Gedung-gedung bertingkat nan mewah serta megah menjadi latar dari gang sempit yang menjadi akses menuju rumahku yang kecil dan reyot kondisinya. Kepenatan, kebisingan dan kicauan manusia yang bercengkrama, bertengkar dan mengumpat menjadi santapan manis bagi kupingku. Rumahku terletak tepat di samping belokan jalan masuk ke gang rumahku yaitu, gang 17. Rumahku terletak di deretan ketiga sebelah kiri dari rumah-rumah yang kondisinya sangat buruk dan sudah tidak layak untuk dinamakan sebagai tempat tinggal.
Jika dilihat dari kondisi rumah, aku dan keluargaku berada pada status ekonomi miskin. Kemiskinan menjadi teman hidupku sejak umur 5 tahun, saat sudah mengenal baca, tulis dan berhitung. Saat ini aku duduk di bangku kelas 9 smp. Beruntungnya bagiku, kemiskinan yang kualami menjadi tempaan dan sekolah alami bagi diriku untuk terus maju dan berkembang demi merubah kondisiku saat ini di kemudian hari.
Sejak duduk di bangku kelas 1 smp, aku selalu masuk pada peringkat 5 besar dalam kelas dan 5 besar dalam ruang lingkup sekolah. Ibuku disaat aku masuk smp sempat berujar padaku, “Nak, kamu adalah harapan satu-satunya bagi ibu, kamu adalah emas yang tertanam di lumpur yang suatu saat akan menyinari lumpur yang menyelimutimu, jangan pernah kecewakan ibu, dan jangan pernah mengeluh akan kemiskinan yang melanda kita, Tuhan mboten sare”. Ujar ibu dengan mata sedih dan nada semangat yang tinggi. Ya, setelah mendengar ujaran tersebut, aku yang dulu tidak terlalu mementingkan kegiatan akademis, karena sebagian waktuku sejak sd kelas 3 yang tebuang karena bekerja sebagai buruh antar Koran demi sesuap nasi kutinggalkan, aku mulai fokus mengejar harapan dan menjadi emas yang akan menyinari lumpur di sekitarku.
Dengan bermodalkan sepatu hitam yang sudah bolong di bagian belakangnya akibat gigitan tikus yang sering bergentayangan di rumahku dan seragam sekolah bekas yang kubeli di Pasar Senen, aku pergi ke sekolah. Ibu yang bekerja sebagai buruh cuci panggilan para tetangga hanya bisa memberi aku uang 20 ribu selama 1 minggu. Ya, sedikit memang tetapi buatku itu adalah suatu pergolakan dan perjuangan hidup yang harus ditempuh dan dihadapi. “Bukankah pemimpin terlahir dan tercipta dari kondisi yang sangat mendesak dan terhimpit?”. Tanyaku dalam hati. Dengan uang 20 ribu per minggu, aku tidak dapat membeli makanan yang dapat mengenyagkan perutku. Dan aku juga semakin terbiasa untuk melakukan puasa makan demi menjaga uangku agar tetap utuh. Dengan sistem seperti itu, aku dapat membeli 1-2 buku setiap bulan.
Membaca adalah kesenangan yang dapat kuraih dengan cuma-cuma. Membaca membuatku berpetualang menghampiri aksara-aksara yang dapat memenuhi dan menjernihkkan alam pikiranku. Berbagai buku yang terhampar di lingkungan sekitarku, baik di rumah maupun di sekolah membuatku semakin bersemangat menjalani dan menyelami makna dari kehidupan.
Perkenalnku pertama kali dengan dunia buku saat aku duduk di kelas 8 smp. Saat itu, kakekku datang ke rumah reyotku dengan membawa sebua novel yang aku lupa namanya karena memakai bahasa belanda. Ketika itu kakekku langsung menceritakan padaku nilai-nilai kehidupan dan kemanusiaan yang termaktub dalam novel tersebut. Berceritalah ia dengan penuh tatap keseriusan, senyum kasih sayang, dan kesenangan yang terpendam dalam dirinya. Amboi, indah dan menarik sekali apa yang diceritakan kakekku, membuatku terpana dan terkesima olehnya.
“Cu, jadikanlah membaca sebagai hidupmu dan buku sebagai sahabat sejatimu. Dengan seperti itu kau akan berada dalam tamasya aksara yang dapat mencerdaskan dan mengasah otakmu dalam membaca segala situasi dan fenomena yang terjadi di permukaan bumi ini”. Kalimat penutup dari cerita kakekku yang selalu kuingat sampai sekarang. Dan itu menggerakkan nuraniku untuk melakukan suatu tamasya aksara dengan membaca.
Mulai saat itu aku kumpulkan uang demi uang untuk membeli berbagai buku dan rela berjam-jam berdiam diri dalam kesendirian di ruang perpustakaan sekolah. “Walaupun kemiskinan melandaku, kemiskinan tersebut tidak boleh menguasai alam pikiranku. Kemiskinan tidak boleh merenggut kesenangan membacaku, kemiskinan tidak boleh menghentikan tamasya aksaraku, dan kemiskinan tidak boleh menghancurkan harapanku. Kemisinan yang kuderita saat ini dan tamasya aksara yang kujalani saat ini, aku yakin suatu saat akan menghasilkan nuansa kehidupan yang indah bagi diriku dan sekelilingku”. Ujarku dalam hati sembari menatap tatanan buku di perpustakaan sekolah.
“Dari reyotnya rumah yang kutinggali, kubangun kokohnya pondasi pemikiran, dari sempitnya gang rumahku, kuarungi tamasya aksara yang terhampar luas, dan semua itu kulakukan demi menyinari lumpur yang ada di sekitarku!”. Tekadku dalam hati saat berjalan pulang dari perpustakaan sekolah.
Cerpen Karangan: Fachri Facebook: muhammad fachri darmawan