Sudah lebih dari setengah jam aku menunggu seseorang yang sangat penting bagi perusahaanku di sini. Dialah Pak Ardianto, seseorang yang akan mengivestasikan uangnya ke perusahaanku. Aku dan dia berjanji untuk bertemu di sini, di kafe Olimo, Jalan Betawi.
Aku menghela nafas panjang karena ternyata orang penting seperti ini juga bisa ngaret. Sebenarnya ia sudah SMS, menyuruhku untuk menunggu di dalam saja dan memesan minuman. Namun kuputuskan untuk menunggunya di luar karena aku ingin menikmati pemandangan di luar kafe sehabis gerimis seperti ini.
Aku melirik ke pakaianku yang sudah rapi. Setelan jas hitam dan celana bahan kain yang dipesan langsung dari butik mahal. Aku hanya membawa sebuah ipad dan dua buah ponsel. Agenda hari ini untuk bertemu dengan Pak Ardianto hanyalah makan siang biasa. Sehingga aku tidak memerlukan laptop dan semacamnya. Itu bisa dilakukan oleh bawahanku.
Aku melirik suasana di depanku. Suasana inilah yang ada di bayanganku sehari sebelumnya, ketika aku menyetujui Pak Ardianto untuk bertemu di sini. Jalan Betawi. Jalan yang sangat memberikan banyak kenangan-kenangan indah dan manis bagiku. Banyak sekali mobil-mobil mewah yang berlalu lalang. Dan jumlah sepeda motor juga tidak kalah banyaknya. Toko-toko yang menjual alat-alat tulis bertebaran di mana-mana. Maklum, karena di seberang kafe Olimo ini, berdiri sebuah sekolah yang besar. Siapapun yang melihatnya, pasti mengambil kesimpulan, inilah sekolah paling tua di Jalan Betawi ini. Miris, sungguh miris. Karena itulah sekolahku dulu. Dua puluh tahun yang lalu, sekolah itulah adalah sekolah yang isinya adalah murid-murid nakal dan bandel. Dimana zaman itu naik becak dan jatuh terbalik terlempar ke jalanan sejauh sepuluh meter dari becaknya sudah biasa dilakukan oleh anak-anak angkatanku. Banyak orangtua yang tidak tahu harus bagaimana mendidik anaknya lagi, sehingga mereka pun menyekolahkan anaknya di situ. Karena sekolah itulah yang menerima murid-murid semacam itu.
Namun sekarang, kabarnya sekolah itu sudah menjadi sekolah terfavorit se Jakarta. Sekolah yang memiliki murid-murid pintar dan langganan olimpiade tingkat nasional. Sekolah paling gagah dengan fasilitas yang memadai. Bahkan bangunannya yang sudah tua, tidak mengurangi kesan kalau sekolah ini adalah sekolah yang hebat. Sekolah yang berhasil mendidik murid-muridnya untuk menjadi orang-orang sukses di kemudian hari.
Tanpa sadar kakiku membawaku melangkah masuk ke dalam sekolah itu. Aku tertegun melihat semua perabotan-perabotannya masih sama sejak kutinggalkan sekolah ini dua puluh tahun yang lalu. Semuanya masih sama. Hanya saja dindingnya yang dicat ulang. Aku berjalan terus, menyusuri lorong panjang gelap yang membawaku ke sebuah ruangan kelas. Ruangan kelas inilah yang paling besar. Dan juga merupakan kelasku dulu dengan wali kelas yang paling kubenci. Beliau adalah guru yang paling galak dan tegas di sekolah ini dulu.
Aku membencinya karena dulu dia selalu saja menegur tingkah lakuku. Tidak boleh ini, tidak boleh itu. Memangnya dia siapa? Dia hanya guru yang digaji di sekolah ini untuk mengajar. Kenapa kepo sekali? Aku jengkel ketika telinganya selalu saja tajam ketika mendengar obrolanku dengan teman-temanku. Seperti tidak ada kerjaan saja. Aku selalu sebal ketika ia memberikan hukuman yang paling kubenci. Membersihkan WC! Aku kesal ketika ia selalu menyuruhku datang ke ruang guru dan menceramahiku selama satu jam jika aku melakukan kesalahan yang menurutku tidaklah fatal. Heran, hampir semua yang kulakukan pasti salah di matanya. Aku benci melihat dia memamerkan kebolehannya dalam pelajaran matematika. Selalu saja sok bisa mengajar di depan kelas. Dan selalu menyuruhku mengerjakan soal-soal yang diberikannya di papan tulis padahal ia tahu kalau aku paling membenci pelajaran matematika. Aku sebal ketika dia berbicara dengan ibuku tentang kelakuan jelekku di sekolah. Aku tidak suka melihat dia mencampur urusan pribadiku.
Namun semua kekesalanku itu sirna ketika mataku menangkap sosok tua yang sedang mengajar di depan kelas. Menerangkan semua ilmu yang dimilikinya ke siswa-siswi didikannya. Cara mengajarnya masih sama seperti dua puluh tahun yang lalu. Menggunakan stik berwarna krem. Dan stik itu pun masih sama. Dengan stik itulah aku sering kena pukul. Sudah tak tahu berapa kali ia menggetok punggungku dengan stik itu. Tangannya yang dulu kekar, sekarang berubah menjadi lemas. Matanya yang dulu sangat tajam, sekarang sudah dihiasi dengan kacamata tua. Wajah yang dulu terlihat tampan, sekarang sudah berubah menjadi keriput. Tubuh yang dulunya gagah, sudah berubah menjadi loyo. Itu semua menandakan bahwa usianya sudah tidak muda lagi. Bahkan gerak-gerik yang dulu lincah, sekarang berubah menjadi sangat lamban. Walau aku tidak dapat mendengar suaranya, karena ruangan kelas yang tetutup oleh pintu yang kekar besar, aku yakin, suaranya juga sudah berubah. Tidak suka berteriak-teriak seperti dulu lagi. Air mataku tiba-tiba jatuh tanpa kuketahui.
Bel pulang sekolah berdering keras. Aku melihat semua murid berhamburan keluar dari kelas. Tinggalah dia sendiri. Duduk di atas kursi guru sambil merapikan buku-buku tugas milik murid-muridnya. Aku memerhatikan seluruh gerak-geriknya dengan hati teriris-iris. Sudah sangat tuakah beliau? Berapa usianya dua puluh tahun lalu? Empat puluh? Lima puluh? Suara ponsel yang memekik keras berasal dari kantongku. Aku melirik siapa yang memanggil. Ternyata Pak Ardianto. Entah kenapa rasanya tidak penting lagi. Aku tidak peduli lagi dengan investor itu. Yang ingin kuhampiri hanyalah dia. Seseorang yang sungguh berjasa dalam hidupku. Orang itulah yang telah membantuku melewati masa-masa sulit, walaupun aku sama sekali tidak menghargainya. Orang itu juga yang membimbingku, hingga bisa seperti ini. Beliau tidak hanya mengajarkanku matematika. Namun juga mengajarkanku banyak sekali hal-hal baru tanpa kusadari. Tidak secara langsung memang, tetapi beliaulah yang juga berperan penting dalam hidupku.
Seperti tersadar sedang diperhatikan, beliau menoleh. Dan aku terkejut dengan tatapannya yang tajam mengarah kepadaku. Aku tidak tahu harus berpura-pura lupa kepadanya atau justru menghampirinya. Keringat dingin mulai mengalir keluar melewati pori-poriku. Beberapa saat beliau memandangku seperti itu. Aku yang diluar kelas dan dirinya berada di dalam kelas. Aku menunduk, dan menatap lantai. Siap menerima semua komentar ataupun balas dendam atas perbuatanku masa lalu.
Bunyi langkah sepatu tua yang pelan namun teratur terdengar. Aku mengangkat kepala dan mataku bertemu dengan mata tua itu. Raut wajahnya datar. Kini posisi kami berhadapan. Aku lebih tinggi beberapa centi. Tangannya terangkat. Dan menepuk-nepuk bahuku. Air mataku mengalir deras seketika. Dan aku pun memberanikan diri untuk memeluknya. “Ronald.” panggilnya pelan, hampir tak bersuara. “Ya, Pak.” Jawabku ketakutan, persis dua puluh tahun yang lalu. “Sekian lama Bapak menunggu kau datang. Bapak senang karena keinginan Bapak terkabul karena kau sudah sukses, Nak.”
Cerpen Karangan: Avril Wong IG: av.wong Ask.fm: @avrilwong Email: av.wong03@gmail.com Wattpad: Avrilwong