Matahari terik menusuk seluruh tubuh, peluh yang menetes telah membasahi tubuhku. Di sini aku berjalan menyusuri jalan yang begitu padat, menunggu antrian yang begitu panjang. Begitu jauh aku menuntut ilmu demi orangtua yang aku cintai, meninggalkan ayah, ibu dan adikku.
Akhirnya sampailah aku di depan pendaftaran ulang mahasiswa baru UIN Antasari Banjarmasin. Raut wajah yang sedari tadi kusam dan jelek, langsung berubah menjadi senyuman yang lebar dan kegirangan.
“Ini Pak uang pembayaran UKT-nya.” Kuserahkan uang yang ada di dalam tasku. “Iya, ini kwitansinya Nak, nanti hari senin sudah dimulai ya perkuliahannya. Jangan lupa untuk berhadir”. Sahut Bapak yang ada di depanku. “Iya Pak, terima kasih atas informasinya. Kalau begitu Saya permisi Pak. Assalamu’alaikum.” Pamitku sebelum keluar dari ruangan tersebut. “Wa’alaikum salam”. Sahut serentak dari petugas penjaga pendaftaran.
Sekarang statusku sah sebagai mahasiswi di UIN Antasari Banjarmasin, aku memilih jurusan Kependidikan Islam prodi Bimbingan Konseling Islam. Sebuah kebanggan bagiku sebagai anak kampung yang terpelesok bisa menyandang status sebagai mahasiswi.
3 hari kemudian tibalah saatnya perkuliahan dimulai, entah kondisi apa yang sedang aku rasakan aku begitu gugup. Ya, hari dimana aku akan mendapatkan teman baru dan mata kuliah yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.
“Assalamu’alaikum.” Dengan wajah yang kaku dan bingung kuberanikan diri untuk mengucapkan salam di balik pintu kelas. “Wa’alaikum salam, silahkan masuk.” Sahut seorang wanita yang duduk paling depan sambil melontarkan senyuman kepadaku. “kamu jurusan Kependidikan Islam juga?.” Tanyanya tanpa tahu siapa aku. “Iii..yyaa..” jawabku dengan kondisi masih kebingungan dan gugup. “ohh.. berarti kita satu jurusan dong. Perkenalkan namaku Muti, asal dari Banjarmasin.” Sambil mengulurkan tangan kepadaku. “Iya. Nama saya Rina dari Kapuas.” Mengulurkan tangan dan menjabat tangan wanita yang beberapa detik yang lalu aku kenal.
Sejak perkenalan itu, aku dan Muti selalu bersama-sama, entah itu pergi ke kantin ke masjid maupun pulang kuliah. Dia selalu menjadi teman curhatku, tempat keluh kesahku dan teman berbagi ilmu. Hingga suatu ketika Muti mengajakku untuk pergi ke rumahnya, aku pun menerima ajakannya.
“Mama, Muti bawa teman nih!.” Teriak Muti di depan rumah sambil membuka pintu. “Ayo masuk Rina!.” Aku begitu cangung masuk perlahan. “Muti, kamu bawa siapa? Rina ya?”. Suara halus dan lembut terdengar dari dapur. “Iya Ma.” Sahut Muti yang sedari tadi sibuk membersihkan kamarnya yang berantakan.
Muti yang sibuk di kamar dan Mama Muti yang sibuk di dapur menyuruhku duduk di kursi tamu yang empuk. Aku hanya melongo duduk di kursi tamu, menoleh ke kiri dan ke kanan. Di tengah dinding terpampang sebuah foto keluarga Muti, sangat indah dipandang begitu harmonis dan hangat. Melihat foto itu membuatku teringat akan Ayah, Ibu dan adikku yang selalu menyemangatiku jauh di sana. Tetes demi tetes tercucur dari mataku, entah itu karena aku sangat merindukan mereka atau iri dengan keluarga Muti yang harmonis ini.
Walaupun Ayah dan Ibuku masih ada, mereka berpisah ketika aku masih SMA karena perselingkuhan Ayah. Saat itu aku terpuruk dan tak ada semangat hidup. Sempatku berfikir untuk tidak melanjutkan kuliah karena masalah keluarga yang makin memburuk, bisnis keluarga bangkrut, Ibu kecewa hingga ingin bunuh diri.
Ketika di hari ulang tahunku yang ke-17 tahun, aku mendapatkan hadiah yang sangat mengecewakan bagiku. Walaupun Ibu masih mengingat hari ulang tahunku, tetapi terasa kurang lengkap tanpa kehadiran Ayah yang pergi meninggalkan kami saat itu.
Tetapi suatu ketika, tiba-tiba Ayah datang dengan derai air mata, meminta maaf kepada Ibu dan Aku yang telah ditinggalkannya setahun ini. Ayah sangat bersalah saat itu, hanya kata maaf yang mampu Ayah ucapkan. Ibu masih teguh pendiriannya tidak ingin menerima kembali ayah lagi, tetapi aku memiliki persyaratkan pada Ibu. Jika Ayah dan Ibu tidak bersatu aku tidak akan lanjut kuliah. Muka marah Ibu semakin menjadi-jadi setelah mendengar persyaratan dariku itu. Ibu hanya diam dan tak berbicara denganku selama seminggu. Hingga suatu hari ibu mengiyakan rujukan dari Ayah, demi aku dan adikku. “Ini demi masa depan anak kita, jika kamu melakukan hal ini lagi ingat saja jangankan bertemu denganku, bertemu dengan anakmu pun aku akan melarangnya!.” Terlihat jelas senyum bahagia dari Ayahku yang memeluk aku dan adikku. Perjanjian itu sampai sekarang tidak dilanggar Ayahku.
Tangisan ini hanya pelampiasanku teringan akan masa laluku. Air mata yang telah membengkakkan mataku kini telah kuhapus dan membuat semangat baru. Aku akan bersungguh-sungguh menuntun ilmu demi keluargaku yang jauh di sana. Rindu yang selama ini kutahan dengan tangisan, sebagai penawar yang ampuh bagiku saat ini. Suara Ayah, Ibu dan adik lewat telepon membuat segala yang kulakukan terasa ringan dan mudah.
Ayah, Ibu dan adikku yang kusayang, tunggu aku dengan kebanggaan mendapat gelar sarjana yang kita impikan bersama. Walaupun kalian jauh di sana aku akan tetap menjaga kepercayaan dan janjiku pada kalian.
Cerpen Karangan: Nur Fajrina Hayati Blog / Facebook: Nur Fajrina Hayati