Namaku Cantika, tahun ini aku masuk semester 5 dalam perkuliahan. Aku sering dipanggil cika, aku adalah seorang yang sangat sulit menolak permintaan orang lain. Teman-temanku sering menegur aku bahkan memarahiku ketika aku tidak berani menolak permintaan orang lain yang membebaniku. Tapi tetap saja aku tidak bisa menolaknya karena aku merasa segan.
Aku sangat suka mengambil mata kuliah atas ketika sks ku memenuhi untuk mengambilnya. Di semester ini aku mengambil satu mata kuliah atas. Dalam mengikuti mata kuliah ini aku selalu dengan seorang kakak bernama Vika. Di kampus tempat aku kuliah berasal dari baragam-ragam suku, Vika adalah salah satu yang satu suku dengan aku. Ketika pergi ke kampus mengikuti mata kuliah atas yang kuambil yaitu Psikologi kami selalu berangkat sama-sama bahkan duduk di kelas pun berdekatan.
Tiba saatnya kami mengikuti ujian tengah semester. Dosen pengampu memberikan tugas untuk mengerjakan soal sebanyak 8 nomor. Ketika dalam perkuliahan, dosen memberikan penjelasan tentang ujian kami. “Tugas TTS kalian adalah mengerjakan delapan soal ini dengan catatan setiap soal harus dijawab dengan 10 sumber buku dan memakai empat buku bahasa Inggris setiap soal. Tugas ini dikerjakan diluar perkuliahan dan saya memberikan waktu 2 minggu untuk kalian mengerjakannya”. Kami sebagai siswa cukup syok dengan tugas ini. Aku hanya diam dan bingung bagaimana aku akan mengerjakannya karena aku sangat kesulitan dalam bahasa Inggris. Aku mencoba tegar menghadapi tugas ini, dalam hati aku berkata aku pasti bisa mengerjakannya hanya butuh usaha yang maksimal.
Setelah selesai perkuliahan Vika mendekatiku dan berkata ”Cika, nanti kita ngerjain tugasnya bareng ya, soalnya kalo ngerjakan sendiri aku malas”. “Oke kak Vik, kabarin aja kapan kita mulai mengerjakannya”. “Iya nanti aku kabarin kamu deh, biar nanti kita kerja bareng di perpustakaan”. “Ide bagus kak, kalo bisa kita kerjain secepatnya soalnya tugasnya banyak banget”. Sambil aku menelan ludah mengingat banyaknya sumber yang harus dicari.
Beberapa hari kemudian kami pergi ke perpustakaan bersama seorang kakak senior namanya Rio, dia juga mengambil mata kuliah yang sama dengan kami. Di perpustakaan kami berusaha masing-masing mencari sumber untuk menjawab soal ujian. “Kak, kita cari sumbernya masing-masing terus nanti kita gantian pakai bukunya biar tugas kita cepat selesai.” “Okee siapp, ya udah yuk kita cari bukunya di sebelah sana sepertinya sumbernya banyak di sana”.
Kami bertiga semangat mencari sumber sampai-sampai karena banyaknya kami membawa beberapa tumpukan buku untuk dikerjakan. “Waduhh kalo sebanyak ini belum baca saja aku udah pusing” ujar kak Rio. Kami mulai membaca buku itu dan berusaha menemukan jawaban yang tepat. Aku mulai serius mencari dan mendapat beberapa jawaban.
Ketika kak Rio melihatku kesulitan membaca sambil mengetik jawaban dia menawarkan untuk membacakannya untukku dan aku yang mengetikkan. Aku setuju dan kami mulai mengerjaknnya bersama-sama. Aku melihat kak Vika yang sedang asik dengan HP nya, dia mengabaikan buku-buku yang telah dia ambil dari rak buku. Aku tidak berani menegur dia karena aku takut dianggap sok rajin.
Setelah beberapa jam aku dan kak Rio hanya bisa menjawab beberapa soal saja sedangkan kak Vika tidak ada menjawab satu soalpun karena dia hanya fokus dengan HP-nya. Setelah kami pulang dari perpustakan aku merasa kesal karena hanya sedikit yang bisa kami jawab setelah berjam-jam di perpustakan dengan kondisi tidak ada makanan apapun yang masuk kedalam perut mulai dari pagi sampai sore.
Aku terus berusaha mengerjakan tugasku setiap kali aku punya waktu luang. Setelah batas pengumpulan akan tiba kak Vika menghubungi aku. “Cika, tugas kamu sudah siap kah?” “Belum kak Vika, ada beberapa nomor lagi yang belum aku jawab, kak Vika sudah selesai?” “Belum nih, aku bagi jawaban kamu ya soalnya aku baru selesai nomor 1 nih.” Aku terdiam beberapa saat mendengar perkataannya, sebenarnya sih dalam hatiku menolak tapi aku gak bisa melakukan itu. “Mmm…, ya udah deh kak nanti aku kirim ya.” “Okee Cika jangan lupa ya, nanti aku kasi jawaban aku no 1 sama Cika trus soal yang udah Cika jawab kirim ke emailku ya.” “Oke deh kak.” Aku menjawab dengan sedikit kesal dan sangat ingin menolaknya. Tapi karena aku tidak bisa menolak akhirnya aku mengirimkan jawabanku.
Aku menceriterakan itu pada kak Rio, dia memarahiku karena aku memberikan jawabanku pada kak Vika. “Aduhh Cikaa, kamu gimana sih?!!” “Kalo dia gak ada usaha biarin aja tugasnya gak selesai, itu kan salah dia.” “Awas kalo dia ikutin jawaban kamu persis kamu pasti dikatakan plagiat sama dosen kita.” Aku menjadi khawatir mendengar perkataan kak Rio. “Aku gak bisa nolak dia kak Rio, tadinya sih aku pengen banget menolaknya tapi apalah daya diriku yang gak bisa nolak ini.” “Cika cika, (sambil menggaruk kepalanya) harusnya kamu itu memberanikan diri untuk menolaknya, kamu sih gak memikirkan dulu apa resikonya jika kamu memberikan jawaban kamu.” “Maaf kak Rio tapi udah terlanjur aku memberikan jawabannya kak”. Aku menyesali tindakanku yang tidak berpikir dahulu dan langsung bertindak. “Yaaa udah terlanjur juga kan, lain kali kamu harus bisa menolak sesuatu yang bisa membahayakan kamu. Pokoknya Cika harus belajar berani menolak yang tidak penting dari sekarang”. “Okee?!” Kak Rio menepuk pundakku. “Okee siappp pak!”, aku memberikan hormat pada kak Rio. “Hahaha kamu ini, bercanda terus”. Kak Rio tertawa melihat tingkahku.
Tiba waktunya pengumpulan tugas, aku, kak Rio dan kak Vika pergi mengumpulkan tugas bersama ke kantor dosen kami. Setelah mengumpulkan tugas aku sedikit lega karena bebanku sudah berkurang. Tapi tiba keesokan harinya Dosen mengirim pesan ke emailku dan mengatakan bahwa aku dan kak Vika plagiat (jiplakan) karena ada jawaban kami yang sama persis. Aku sangat syok membaca email itu aku teringat dengan perkataan kak Rio. Rasanya aku pengen menangis, aku benci dengan diriku karena perbuatanku.
Beberapa hari aku gak keluar dari kos dan hanya menyesali apa yang telah terjadi. Kak Rio mengetahui hal ini dan dia menemui dan berusaha menghiburku yang sedang terpuruk karena aku dikatakan plagiat. Dan yang paling menyakitkan bagiku adalah ketika kak Vika mengatakan kepada orang lain bahwa akulah yang melihat jawabannya. Saat kak Rio menemuiku aku menangis dan ingin marah sama kak Vika yang ternyata menusukku dari belakang. Aku memberikan jawaban padanya tanpa membeberkan sama orang lain selain kak Rio karena aku percaya sama kak Rio dia tidak akan mengatakan hal itu kepada orang lain. Tapi kak Vika justru memutar balikkan fakta.
“Kak apa yang harus aku lakukan?” “Aku takut mendapat nilai E kak, nanti IPK aku turun mama sama papa pasti marah sama aku.” Aku menangis tersedu-sedu. “Udah dong Cika jangan nagis lagi ya, itu pelajaran buat Cika supaya kedepannya gak melakukan kesalahan yang sama. Cika harus kuat dan berdoa sama Tuhan biar nilai Cika nanti bagus. Bukan kesalahan Cika dikatakan Cika plagiat tapi kecurangan yang dilakukan Vika. Cika harus sabar ya.” Kak Rio berusaha menghiburku. “Iya kak, mulai dari sekarang Cika harus berani menolak orang,” ujarku menguatkan diri sendiri.
Aku berdoa sama Tuhan agar semester ini aku mendapat nilai yang bagus dan meningkat dari sebelumnya. Aku lulus dalam mata kuliah Psikologi yang dikatakan aku plagiat meskipun dengan nilai yang kurang memuaskan. Aku bersyukur atas kejadian ini karena aku mendapatkan pelajaran yang sangat berharga dalam hidupku. Kejadian ini membuatku untuk lebih waspada terhadap apapun juga. Berpikir sebelum bertindak itu sangat penting, walaupun dalam situasi genting kita harus mampu berfikir untuk melakukan tindakan agar kita mengambil tindakan yang tepat.
Cerpen Karangan: Harini Natalia Sembiring Facebook: harininatalia14[-at-]yahoo.co.id Email: harinisembiring10[-at-]gmail.com