Mimpi… Apa semua orang tidak mempunyai mimpi? Apa hanya orang-orang tertentu yang boleh bermimpi? Dan apakah orang sepertiku tak boleh bermimpi?
Aku hanya bisa merenung dan berfikir. Apakah ada yang salah dengan makhluk seperti diriku. Banyak orang yang meremehkan mimpiku. Banyak orang yang tertawa setelah mengetahui mimpiku. Banyak juga yang menyindir. Dan ada juga yang membuliku karena mimpiku.
Seorang perempuan paruh baya berusaha menenangkan anak gadisnya yang sedang menangis tersedu-sedu. Perempuan itu memeluk putrinya sambil membelai rambutnya. “Sudahlah, Nduk. Kamu jangan terlalu dipikirkan omongan orang-orang di luar sama,” bisik perempuan paruh baya itu untuk menenangkan hati anaknya yang sedang berduka. “Ibu ngerti apa yang Tyas rasain. Ibu paham, Nduk. Ibu cuma pesen aja sama Tyas. Kamu jangan terlalu mengharapkan untuk ngelanjutin kuliah. Kamu ngertikan, Nduk?” sambungnya. Tyas melepaskan diri dari pelukan Ibunya, “Ke ke kenapa i ibu ga-gak percaya sama Tyas? Ibu mau bilang kalau Tyas cuma anak buruh tani. Dan Ibu juga mau bilang kalau Tyas gak mungkin bisa kuliah. Iya ‘kan, Bu?” ucapnya di sela-sela isakannya. “Gak ngunu (bukan begitu), Nduk. Ibu sedih nge-” “Kenapa, Bu? Ibu emang gak pernah bisa ngertiin Tyas. Tyas cuma pingin buktiin kalau Tyas itu mampu dan bisa sukses. Sekarang udah banyak peluang buat anak-anak yang pengen kuliah tapi gak ada duitnya. Sekarang udah banyak beasiswa, Bu. Jadi, gak terlalu sulit dengan biayanya, Bu. Dan Tyas yakin kalau Tyas bisa.” “Ya sudahlah, Nduk. Ibu cuma bisa mendo’akan yang terbaik buat kamu, Nduk,” ucap ibunya sambil menepuk bahu Tyas dan pergi meninggalkan putrinya itu sendiri.
Tyas hanya bisa menundukkan kepalanya dan mendengarkan ejekan demi ejekan dari temannya. Dia sadar apa yang jadi mimpinya memang sangat sulit untuk dia wujudkan. “Wihh … Brosur apa ini, Yas?” ucap Denada setelah mengambil alih selembar kertas dari tangan Tyas. “Bukan apa-apa kok, Den.” Tyas berusaha mengambil kertas dari tangan Denada. Tetapi kertas itu dijauhkan oleh Denada. “Dena, balikin saya mohon,” kata Tyas lagi sambil terus berusaha mengambil alih kertas miliknya. “Kenapa takut banget sihh?” ucap Denada lalu membuka dan membaca kertas yang dia bawa. “Hahaha… Tyas Alfiana mengajukan permintaan beasiswa tapi ditolak.” Denada melemparkan kertas yang ia bawa tepat di wajah Tyas. “Kasian banget sih.. Tyas!!” seru teman-temanya yang lain.
“Kalian ini kenapa sih? Emangnya kalian gak punya mimpi,” bela Ani. “An, lo itu kenapa sih? Ya kita pasti punya mimpi lah. Tapi dia kan cuma anak buruh cuci yang ngayal buat kuliah. Haha,” bantah Denada. “Terus kalo Tyas cuma anak buruh cuci apa urusan lo? Apa dia gak boleh punya mimpi. Apa cuma orang kayak kalian aja yang boleh punya mimpi.” Aldi berdiri dari tempat duduknya. “An, ajak Tyas ke kamar mandi buat cuci muka. Jangan sampai ada guru yang tau kalau gak mau kena marah,” lanjutnya. Dan diikuti anggukan patuh dari Ani.
Semenjak saat itu Tyas memiliki semangat belajar yang sangat tinggi untuk menghadapi Ujian Nasional yang tinggal beberapa hari lagi. Dia memiliki tekad yang sangat kuat untuk mendapatkan besiswa. Pihak sekolah mengiming-imingi beasiswa bagi siswa yang mendapatkan nilai tertinggi.
Saat Ujian Nasional Saat menuju ruang ujiannya Tyas bertemu dengan Denada. “Udah siap buat kegagalannya, Yas?” tanya Denada penuh dengan kesombongan. Denada memang anak yang paling cerdas di sekolah ini. Sayangnya Denada memiliki kesombongan yang sangat luar biasa. Dia merasa kalau dia tak akan terkalahkan. “Udah, Yas. Cuekin aja fokus sama ujian lo aja,” bisik Ani dan langsung menarik tangan Tyas untuk menjauh dari Denada. “An, kalau apa yang diomongin Dena bener gimana?” tanya Tyas saat mereka sampai di depan ruang ujiannya. “Kenapa kamu jadi pesimis gini sih, Yas. Aku yakin kok kalau kamu bisa ngalahin Denada. Percaya sama aku,” ucap Ani berusaha meyakinkan sahabatnya itu.
Saat Pengumuman Kelulusan Suasana yang gaduh berubah menjadi diam saat Kepala Sekolah naik ke atas panggung untuk membacakan siapa siswa yang mendapatkan juara 1 dan akan mendapatkan beasiswa.
“Siap-siap tisu yang banyak ya, Yas” ejek Denada yang duduk tak jauh dari tempat duduknya. Ani menatap Denada geram, “lo, ngomong sekali lagi gue cakar beneran muka lo!” “Udah biarin aja An,” ucap Tyas berusaha meredakan emosi Ani.
Para siswa mendengarkan pidato dan nasehat dari Kepala Sekolah. Semua siswa juga menunggu pengumuman siapa siswa yang mendapatkan beasiswa untuk tahun ini. “Baiklah. Saya tidak ingin berbicara terlalu banyak. Sepertinya anak-anak sudah penasaran siapa yang mendapatkan beasiswa untuk tahun ini,” jelas Kepala Sekolah. “Dan yang mendapatkan beasiswa tahun ini adalah…” Tyas melirik ke arah Denada yang dengan penuh keyakinan kalau dia pasti akan mendapatkan beasiswa tersebut. Hal itu berhasih membuat kepercayaan diri Tyas menciut.
“Selamat untuk… Tyas Alfiana.” Tepuk tangan dari teman-temannya berhasil membawa Tyas kembali ke dunia nyata. Sebuah air menetes dari kelopak matanya. Tak percaya itu hal yang pertama kali dia rasakan. “Selamat ya Tyas. Do’a kamu selama ini di dengar sama Tuhan. Sekali lagi selamat ya!!!” Ani memeluk sahabatnya itu.
Tyas bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju panggung untuk menerima sebuah penghargaan dari Kepala Sekolah. Sedangkan Denada hanya bisa menundukkan kepalanya karena malu dengan apa yang selama ini dia lakukan. “Mimpi??!” ejek Ani kepada Denada. “Bisa diem gak lo!” geram Denada. Ana tertawa lepas melihat ekspresi Denada yang menahan malu, “Wisss… Sadis banget mbak!”
Mimpi… Mimpi bukan hanya bunga tidur Mimpi bukan hanya angan-angan Dan mimpi juga bukan sebuah lelucon Mimpi adalah cita-cita Mimpi adalah keinginan Mimpi perlu diperjuangkan Dan mimpi juga bisa diwujudkan Apabila hal itu sudah terwujud Apa ini hanya sebuah MIMPI?
Cerpen Karangan: Siti Nurfaiza Izin dulu ke saya ya! Kalau kalian mau nge-share cerita saya. Follow akun wattpad saya kalau kalian punya di @stnfaiza. Terima Kasih