Tria. Begitulah namanya. Seorang anak perempuan berhijab yang saat ini sedang duduk di bangku sekolah SMA. Melihatnya begitu aneh. Tidak ada yang mau mendekatinya sebagai teman. Banyak orang prihatin dan kasihan dengan kondisinya. Kondisi dengan tubuh mungil dan bisa dibilang agak dekil tak mengurus diri. Padahal, dia sudah kelas XII SMA. Kesehariannya selalu sendiri. Semua orang di sekolah, menganggapnya tidak mempunyai kemampuan apa-apa. Tidak pandai berolahraga, tidak pandai dalam bidang seni, tidak nyambung diajak mengobrol, bahkan bodoh dalam pelajaran di kelas. Semua memandang ia lemah. Kehidupannya bagai segitiga. Susah untuk berputar.
Tapi, ada hal yang saya senangi darinya. Dia adalah anak yang rajin membantu. Di pagi hari, dia sudah sampai sekolah jam setengah 6. Kemudian, dia membantu para petugas kebersihan sekolah untuk menyapu, membuka kunci-kunci kelas, dan menyirami tanaman. Bahkan setelah pulang sekolah, dia membersihkan masjid dan baru pulang jam setengah 6 sore. Saya sering memperhatikannya. Dia juga sering membantu saya merapikan ruang BK tempat saya bekerja. Anaknya memang sangat baik. Menurut saya, belum ada murid sebaik Tria yang saya temukan di sekolah ini selama 2 tahun terakhir saya di sini.
Perkenalkan, nama saya Anda Mila. Biasa dipanggil murid-murid, Ibu Mila. Saya adalah seorang psikolog yang bekerja di salah satu SMA Swasta di Jakarta. Yang menangani anak-anak bermasalah yang melanggar aturan sekolah, dan anak-anak yang mempunyai masalah di lingkungannya, seperti Tria.
Hari ini adalah hari awal untuk bekerja kembali. Seperti biasa, saya berangkat diantar suami yang juga akan bekerja. Saya berangkat jam setengah 6 dan sampai jam 6 di sekolah. Tapi, hari ini berbeda. Saya tidak melihat Tria menyirami tanaman bersama para petugas kebersihan sekolah. Ke mana dia? Saya menanyakan hal ini pada salah seorang petugas kebersihan.
“Pak Jaya, si Tria kok gak ada?” “Ndak tau, belum kelihatan dari tadi.”
Kemana dia? Apa dia terlambat? Saya tidak ingin dia masuk dalam catatan BK sebagai siswa-siswi bermasalah dengan aturan. Saya berdiri di depan gerbang sekolah menyambut siswa-siswi datang. Tapi sudah jam setengah tujuh, saya tidak melihat Tria. Saya coba bertanya kepada wali kelasnya, Bapak Nurdin.
“Pak, si Tria ke mana? Biasanya udah datang jam setengah 6, kok sampe gerbang ditutup gak ada ya, Pak?” “Loh? Dia gak izin sama saya, Bu. Nanti coba saya tanya ke teman sekelasnya ya.”
Tiba-tiba, datang teman sekelas Tria yang bernama Mahmudah menghampiri Pak Nurdin. Saya dan Pak Nurdin turut menanyakan tentang Tria.
“Eh, Mahmudah. Tria memangnya gak masuk?” Tanya Pak Nurdin. “Nah, saya ke sini mau tanya itu, Pak. Saya mau tanya absennya Tria gimana nih? Saya kira dia izin ke Bapak.” “Loh, dia gak izin sama Bapak tuh.” “Kok tumben dia gak masuk ya Dah?” tanya saya pada Mahmudah. “Gak tau, Bu. Ya udah deh, saya alfain aja ya?” “Ya udah iya, nanti kalau ada pemberitahuan dari Tria, Bapak kasih tau deh.”
Ke mana Tria?
Sekitar 10 hari Tria tidak masuk sekolah. Apa penyebabnya? Saya mencoba mencari tahu sendiri karena memang Pak Nurdin wali kelasnya tidak diberi tahu keterangan apa-apa. Sepulang dari sekolah, saya mencari data rumah Tria. Saya pergi ke sana naik gojek. Daerah rumahnya ada di sekitar pinggiran kali Ciliwung.
Ketika saya sampai, saya kaget melihat kondisinya. Rumah-rumah di sini sangat kumuh. Bau, dan penuh sampah. Sungguh sebuah kehidupan yang keras yang harus dilalui Tria. Saat itu, saya melihat seorang Bapak tua yang sedang membersihkan sampah. Saya mencoba bertanya keberadaan rumah Tria pada Bapak itu.
“Assalamu’alaikum, Pak.” “Wa’alaikumsalam. Ada apa ya, Bu?” “Saya ingin tanya rumah Tria. Bapak kenal tidak? Anaknya agak kecil.” “Oh, Tria? Dia biasanya kalo libur, jam segini lagi ngamen, Bu.” “Libur? Ngamen? Ngamen di mana ya, Pak?” “Biasanya di perempatan lampu merah, Bu.” “Hmm, tapi Bapak tau rumahnya?” “Tau. Mau saya tunjukin jalannya gak?” “Boleh, Pak.” “Sok, monggo.”
Saya menyusuri jalan setapak yang sangat kumuh. Benar-benar kumuh. Dan sampailah saya di rumah Tria. Inikah yang disebut rumah? Sebuah rumah yang terbuat dari kardus? Saya tercengang melihatnya.
“Assalamu’alaikum?” Saya mengucapkan salam untuk menguji apakah ada orang di sini atau tidak.
“Eh iya, wa’alaikumsalam. Dengan siapa ya?” Seorang ibu tua yang keluar dari rumah kardus itu.
“Ibu orangtua dari Neneng Tria?” “Iya, saya ibunya. Ibu ini siapa ya?” “Saya Anda Mila, guru psikologi sekolah Tria.” “Oh, iya Bu. Saya minta maaf ya, Tria gak masuk-masuk. Saya gak ada duit buat ongkosnya Tria. Hasil mulung gak mencukupi. Tiap hari juga Tria ngamen buat ongkos besok sekolah.”
Saya tercengang lagi mendengar perkataan dari Ibunya Tria. Semangatnya untuk sekolah sungguh luar biasa. Orangtuanya begitu mendukung walaupun tidak mampu. Kekaguman saya bertambah pada anak itu. Meskipun dinilai orang tak berprestasi, tapi dia sungguh bersemangat. Bahkan menurut saya, itulah kelebihannya yang jarang dimiliki anak-anak lain seusianya. Berjuang untuk bersekolah meskipun masih kesulitan mendapatkan sesuap nasi.
Tak lama kemudian, Tria datang. Dia seperti kaget melihat saya ada di depan rumahnya.
“Ibu? Ngapain di sini?” “Saya coba cari tahu ke mana kamu selama 10 hari ini. Biasanya kan, tiap pagi saya lihat kamu bantuin Pak Jaya, Pak Mamat, sama Bu Inem nyiram tanaman. Kok sekarang kamu gak sekolah-sekolah?” “Maafkan saya ya, Bu. Saya gak pernah ngasih tau kondisi saya yang… ya, ginilah hehe. Saya gak bisa sekolah karena kurang ongkos Bu, akhir-akhir ini banyak sekali keperluan bayaran adik saya di sekolahnya. Jadi saya masih nabung uang untuk ongkos sekolah.” “Iya saya ngerti kok, hmm, besok sekolah ya. Nanti Ibu tambahin ongkosnya. Udah mau UN loh, sebulan lagi.” “Aduh nanti jadi ngerepotin. Gak usah, Bu.” “Udahlah, gak apa-apa. Ya? Ini Ibu kasih ongkosnya, sekalian sebagai ucapan terimakasih dari Ibu karena kamu sering bantu-bantu Ibu. Nih ya.” “Ya Allah, Bu.. Terimakasih banyak ya, insyaallah besok saya mulai sekolah lagi. Terimakasih juga Ibu udah mau ke sini.”
Wajahnya yang ceria ketika saya memberinya uang seratus ribu rupiah, membuat saya juga ikut bahagia membantunya. Saya pun merasa sangat lega sekali setelah bertemu dengan Tria. Tanpa banyak basa-basi, saya segera pamit pulang.
“Hehe, ya udah deh, saya pamit dulu ya Bu, Tria. Takut suami saya udah nunggu di rumah.” ucap saya sambil tersenyum.
Saya pun pamit dan meninggalkan rumah Tria.
Itu adalah kejadian yang masih terlintas dalam pikiran saya. Siswi yang begitu baik, yang tak pernah saya temui setelahnya. Kejadian 6 tahun yang lalu, dimana saat itu saya merasa menjadi seorang guru sekaligus psikolog yang baik. Yang saya dengar kabarnya sekarang, Tria tinggal di Medan dan sudah menikah dengan seorang laki-laki berdarah Medan dan menjadi pengusaha kue Bika Ambon yang terkenal dan memiliki cabang di Jakarta dan Bandung.
Saya benar-benar merasa bangga dengan Tria. Seorang anak perempuan yang dulunya sering dibully, kini sudah menjadi pengusaha terkenal. Dia sudah berhasil membalik segitiga kehidupannya menjadi lebih baik. Cerita ini juga saya jadikan motivasi bagi anak bimbingan konseling saya di sekolah. Dan saya berharap, tidak ada lagi yang bermalas-malasan sekolah serta semakin banyak yang bercita-cita untuk meraih sebuah kesuksesan seperti Tria.
Cerpen Karangan: Sainada Oktoby Sherly Abdillah Facebook: Sainada Osa Seorang pecinta sastra Indonesia.