Di sebuah kota yang sangat padat penduduknya, tinggalah seorang gadis yang duduk di bangku SMP terfavorit di kotanya. Dia tahu kewajiban setiap umat Islam bagi perempuan, sehingga ketika di manapun ia berada termasuk di sekolah, ia selalu menutup mahkotanya dengan jilbab. Ia berwajah putih ditambah lesung pipi yang membuat wajahnya bertambah cantik. Ia termasuk anak yang berasal dari keluarga yang berada. Keluarganya sangat ingin dia menjadi anak yang berprestasi. Hingga suatu saat, keinginan keluarganya pun terwujud. Berbagai kejuaraan ia raih, tentunya berbagai perlombaan yang diikuti oleh sekolahnya, ia selalu yang mewakili sekolahnya. Orangtuanya pun sangat bangga padanya.
“Ma, Salsa berangkat dulu, ya! Assalamu`alaikum,” pamitku kepada Mama. “Ya, Wa`alaikumsalam,” balas Mama. Aku pun segera meraih tas ransel juga memasang jam tanganku dan segera masuk ke dalam mobil yang berada di depan rumahku. Di dalam mobil sudah ada Papa dan adikku, Shirin yang duduk di bangku kelas 5 SD. Papaku bekerja sebagai dokter bedah di rumah sakit internasional. Sedangkan Mamaku bekerja sebagai dosen bahasa Inggris di sebuah universitas di kotaku.
Di perjalanan, Aku sibuk membaca buku Scienceku. Sedangkan adikku, Shirin sedang memakan roti sandwich buatan Mama. “Kak, nanti ada ulangan, ya?” tanya Shirin. “Iya,” balasku santai sambil tetap memandangi deretan huruf yang makin lama membuatku pusing. “Oo.. semangat!” seru Shirin menyemangatiku. Aku hanya tersenyum.
Sesekali Aku menengok ke jendela mobil untuk melihat ke luar disaat lampu merah menyala. Di saat itu, Aku melihat seorang gadis yang sebaya denganku, dia sedang menjual Koran di pinggir jalan, lalu ia menawarkan ke Papaku. Papaku menolak untuk memebelinya. Kasihan, gumamku. Apakah dia tidak sekolah? Apakah dia ingin sekolah? Apakah dia menjual koran untuk sekolah? pertanyaan pun bertubi tubi muncul di benakku.
Sesampainya di sekolah “Salsa, udah belajar belum?” tanya teman dekatku, Syifa. “Insya Allah udah,” balasku mantap. “Salsa enggak usah ditanya, udah atau belum, pasti nanti juga bisa,” balas Syifa sembari menyenggol lenganku, lalu tersenyum kepadaku. Aku hanya tersenyum malu sambil memandangi buku Science-ku.
Teeett… teeett… teeet.. bel sekolah berbunyi. Guru mata pelajaran IPA, Bu Hani pun masuk ke dalam kelasku. Sebelumnya kami berdo`a dahulu sebelum pelajaran di mulai. Selesai berdo`a, kami pun langsung mengerjakan soal ulangan IPA yang diberikan oleh Bu Hani. “Oke, anak-anak, mingu lalu Ibu sudah bilang kepada kalian. Hari ini akan diadakan ulangan IPA. Apakah anak-anak sudah siap?” tanya Bu Hani. “Siap!” teriak kami serempak.
Ketika Aku selesai mengerjakan, aku menoleh ke arah jendela. Tak sengaja, Aku melihat seorang anak perempuan yang tadi kutemui di jalan. Dia mengintip kami yang sedang mengerjakan ulangan sambil membawa sisa koran yang dijual tadi pagi. Aku merasa kasihan dengannya. Mungkin dia ingin sekolah, gumamku.
Akhirnya bel pulang sekolah pun berbunyi, Aku pun segera berlari ke luar gerbang sekolah. Kudapati anak perempuan itu sedang menangis di bawah pohon angsana yang berada di depan sekolahku. Aku mengamatinya sejenak dari jauh. Hingga akhirnya Aku pun memutuskan untuk menghampirinya. Pelan pelan aku berjalan ke arahnya. “Namamu siapa? Kenapa kamu menangis?” tanyaku. Dia tak menjawab. Aku pun bertanya sekali lagi. Dia diam sejenak, lalu membalas perkataanku. “Namaku Shania,” balasnya lirih. “Aku ingin sekali sekolah,” balasnya sambil menundukkan kepalanya. Aku hanya mengangguk paham. “Oo.. kamu ingin sekolah, apakah orangtuamu masih ada?,” tanyaku pelan pelan. Anak itu menggeleng. Seolah-olah mulutku tercengang. Hatiku sontak kaget mendengarnya. Aku merasa bersalah telah menanyakan hal itu. “Dulu, ayahku pergi dari rumah untuk mencari pekerjaan namun sampai sekarang tidak kembali, hingga saat ini, Aku tidak tahu ke mana Ayahku pergi. Saat itu, tinggal aku dan ibu yang ada di rumah. Tak lama setelah ayahku pergi, ibuku mengalami penyakit asma yang cukup parah, Aku sedih sekali. Saat itu, Aku berusaha mencari uang untuk berobat. Namun, menurutku itu harus butuh jangka waktu yang lama. Aku mencari uang dengan menjual semua majalah yang dulu pernah aku beli setiap satu minggu sekali di saat kelas 5 SD. Sepulang dari berjualan aku melihat ibuku terbaring lemas, aku mencari nadi di tangannya. Tidak berdenyut. Seketika Aku menangis tersedu-sedu. Aku segera meminta tolong tetanggaku. Kini, tidak ada lagi yang bisa membiayaiku sekolah,” jelasnya lirih panjang lebar seraya mengusap air matanya yang jatuh perlahan. Mataku terlihat berkaca kaca. “Maaf ya, aku telah mengungkit masalah pribadimu,” ucapku merasa bersalah. Ia hanya mengangguk pelan. “Terus sekarang sebenarnya kamu kelas berapa?” “Kelas 2 SMP,” “Sekarang kamu tinggal bersama siapa?” tanyaku lagi. “Aku tinggal bersama teman-teman di panti asuhan,” balasnya. “Oo.. terus mengapa kamu berjualan koran?” tanyaku ingin tahu. “Eemmm.. hanya untuk ditabung saja dan kalau sudah cukup, aku ingin melanjutkan sekolahku.” balasnya lalu tersenyum. Aku terharu mendengar cerita anak perempuan itu.
Tiba-tiba terdengar bunyi klakson mobil, Aku menoleh ke arah datangnya bunyi klakson tersebut. Ternyata itu mobil Papaku. “Besok kamu ke sini lagi ya, ada yang mau aku bicarain ke kamu. Daah.. duluan ya,” kataku cepat, lalu melambaikan tanganku. Ia hanya mengangguk dan tersenyum. Dari dalam mobil, Ayah melihatku heran. Aku pun menjelaskan dan menceritakan semuanya tentang Shania kepada Papa. Aku juga mengemukakan keinginanku kepada Papa. Akhirnya keinginanku disetujui oleh Papa, Shania disekolahkan di sekolah yang sama sepertiku. Keinginanku yang ke dua, Shania tinggal di rumah bersama kami, namun Papa masih mempertimbangkan itu.
Pada akhirnya, kini Shania telah mendapat izin dari pihak panti asuhan untuk tinggal bersamaku. Dan sekarang dia menjadi temanku di rumah. Yeee.. aku bersorak riang, kini aku memiliki teman bermain dan belajar di rumah, walaupun sebenarnya aku mempunyai adik di rumah. Tetapi setidaknya Shania kan sebaya denganku.
Keesokan harinya, Papa dan Mama telah mendaftarkan Shania untuk bersekolah, Shania sangat berterimakasih kepada kami. Karena, kami telah membantunya untuk bersekolah lagi. Akhirnya sekolahku menerima Shania sebagai murid baru. Shania menempati kelasku. Setelah beberapa hari sekolah, kulihat perkembangan belajar Shania, ia mampu mengerjakan soal hitung-hitungan seperti matematika juga fisika dan nilai yang didapat juga bagus. Apakah ini kelebihan Shania? tanyaku di dalam hati. Selain itu, menurutku ia juga mampu menguasai dan memahami semua pelajaran. Sungguh hebat!
Tiba di waktu menjelang ulangan kenaikan kelas, Aku dan Shania selalu belajar bersama. Jika ada materi pelajaran yang tidak paham kami saling tanya menanyakan. Ulangan Kenaikan Kelas (UKK) Aku mengerjakan soal dengan teliti dan cermat. Begitu pula Shania, ia mengerjakannya dengan sungguh sungguh sekali. Hingga akhirnya UKK telah usai, tiba waktunya pengambilan rapot. Mama yang mengambil rapotku juga rapot Shania.
“Alhamdulillah, rapot kalian berdua sama sama bagus,” ujar Mama. “Iya, Ma?,” tanyaku penasaran sembari meraih pelan rapotku dari Mama. “Oo.. iya, selamat ya Salsa. Salsa mau apa?,” ucap Mama “Makasih, tidak usah Ma, cukup Mama yang selalu ada untukku,” balasku tersenyum lalu memeluk Mama. Mama ikut tersenyum, lalu mengusap pelan kepalaku. Shania menatap rapotnya dengan senang pula. Ia meraih rangking yang tidak jauh denganku. Ya, ia meraih rangking 2. Kami pun saling memberi ucapan selamat.
Satu tahun kemudian… Sekarang Aku telah kelas 1 SMA. Sekolah sering meminta Aku dan Shania untuk menjadi perwakilan sekolah di setiap ajang lomba yang diikuti sekolahku. Khususnya lomba yang berada di bidang akademik. Saat ini ada beberapa olimpiade yang harus aku ikuti bersama Shania. Pertama, olimpiade matematika yang diadakan minggu ini. Kedua, olimpiade Sains yang akan diadakan minggu depan. Lalu yang terakhir, olimpiade fisika pada bulan depan. Aku sedikit lelah mendengar jarak waktu lomba yang sangat berdekatan. Dan sekarang Aku dan Shania lebih giat mempelajari pelajaran olimpiade terutama Matematika dan Sains.
Menjelang olimpiade matematika, Aku dan Shania meminta do`a dan dukungan kepada guru-guru dan seluruh teman-teman di sekolahku. Peserta olimpiade matematika cukup banyak. Setelah olimpiade matematika berakhir, Aku mempersiapkan untuk olimpiade Sains yang diadakan minggu depan.
Tiba di waktu olimpiade Sains. Aku mengerjakan dengan sungguh-sungguh begitu pula Shania. Peserta yang mengikuti olimpiade Sains cukup banyak juga, seperti olimpiade sebelumnya. Pengumuman pemenang diumumkan minggu depan.
Olimpiade matematika dan sains telah kulewati dengan lancar, walaupun hanya beberapa soal yang sedikit meragukan jawabannya. Karena olimpiade berikutnya masih bulan depan yaitu olimpiade Fisika. Kami pun memutuskan untuk berkunjung ke sebuah tempat wisata yang tidak jauh dari rumah sebagai refreshing.
Lima hari lagi. Ya, lima hari lagi olimpiade Fisika dimulai. Sungguh capek, kini kami harus belajar fisika lebih serius lagi. Menurutku peserta olimpiade fisika ini banyak sekali dan itu berarti banyak sekali saingannya. Hingga pada akhirnya olimpiade fisika ini kami lalui dengan sedikit rasa kesal, karena kami tidak mempelajari salah satu materi yang diajukan di saat olimpiade. “Akhirnya, semua olimpiade berlalu.” kata Shania, lalu menyalakan AC yang berada di ruang keluarga. “Alhamdulillah Shania, semoga kita menang terus kita bisa dapat beasiswa ke luar negeri,” “Amiiiinn,”
Tiba pengumuman pemenang olimpiade matematika, aku mencari namaku di kertas pengumuman yang ditempel di mading pengumuman. Mana namaku, Salsabila Putri Amelia?, tanyaku dalam hati. Aku hanya melihat nama Shania, lengkapnya Shania Nasywa Anindita. Shania langsung melonjak kaget, dia gembira sekali. “Selamat ya!” ucapku. Di samping nama Shania tertera tulisan juara 1 dan hadiahnya berupa beasiswa ke Jerman, trophy, dan sertifikat, tak lupa uang tunai juga. Shania berangkat ke Jerman bulan depan. Aku sedikit iri dengan Shania. Aku berharap menjadi juara pertama ketika olimpiade Sains atau Fisika.
Minggu ini pengumuman lomba olimpiade sains telah ada. Untuk kedua kali ini, aku tidak menang. Namaku tidak tertera di pengumuman, begitu pula nama Shania. Rasa pesimisku mulai muncul. Namun aku berusaha untuk menghilangkannya. “Tidak apa-apa, jangan mengeluh. Tunggu pengumuman olimpiade fisika, Sal,” kata Shania menghiburku lalu tersenyum. Sebulan kemudian tepat pengumuman olimpiade fisika. Aku berharap semoga aku menjadi juara pertama.
Tiba-tiba, Shania menghampiriku. “Salsa!!, kamu juara satu Sal, selamat ya!.” seru Shania seraya mengoyang-goyangkan tubuhku. “Alhamdulillah,” ucapku. Aku tidak menyangka, ternyata aku bisa menjawab soal yang belum dipelajari kemarin dengan benar. Tangan kananku menutup mulutku yang tercengang tak percaya. Lalu berlari menuju papan pengumuman. Benar ternyata, di sana terpampang jelas namaku beserta hadiahnya berupa beasiswa ke Sydney, Australia, trophy, sertifikat, dan uang tunai. Selain itu juga tertera waktu berangkatnya yaitu tanggal 30 sedangkan Shania tanggal 25. Teman teman yang berada di sekitarku memberiku selamat. “Selamat, Sal,” seru Marsha teman sekelasku.Aku hanya mengangguk tersenyum.
Segera aku memberitahu kepada Mama dan Papa. Ketika Mama dan Papa mendengar berita bahwa Aku menang olimpiade Fisika dan mendapat beasiswa ke Australia, mereka sangat senang juga bangga. “Wah.. kalian benar benar hebat! sekolah yang baik ya, di sana!” kata Papa. Aku dan Shania mengangguk bersamaan. “Shania kurang 5 hari lagi, lho! ayo siap-siap dari sekarang,” ujar Mama. “Iya, ini lagi siap-siap,” “Salsa, sudah packing baju?.” tanya Mama. “Belum, kan masih lama, kurang 10 hari,” balasku lalu tersenyum meringis.
Aku tidak menyangka, karena aku bisa meraih juara olimpiade fisika yang sebelumnya menurutku sulit. Dan aku bisa mendapat beasiswa ke Sydney, Australia. Rasa senangku tidak berakhir di sini, aku masih senang sekali lagi. Aku senang karena, bisa menolong Shania yang awalnya hanya seorang penjual Koran hingga akhirnya bisa sekolah dan juga meraih juara olimpiade matematika berkat bantuanku dan orangtuaku. Shania kini merasa, segala yang ia inginkan dari dulu telah terwujud. Mulanya ia ingin sekolah, lalu mendapat beasiswa. Semua itu terwujud. Aku berharap dengan diberi beasiswa, Shania bisa melanjutkan ke perguruan yang lebih tinggi dan menjadi orang yang sukses. Begitu pula denganku.
Cerpen Karangan: Ramadina Sabila Firdausi Facebook: Ramadina Sabila Firdausi