“Bangun! Berangkat sekolah!” Rutinitas menuntut ilmu lima hari dalam sepekan, empat minggu dalam sebulan, sebelas bulan dalam setahun, dua belas tahun dalam hidup. Bangun selagi gelap, pergi menjelang terang, pulang hampir gelap. Waktu habis dimakan di bangku sekolah, padahal bangku sekolah kalah dimakan kreativitas penumpangnya —dengan Tip-X ataupun bolpen— yang kemudian dimakan lagi oleh rayap yang kelaparan. Lalu, manusia yang haus ilmu mesti mengkonsumsi apa?
“Haus dan lapar itu berbeda, nak.” Tapi, bukankah sama-sama mengenyangkan? Yang terlalu banyak minum menjadi kembung dan yang kebayakan ‘minum’ akan mabuk, teler. Belum pernah mengalami sendiri, ini pengetahuan didapat dari tontonan malam hari di teve ruang tamu, yang di-setel bapak, ceritanya mau nyari filem eksien.
Ibu, sungguh besar jasamu. “Kau mengandung, melahirkan, menyusui, mengasuh, dan merawat, lalu membesarkan putra-putrimu, Ibu.” Menggubrak-gubrak pintu kamar dan kasurku, yang padahal baru seminggu diganti engselnya, baru dibenahi siku ranjangnya oleh reparator tanpa tanda terima—Bapak. Demi apa ia berlaku demikian?
Ilmu? Mana yang murni dan asli melakukannya untuk ilmu? Paling-paling demi cita-citanya supaya si anak jadi polisi, jadi dokter, jadi tentara, jadi guru, atau jadi apapun yang penting tidak jadi-jadian. Pamrih.
Bukannya tidak boleh, hanya saja sedikit keberatan. Tapi katanya, jangan setengah-setengah, jadinya memang keberatan, keberatan atas sesuatu yang katanya ringan. Lho, manusia memiliki kemampuan masing-masing, apa iya njiplek sama? Kiranya ringan, sedang untuk yang lain belum tentu pula.
Berangkat naik angkot, ongkosnya dua ribu untuk yang ‘mini’, lha yang bongsor, apalagi sekolah menengah atas, sopirnya diberi tiga ribu protes, “Kurang, Mbak!” Dikasih empat ribu bilang, “Pas, Mas.” Disodorin lima ribu malah nggak ngomong. Takut keceplosan, khilaf dari kekhilafan. “Seribu ‘kan lumayan. Coba kalau dikali lima puluh.” Nah, itu salah satu cita-cita mulia dari bersekolah: biar nggak korupsi! Sopir angkutan kota saja sudah beraksi menciduk dengan takaran berlebih, bagaimana dengan pekerja yang tingkatnya lebih tinggi, seperti sopir bus, sopir, truk, sopir kereta, sopir kapal, dan sopir kapal terbang. “Namanya bukan sopir! Kereta dikemudi masinis, kapal dikemudi nahkoda, terus itu bukan kapal terbang, tetapi pesawat namanya, yang mengemudikan itu pilot.” Geger bocah lima tahunan yang kebetulan mendengar protes kami mengenai sopir angkot tadi kok bocah lebih pinter? “Kan disekolahkan, Mbak.”
Oh … sekolah itu untuk mengetahui nama-nama sopir, toh. Katanya untuk menuntut ilmu? Lho, ilmu kok dituntut, tuntut itu sopir angkot yang korupsi ‘kecil-kecilan’. Terserah mau dikasih hukuman berapa tahun penjara, yang penting ngasih efek jera juga ke sopir-sopir yang lain —termasuk itu yang disebut masinis, nahkoda, dan pilot. Lha untuk korupsi besar-besaran? “Kan besar-besaran, bukan besar beneran.” Lha emang hubungannya apa?
“Lihat itu pasar-pasarannya bocah yang ngasih tau nama-nama sopir kendaraan, pasar-pasaran kan mainan, bukan pasar beneran. Apalagi kalau mainan tembak-tembakan, apa iya mereka nembak beneran?” Nah, justru karena ‘besar-besaran’ itu yang membuat mereka, para pelaku korupsi besar-besaran, merasa aman. Wong cuma korupsi besar mainan, bukan korupsi besar beneran. Berarti uangnya mainan juga dong? Kok mau sih ngorupsi uang mainan? Seperti bocah ‘nama sopir’ tadi, biarpun tahu nama-nama sopir dari sekolah, pasti hobinya masih mainan mulu. Begitu? Uang orang kok dimakan sendiri, rayap aja makan bangku (sekolah), bukan uang, apalagi uang mainan, terlebih uang orang. “Gantung saya di Monas jika saya korupsi satu rupiah saja!”
Abad millennium, abad dua puluh satu, masih adakah uang Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tertera Rp 1 di lembar atau koinnya? Kolektor, tolong dibantu, itu yang korupsi dengan nazar ‘gantung saya di Monas jika saya korupsi satu rupiah saja’ tidak menukarkan uang miliaran dengan pecahan satu rupiah milik kalian, bukan?
Sekolah di tiga perguruan tinggi bergengsi saja belum tentu ‘lurus’ jalannya. Pagi hari wangi melati bergaya siap menuntut ilmu, siangnya nongkrong di kantin, sore hari ke organisasi, malamnya di angkringan dengan wedang jahe. Memang sih duduk di bangku kelas, tapi karena ilmunya dituntut, jadi nggosro, padahal mestinya yang ikhlas supaya barokah.
Nah kan, menuntut ilmu itu tidak baik. Selain menjadikan diri tersesat karena sering mampir, tidak barokah karena digosro-gosro, jatah jajan yang ‘cuma’ seribu kena korupsi sopir, dan jengkel menyaksikan orang ‘pinter’ kesasar karena slogan ‘gantung saya di Monas jika saya korupsi satu rupiah saja’, janganlah menuntut ilmu. Dia salah apa? Daripada menuntut ilmu yang tidak bersalah, mendingan berangkat ke sekolah, berangkat ke madrasah. Untuk menuntut ilmu?
Tidak! Untuk menuntut sopir angkot yang korupsi ‘kecil-kecilan’. Menuntut ilmu itu nggak penting! Lagian, langka kali yang tholabul ‘ilmi faridhatun ‘ala kulli muslimina wal muslimat. Siapa yang berani ngaku? Banyak. Yang berani membuktikan?
Hida 4 Oktober 2017
Cerpen Karangan: Hida Munawaroh Blog: hidaalmunawaroh.wordpress.com/author/hidaalmunawaroh/ Hida Munawaroh, itu nama penaku. Boleh panggil Hida atau HD. Anak tengah, ingin menjadi layaknya Janaka yang meskipun kami berbeda gender.