih ada satu per enam lagi. “Cepet berangkat! Sekarang jam berapa?” Bapak semakin menjadi-jadi. Semua anggota keluarga menjadi ricuh seketika. Sepertinya akan ada perang dunia ke tiga. “Lihat jam!” lebih keras lagi. Tanpa berpikir panjang Mama menghampiri motor dan mulai memimpin perjalanan sejauh tujuh kilometer ke sekolah. Aku berada di tengah sedangkan kakak perempuanku di belakang. Biarpun naik motor bertiga dan tersa sulit untuk belajar sambil naik motor buku-buku itu masih setia kugenggam di tangan kanan. Dan untunglah semakin lama hafalan itu semakin bersahabat. Tapi, sama saja aku dan kakakku terus nyerocos mengomentari sikap Bapak tadi.
Sesampainya di sekolah… “Gimana ini aku belum selesai ngapalin semua?” celotehku pada Ita. “Halah, santai banyak yang belum.” jawabnya sangat santai. Semua temanku yang belum selesai menghafal terlihat sibuk dengan buku sedangkan bibir mereka yang komat kamit menghafal materi yang belum selesai dipelajari. Sepertinya aku tidak sendirian.
Belum ada dua puluh menit aku duduk di pelataran kelas tiba-tiba… Tet… Tet… Tet… Bel berdering menunjukkan kuasanya, memerintahkan semua elemen di sekolah bergegas masuk ke ruang ujian. Ulangan pertama biologi. “Gimana ini? Aku belum hafal semua,” kata seseorang di kejauhan. Bagaimana dengan yang lain? Seorang pasangan terlihat membawa telepon genggam ke ruang ujian. Mereka terlihat santai seperti makhluk tanpa dosa. Sebagian lain masih menghafalkan. Bagaimana dengan aku? Aku menyendiri dan berusaha untuk menghafalkan sebaik yang aku bisa. Orang sepertiku tidak akan berbuat hal ceroboh dengan membawa Hp atau apalah itu. Namun, mau dikatakan apa lagi aku tak punya kesempatan, waktu menipis guru pun datang, aku masuk keruangan. Paling akhir. Kegelisahan demi kegelisahan karena tidak menghafal semua materi dengan baik kurasakan seketika. Jantung seakan berdebar melebihi batas kewajaran. “Siap tak siap harus siap!” kataku dalam hati. “Berdoalah selagi bisa, Rara! Serahkan semua pada-Nya! Aku pasrah, tapi aku akan tetap berusaha!” Begitulah aku ketika dilanda ketidakberdayaan. Tak ada yang bisa menjadi pegangan di saat-saat seperti ini selain meminta pada yang di atas. Bukan langit, tapi Tuhan.
Aku duduk di barisan depan, paling depan dekat pintu. Sebenarnya dengan lokasiku yang sangat strategis itu contekan apapun bisa dilakukan. Tapi berhubung aku adalah orang yang selalu berpegang teguh pada kemampuan diri sendiri jadi lupakanlah semua itu. Sememtara pasangan tadi menempati tempat duduk paling belakang. Letaknya tidak strategis tapi kemungkinannya besar untuk menyontek.
“Baik anak-anak, kelas sebelas pelajaran biologi kelas sepuluh pelajaran fisika, betul?” jelas seorang pengawas berbaju merah. “Betul, Pak!” jawab para murid serentak.
Lima menit kemudian lembaran soal dan LJK sudah terpampang di depan mataku. Soal demi soal terlihat agak berat. Ada dua bab yang harus aku kerjakan. Bab pertama mencongak dan bab kedua isian. “Aduh, ini soal kok susah banget ya,” celoteh seseorang di barisan belakang. Semua orang di kelas memang merasakan kesulitan. Tapi sepertinya aku kenal suara itu, suara seseorang yang membawa Hp ke kelas. Mungkin ini cara mereka untuk mengecoh perhatian guru agar tidak dicurigai. Sayangnya di waktu yang semakin tipis LJK ku habis dan aku harus menerima kenyataan pahit. “Aduh, Mbak. Maaf, LJK nya habis, sebentar tak cariin dulu,” jawab pengawas ulangan. Ia bergegas mencarikan secarik kertas untukku keluar kelas. Lalu kembali beberapa detik kemudian tanpa membawa LJK. “Pak, kalau nggak ada saya pakai buram aja. Nggak papa,” seruku panik. “Nggak papa, Mbak. Sebentar lagi juga datang LJK nya,” jawabnya menenangkan. Anda bisa menjawab dengan tenang, tapi saya panik Pak!
Tet… Tet… Tet… “Sisa waktu kurang se-pu-luh me-nit la-gi.” seru seorang guru piket di ruang guru memakai pengeras suara. “Pak, nggak papa pakai buram aja!” seruku kepada pengawas yang menunggu LJK di depan kelas. “Sebentar lagi, itu baru jalan,” jawabnya semakin meyakinkan. “Pak…” semakin lirih. “Ini, cepet digarap, tinggal lima menit!” serunya menyemangati sambil tersenyum. Tanpa a-i-u-e-o aku menulis semua ingatanku. Memang orang yang tergesa-gesa selalu mendapat penderitaan. Tanganku kram, bolpoinku juga habis.
Tet… Tet… Tet… “Ayo, anak-anak dikumpulkan jawabannya!” seru pengawas. Seketika rangkaian kata-kata tertulis di LJK. Entah benar atau tidak, kukumpulkan LJK-ku dengan rasa pasrah. Darahku mendidih, tubuhku panas. Aku keluar dari ruang ujian tanpa sadar. Semua hafalan untuk sejarah hampir hancur dan mulai menyebar satu per satu. “Tenang, Ra, tenang…” sahut Ita menenangkan. Aku hanya mengangguk dan berusaha menenangkan pikiranku. “Tenang, Ra, kalo kamu tenang semua lancar,” katanya sekali lagi. Walaupun kata tersebut sederhana namun menurutku sangatlah dalam. Entah mengapa aku merasa di adalah sahabat yang terkadang aku lupakan. Tapi di saat seperti ini dia selalu menyemangatiku. Seakan masalah yang lalu sudah ia hapuskan dari memorinya.
Hari berganti hari setelah serangan umum terjadi. Banyak nilai ulangan yang sudah keluar. Terkejutnya aku ketika mengetahui banyak nilaiku yang berada di bawah nilai pasangan curang itu. Begitulah aku menyebut mereka. Tapi memang kenyataannya begitu. Mereka boleh menang sekarang, tapi lihat saja nanti. Kebenaran akan menang. Karma akan menanti siapa saja yang berbuat salah! celotehku dalam hati. Tak disangka, ternyata murid lain berpikiran sama denganku. Mereka tidak suka dengan cara-cara busuk seperti menyontek. Mereka lebih menyukai kejujuran walaupun pada akhirnya akan lebih menyakitkan. Lebih baik jujur walaupun ajur. Tapi menurutku seajur-ajurnya hasil yang diperoleh dengan kejujuran, hati tidak bisa berbohong. Hati kita akan tetap bahagia karena kita melakukan dengan jujur.
Cerpen Karangan: Agatha Sinta Facebook: Agatha Sinta