Desiran lembut tiupan angin malam menerpa mengelus dan meraba kulit Jono yang sedang berada di depan muka jendela kamarnya. Ia terpaku menatap keindahan pemandangan bintang di malam hari dari jendela kamarnya. Tatapannya sangat serius ke atas langit yang menggambarkan bahwa ia memikirkan sesuatu. Tiba-tiba keluar kata-kata dari bibirnya “Ya Allah… aku ingin sekali menjadi anak yang selalu taat, berbakti serta bisa membahagiakan kedua orangtuaku.”
Jono memang berasal dari keluarga yang sederhana, namun ia mempunyai keinginan besar untuk menjadi orang yang pandai dan bisa membanggakan kedua orangtuanya. Dan itu semua terbukti dengan semangat belajarnya yang begitu hebat. Jarak rumahnya yang jauh dengan sekolah tak mematahkan semangatnya sedikitpun untuk tetap semangat belajar.
Setelah mengucapkan do’a tadi Jono beranjak dari pemandangan bintang yang indah itu menuju tempat tidurnya yang sangat sederhana, terbuat dari kayu biasa yang agak rapuh. Ia merebahkan tubuhnya, lalu perlahan memejamkan matanya hingga tertidur lelap. Gigitan-gigitan nyamuk di sekitarnya sudah seakan tak terasa lagi karena sudah terlalu biasa.
Ketika waktu subuh tiba, Jono sudah terbangun dari tidurnya dan siap mengambil air wudu untuk melaksanakan kewajiban sembahyang subuh. Setelah sembahyang ia segera mandi dan bersiap siap untuk berangkat ke Sekolah.
Senja pagi tiba, ditandai dengan munculnya guratan-guratan tipis sinar matahari yang berangsur-angsur semakin jelas dan terang, hingga terasa hangat dikulit. Sinar mentari yang hangat itu menyelimuti desa Wonokromo, Pleret, Bantul, Yogyakarta dipagi hari di mana aktifitas-aktifitas akan segera dimulai. Angin pagi pun bertiup sangat lembut menerpa kulit Jono yang sejak pukul 06:00 pagi tadi sudah mulai meniti tepian jalan raya, perlahan namun pasti menuju madrasah tercinta.
Tampak dikakinya sepasang sepatu yang sudah lusuh dengan dua sobekan di sepatu kanan dan satu sobekan lagi agak besar di sepatu kirinya. Sekali dua kali kaki Jono menendang kerikil liar yang terserak di pinggiran jalan raya. Setengah jam sudah ia berjalan, namun tak tampak sedikitpun keluhan dari wajahnya. Sekitar pukul 06:45, ia berlabuh di gerbang madrasah dengan disambut guru-guru yang berbaris dan memberikan senyum sapa salam padanya.
“Selamat pagi, Pak Budi,” sapa anak tersebut pada salah seorang guru dengan tersenyum. “Selamat pagi, Jono,” balas pak Budi pada Jono.
Jono berlalu setelah bersalam-salaman di depan gerbang dan bergegas menuju kelasnya, XII Bahasa. Ia selalu tersenyum pada siapa saja yang berpapasan dengannya sepanjang jalan menuju kelas. Ketika sampai di kelas, ternyata sudah banyak temannya yang lebih dulu hadir. Jono perlahan masuk dengan wajah ceria, menyapa dan menyalami temannya yang laki-laki dan duduk di bangku tempat ia biasa duduk.
“Jon, kamu sudah mengerjakan tugas bahasa jepang apa belum?” tanya temannya, Roy, yang duduk sebangku dengan Jono. “Alhamdulillah sudah, kalau kamu bagaimana?” jawab Jono yang membalas dengan pertanyaan. “Aku juga sudah, tapi aku mengalami kesulitan waktu nyusun kata-kata buat perkenalan, dan sekarang aku lega udah selesai,” tanggap Roy. Mereka berdua berbincang-bincang seputar pelajaran mereka hari itu sampai pada saat bel berbunyi menandakan bahwa pembacaan asma’ul husna dan tadarus al-qur’an akan segera dimulai. Jono, Roy dan kawan-kawan yang lainnya sangat antusias mengikuti pembacaan asma’ul husna dan tadarus al-qur’an hingga selesai.
Setelah selesai, mereka susun kembali semua al-qur’an pada tempatnya dengan rapi. Lalu mereka membuka bukunya pelajaran masing-masing yang akan berlangsung pada jam pertama. Kebetulan pelajaran pertama adalah Kaiwa. Gurunya adalah Sensei Haris. Beliau terkenal dengan cara mengajarnya yang tertib dan tegas, sehingga membuat anak-anak sangat serius mempelajari materi dari beliau.
Suasana tiba-tiba menjadi sangat tenang dan hening ketika Sensei Haris muncul dari balik daun pintu kelas dengan membawa buku dan laptopnya pertanda siap untuk mengajar. “Minasan,” teriak si ketua kelas dengan sangat lantang dan tegas untuk memimpin pengucapan salam pada Sensei dalam bahasa jepang. Setelah pengucapan salam, pelajaran berlangsung seru di mana guru dan murid semuanya sama-sama aktif. “Jono san wan nan sai desu ka?” Sebuah pertanyaan tiba-tiba diluncurkan kepada si Jono. Dan tanpa berfikir lama, Jono menjawab, “Watashi wa juu roku sai desu.” “Pizza o tabeta koto ga arimasu ia?” tanya sensei lagi. Senyumnya mengembang. “Iee, arimasen,” jawab Jono. Teman-teman Jono bertepuk tangan sangat heboh memberi, memangat dan pujian pada Jono serta sebagai bentuk semangat mereka dalam kegiatan belajar mengajar di kelas. Yang istimewa adalah bahwa mereka tidak hanya aktif dan semangat pada satu mata pelajaran saja, tetapi juga pada seluruh mata pelajaran yang ada. Berbagai materi telah disampaikan pada seluruh siswa kelas bahasa itu dan Sensei Haris pun meninggalkan kelas.
Kaiwa berlalu, berganti Fiqih, Antropologi, hingga pelajaran terakhir yaitu Bahasa Jawa dengan guru pengampunya Ibu Yuni. Gaya pembelajaran beliau yang sangat khas membuat anak-anak menjadi sangat heboh dan bersemangat mengikuti pelajaran. Bahkan sampai pelajaran berakhir, Jono dan kawan-kawan tak merasa lelah.
Jono pulang sekolah dengan berjalan kaki seperti halnya ia berangkat tadi. Selama 45 menit ia berjalan, selama itu pula tak terlihat tanda-tanda keluh kesah darinya. “Assalamualaikum, Bu, Jono pulang,” teriak Jono sesampainya ia di rumah. “Wa’alaikumsalam, Jon, kamu sudah pulang?” jawab ibunya. “Iya bu, sekarang Jono mau sholat dulu ya, Bu, terus Jono mau ngerjain PR,” balas Jono setelah bersalaman dan mengecup tangan ibunya. Ibu Jono mengangguk dan tersenyum menandakan suatu kebanggaan pada Jono. Anak semata wayangya yang sangat rajin dan ulet dalam belajar.
Sore hari, Jono mengerjakan PR dan malam harinya ia mengulang pelajaran tadi, serta mempelajari pelajaran yang akan dipelajari di hari esok. Itu rutinitasnya. Seperti itulah keseharian Jono sampai pada satu hari sebelum Ujian Nasional. Ia sangat rajin mempelajari ulang materi-materi pelajaran dari sekolah. Ditengah malam ia berdo’a mengharap esok hari diberi kemudahan saat ujian, namun ia juga tak lupa memanjatkan do’anya untuk kedua orangtuanya.
Pagi harinya Ujian Nasional 2014, Jono mempersiapkan diri sebaik mungkin. Dengan modal usahanya selama ini, ia berharap bisa menuai hasil yang memuaskan. Sebelum memasuki ruangan ujian, Jono bertemu dengan salah seorang guru yaitu Bu Sumi, guru Sastra.
“Jono, kamu sudah siap?” tanya Bu Sumi. “Insya Allah sudah, Bu” jawab Jono. “Sip, bagus bagus, tapi kamu harus selalu ingat, yang kamu butuhkan saat ini adalah kejujuran, jangan pusingkan hasilnya, karena itu sudah ada yang mengatur dan kamu pasti akan merasakan apapun hasilnya itu,” pesan Bu Sumi pada Jono. “Siap, Bu… Saya sudah berdo’a dan hampir menyempurnakan usaha. Sekarang saya hanya bisa memasrahkan hasil dari do’a dan usaha saya selama ini.” “Bagus, ya sudah sekarang kamu masuk dan kerjakan soal dengan serius.” “Baik, Bu,” jawab Jono mengiakan perintah.
Hari-hari ujian nasional perlahan dilalui oleh Jono hingga selesai. Ia selalu berdo’a berharap Allah S.W.T berkenan memberi yang terbaik untuknya.
Hari senin, tanggal 20 Mei 2014 merupakan hari dimana hasil ujian nasional akan keluar dan dibagikan oleh para siswa. Jono dan seluruh temannya semadrasah bersama-sama menunggu hasil ujian yang akan keluar hari itu dengan perasaan berdebar. Sekitar pukul 10:00 WIB, ada pemberitahuan bahwa hasil ujian sudah keluar dan akan segera dibagikan. Hati para siswa semakin bergetar ketika amplop putih hasil ujiannya sudah berada digenggaman tangan mereka tak, terkecuali pada Jono.
“Bismillaahirrahmaanirrahim, ya Allah, kupasrahkan semua hasil ini padamu,” batin Jono dalam hati dengan penuh kepasrahan. Dengan tangan yang bergetar, perlahan-lahan Jono menarik kertas putih yang ada di dalam amplop tersebut. Kemudian ia membacanya dengan seksama. Namun kemudian ia terkejut saat matanya fokus pada enam kolom nilai asli yang kesemuanya berisikan angka 10,0. Itu berarti ia meraih nilai sempurna. Matanya meneteskan air mata bahagia dengan hasil yang ia terima dari jerih payahnya selama ini.
Saat wisuda purna siswa, Jono mendapat banyak penghargaan. Diantaranya dari madrasah sendiri, kemudian dari Bupati Bantul. Madrasahnya pun mendapat imbas baik, yaitu dinobatkan sebagi madrasah dengan tingkat kelulusan paling memuaskan dan terbaik se-Indonesia. Banyak stasiun TV dan wartawan yang mendatangi madrasah untuk mengeruk berita tentang Jono. Bahkan ia juga diundang untuk menghadiri sebuah pertemun khusus di istana Presiden.
Guru-guru sangat bangga dengan prestasi murid-muridnya, terutama kepada Jono yang telah mengharumkan nama madrasah. Orangtuanya pun menangis haru karena sangat bahagia dan bangga dengan prestasi Jono yang selama ini berjuang untuk cita-citanya, dan kini berhasil.
—
“Itu beneran, Dul?” “Enggak. Cuma karanganku aja.” Badrun yang merasa dibohongi oleh Abdul segera melempar tasnya sembarang di lantai. Lantas dengan gerakan gesit mengerjar Abdul. Yang dikejar mahir berkelit dan meliuk-liku, hingga Badrun jatuh dan Abdul tertawa. “Ayo bangun!” “Sialan, kamu.” “Kita pemuda bangsa, Bung. Oi, Badrun! Jatuh sekali, bangkit! Jatuh lagi, bangkit lagi! Gitu terus sampai mati. Kalau kita nggak mau bangkit, gaimana mungkin kita bisa ngebangkitkan bangsa yang berkali-kali jatuh ini? Kita harus kuat.” Badrun berdiri dan berkacak pinggang macam pahlawan. Abdul manggut-manggut dan mereka saling angkat tangan, lalu “Tosss!!”
Cerpen Karangan: M Fajar Riyadi Facebook: M Fajar Uye