Ejaskona, Gadis Rimba yang masih belia namun, periang, penuh semangat, kerja keras. Ia berharap kelak, satu saat nanti dapat meraih cita-citanya menjadi seorang Guru. Hari-hari hidup yang dilewati penuh bahagia, Ia tinggal bersama Ayah, Ibu dan Adiknya Si Marvel, Ia juga selalu ceria ketika bermain bersama Teman-teman seusianya. Ayahnya hanyalah seorang Petani yang suka bekerja di Kebun atau ladang sebagai pekerjaan pokok, khas Masyarakat Desa Terpencil, yang jauh Ratusan Kilo Meter dari Pusat Kota. Ibunya adalah wanita hebat yang penuh kasih sayang. Cintanya pada Keluarga, selalu terlihat ketika sehabis pulang dari Sekolah! banyak waktu yang dapat Ia juga pakai seperti Teman-teman seusianya untuk bermain namun, tidak! dan jarang Ia habiskan waktu hanya untuk bermain bersama Mereka, seolah Ia melupakan ceria yang ada pada Usianya.
Siang itu Ia melangkah ke arah Tanah lapang, di sebelah halaman Balai Desa tempat dimana biasa! Ia dan Teman-temannya berkumpul dan bermain disiang hari! tempat menunggu teman, dan tempat bercerita atau menyusun rencana-rencana kecil Mereka ketika cuaca cerah! di sana Teman-temannya telah berkumpul dan bermain seperti biasanya. ada beberapa Anak yang sibuk menggambar di atas Tanah Pasir, Ada yang berlari saling mengikuti sambil bermain mobil-mobilan, Ada yang sibuk bermain karet gelang dengan menembak target dari kaleng bekas, Ada juga beberapa anak Perempuan kecil Seusianya yang terlihat sibuk tawar menawar di pinggir garis-garis kotak gici-gici, dan di bawah pohon! beberapa Temannya asyik, bercerita dan tertawa sambil menonton teman-teman mereka yang lain. Ia terhenti sejenak untuk melihat teman-temannya
“Sini Eja!” panggil salah satu temannya “Tidak! Aku ingin menyusul Orangtuaku ke Kebun” jawabnya dengan menggelengkan kepala “Daaaaa” sambungnya, lalu Ia berlalu dengan langkahnya yang terburu-buru menyusul Ayah, Ibu dan Adiknya ke Kebun.
Ejaskona yang telah terbiasa! telah menyatu dengan Alamnya, berlari mengurai dan membelah ilalang melewati Bukit lalu menuruni lembah, tanpa alas pada telapak Kakinya! Kekuatan kakinya membenamkan kerikil dan bebatuan kecil pada pinggiran Sungai serta menyeberangi deras air sungai! dengan harap dan semangatnya yang polos Ia terus berlari mengikuti jalan setapak itu dengan harap Ia cepat sampai di Kebun, agar dapat membantu Ibunya.
“hmm, Lebih cepat, lebih baik” gumamnya dengan Semangat! “Hore, sudah sampai!” Ia memuji Dirinya, sambil bertongkat pinggang “Huuuhh huuuh huuu!” lepas suara ngos-ngosannya mengejutkankan Ibunya yang tengah bekerja membersihkan Kebun “Eja?” sapa Ibunya Ia hanya menarik napas seketika, lalu lanjut bekerja membantu Ibunya seperti biasa! mencabut rumput, membakar rumput dan ranting kayu kering, juga menyiapkan kayu bakar untuk dibawa pulang ke Rumah.
Ketika hari mulai Sore, di dalam kebun yang berpagar kayu itu, Ia bersama Ibunya beristirahat setelah sehari membersihkan Kebun yang telah ditanami Ubi, Jagung dan Talas beserta Sayur-sayuran
“Eja, Apakah kau masih ingin Sekolah?” tanya Ibunya “Iya Bu, Eja ingin menjadi Seorang Guru!” jawabnya dengan penuh senyum polos “Maafkan Ibu, Ibu harus menyampaikan hal ini kepadamu” kata Ibunya dengan raut cemas, sambil menghampirinya, dan meletakkan tangan pada bahunya! Ejaskona terdiam dengan kebingungan dan bertanya “Ada apa bu?” tanyanya penasaran sambil menatap wajah Ibunya “Sejak pagi tadi beberapa Orang, Tua-tua Adat dari Desa sebelah, berkunjung ke Rumah, menyampaikan maksud ingin Menjodohkanmu dengan Anak Kepala Suku, sehingga Mereka ingin melamarmu!” ucap Ibunya dengan nada risau! “Ihhh, Jangan! Tidak, Aku tidak mau!!” geramnya, sambil berdiri “Bufff! Prakkk!” Ia merontak dan melemparkan beberapa potongan kayu hingga berhamburan sebagai tanda Protesnya, lalu melangkah meninggalkan Ibunya. Ibunya hanya menunduk diam dan membiarkan Ia melampiaskan emosinya yang memuncak. di atas kayu yang telah ditebang dan terletak melintang di dalam kebun itu!
Ejaskona duduk sendiri jauh dari Ibu dan Adiknya yang telah berada di bawah Pondok Kebun itu. Ia menatap langit senja itu dengan kuatir dan takut! dengan membayangkan Nasibnya yang akan sama dengan beberapa Teman Anak Perempuan SeDesanya! yang telah dikawinkan pada usia yang sama seperti Dirinya. bahkan Ia mengingat beberapa Anak Perempuan yang rela mengakhiri hidup Mereka, dengan meminum Obat Racun hingga tewas! karena tidak ingin dikawinkan pada usia Mereka yang penuh ceria untuk menyambut masa depan Mereka.
Sore itu cakrawala bagian Arah tujuan Matahari terbenam, yang terlihat bercahaya memerah keemasan di ujung pohon-pohon yang lebat itu! menjadi bertanda sebentar lagi cahaya hari akan meredup digantikan kegelapan malam! Semakin menambah kekuatiran dan ketakutannya sehingga, Ia menangis dengan sangat keras! Dan berharap, senja itu bukanlah senja yang akan mengakhiri semangat dan cita-citamu untuk tetap bersekolah agar kelak menjadi Seorang Guru “…hmm, Aku tidak mau! Aku ingin Sekolah!” jerit suara tangisannya menembus lebatnya pepohonan senja itu!
Ayahnya yang sejak tadi keluar dari Pagar Kebun untuk memeriksa beberapa jerat yang telah dipasang beberapa hari yang lalu di pinggiran luar pagar itu tentu mendengar dan telah mengetahui alasan suara jeritan, dan tangisannya yang terdengar menembus dan membelah Hutan Rimba itu! akhirnya kembali dan memanjat pagar pada sisi lain ujung sudut Kebun sambil melemparkan sesuatu ke dalam kebun “Prakkk!” bunyi patahan ranting kering. Ejaskona yang masih terisak-isak dan mencoba menghapus Air Matanya telah mendengar bunyi itu namun, Ia tidak menghiraukan bunyi itu sama sekali, hanya Adiknya yang terlihat terus mengamati Sang Ayahnya yang sementara menunduk untuk meraih sesuatu yang telah tergeletak di tanah
“Hore, Ayah dapat Sowa-sowa!” sambut Adiknya yang melepaskan diri dari ayunan kayunya “Puffff” mendarat dengan kasar sambil berlari ke arah Ayahnya “Kakak, Ibu, lihat!” panggil Adiknya sambil menyeret seekor Biawak sebesar betis Orang Dewasa pada bagian ekor dengan cuek, terlihat tidak begitu pusing dengan suasanan yang baru terjadi. Ibunya telah memberi isyarat kepada ayahnya sehingga tidak mempertanyakan suara teriakan dan tangisan Ejaskona. Mereka hanya diam. “Ayo bersiap, Kita pulang! sebentar lagi gelap,” ajak ayahnya “sini, kita pulang, hari sudah hampir gelap!” panggil Ibunya. Ejaskona hanya perlahan melangkah dengan sedikit lemas, Ia meraih ikatan kayu bakar yang telah disiapkan sejak tadi dan meletakkannya pada kepala, tanpa berbicara dengan Ayah, Ibu dan Adiknya. setelah Mereka berkemas, memeriksa barang-barang yang akan dibawah pulang kemudian Mereka melangkah keluar dari pagar kebun mengikuti jalan pulang.
Diiringi suara burung-burung yang terbang searah yang seolah memanggil kawanannya untuk kembali ke peraduan mereka sebelum gelap, bersama sisa cahaya hari yang menembus celah dedaunan dan pohon, menjadi pandu langkah-langkah kaki yang bekejaran, menahan lelah sehari
“Cepat, sudah hampir gelap!” sesekali terdengar desak sang Ayah, yang berjalan di belakang sambil memegang parang dan menyandarkan busur dan anak panah pada bahu kirinya dari belakang, serta yang adiknya yang memikul sowa-sowa yang telah dibungkusi dengan kulit kayu, berjalan mengikuti dirinya yang berusah tetap kuat untuk melangkah walaupun terlihat Lelah, dan kurang bersemangat oleh beban pikirannya masih tetap menahan ikatan potongan-potongan ranting kayu yang diletakkan pada kepala, sambil berjalan di belakang ibunya yang menggantungkan tali Noken pada kepala, sambil berjalan dengan tubuh agak condong kedepan, membawah hasil kebun yang tersusun padat terisi hampir penuh dengan bagian atas noken, yang masih diletakkan beberapa potongan kayu kering. Sesekali Ia melihat ibunya dari belakang, ketakutannya kembali muncul membayangkan nasibnya sehingga membuatmu meneteskan air mata.
Suara Jangkrik yang mulai terdengar memecah hutan, menyambut gelap yang sebentar lagi akan hadir menguasai semesta menjadi pengiring langkah, semakin menambah kepedihan hatinya yang dilandai kekuatiran dan ketakutan itu, Ia terus berusaha, kuat dan tegar menatap ujung jalan yang mulai remang itu namun, Ia tetap melangkahkan kaki mengikuti Jalan setapak kecil, yang melewati beberapa sungai, mendaki gunung dan menuruni lembah dalam perjalanan pulang menuju ke Rumah.
Cerpen Karangan: Sepianus Rumbino Blog / Facebook: @Sharma Ro Sepianus Rumbino lahir di Biak. Penulis sangat tertarik dengan pembahasan dan Kegiatan kemanusiaan Sosial, Budaya dan Pendidikan Daerah 3T. Penulis memilik kesukaan Berburu, Menyelam dan menulis. Jejak bisa ditemukan di akun Ig.@sepia551, dan gmail@zabdielchris[-at-]gmail.com “aku berjuang untuk hidup karena, aku hidup untuk berjuang demikian, aku hidup untuk berjuang karena, aku berjuang untuk hidup”