“Kesempatan terakhir untukmu akan nenek berikan. Jika hidupmu di sana makin menderita, nenek tak akan mengizinkanmu memilih jalan hidup yang katanya membawa kesuksesan bagimu”. Entah beberapa kali kata-kata tersebut menggema di telinga Fiwi. Tak hanya itu kebimbanganpun turut hadir seolah ingin menghentikan langkah perjalanan juang yang dijalaninya. Begitu sulit memanggil kobar semangat yang sempat jadikan Fiwi mempertahankan tekad terus melaju manjalani hidup yang digariskan untuknya.
“Jangan buat harga dirimu makin rendah. Sudah cukup harga dirimu begitu tiada artinya di rumah ini. Sadarlah kamu di sini hanya menjadi ART yang sebenarnya tidak becus mengerjakan apapun yang menjadi tugasmu”. Belum sempat terlupakan kata dari sang nenek. Fahrani anak majikan yang ditempati Fiwi menupang kembali membuat keraguan berbisik di telinga Fiwi sudah saatnya kamu berhenti bertahan di sini. Demikian keraguan dengan segala keberhasilannya goyahkan tekad Fiwi sang gadis pemberani.
Tak sedikitpun perlawanan kata untuk Fahrani yang tak berbelas menghujani kata menyakitkan itu. Ya begitulah Fiwi bersama kesabaran yang melekat padanya hampir tiga tahun ia melewati ganasnya perlakuan dari sang anak majikan. Tak ada pilihan lain memang. Fiwi seorang anak yatim piatu yang hidup dengan neneknya harus menjalani kerasnya kehidupan di perantauan dengan menjadi ART di rumah ibu Milenie seorang wanita pekerja keras yang sebenarnya berkebangsaan Tiongkok. Di rumah ibu Milenielah Fiwi berteduh dari kerasnya kehidupan kota dan dari sini pula lah Fiwi mendapat uang untuk membayar uang sekolahnya.
“Sudahlah Fahrani jangan terus menyalakan Fiwi dia sudah mengatakan bahwa ia tak pernah meniru karya tulis ilmiamu. Mami yakin mungkin kebetulan saja karya tulis kalian memiliki kesamaan”. Ibu Milenie berusaha membuat Fahrani menyudahi omelanya kepada Fiwi. Padahal kejadian itu telah terjadi satu minggu yang lalu.
SMA Jaya Bangsa melakasanakan proseni bersama SMA lainnya termasuk SMA Pelita Terang sekolah Fiwi. Pada kegiatan proseni tersebut Fiwi dituduh Fahrani telah menyontek karya tulis ilmiah karyanya. Padahal Fiwi sama sekali tidak melakukan itu yang Fiwi tahu dua minggu lamanya ia harus begadang menyelesaikan karya ilmiahnya yang entah mengapa karyanya itu mirip dengan karya ilmiah Fahrani.
Dengan wajah yang penuh kekesalan Fahrani menatap Fiwi seolah ingin menelannya hidup-hidup. Ibu Milenia yang melihat itu merasa kasihan dan ingin membebaskan Fiwi dari perlakuan sang anak yang begitu tak punya hati ini. Ibu Milenia sebenarnya tahu membela Fiwi di depan Fahrani akan semakin memunculkan rasa benci di hati Fahrani. Tapi bagaimana lagi ibu Milenia seolah kehilangan akal menyikapi sikap anaknya. Apa lagi dengan kelakuan Fahrani beserta teman-teman sekolahnya yang telah membuat malu Fiwi dengan memberitahukan bahwa Fiwi telah melakukan kecurangan dalam lombah karya ilmiah. Fiwi dituduh menyontek karya ilmiah yang dibuat oleh Fahrani.
Jadilah kegiatan proseni yang harusnya memanjakan mata Fiwi dengan berbagai fasilitas yang super lengkap di sekolah Fahrani menjadi sebuah kegiatan proseni yang rasanya membuat Fiwi menghentikan langkanya di perantauan. Bukan masalah sikap Fahrani kepadanya. Ini semata-mata karena kata sang nenek yang begitu melarangnya untuk bertahan pada hidupnya di tanah rantau. Liburan lalu Fiwi pulang ke kampung dan mendati sang nenek yang begitu heran melihat perubahan postur tubuhnya yang dulu tampak berisi berubah menjadi kurus kerempeng seperti tengkorak hidup. Perihal itulah yang membuat nenek begitu keras melarangnya untuk tetap bertahan bersekolah di kota.
Namun bagaimana Fiwi dapat menghentikan perjuangnya bersekolah di kota sedangkan biaya sekolahnya bersumber dari kerja kerasnya di rumah ibu Milenie. Bisa saja Fiwi mencari rumah lain yang membutuhkan ART. Tapi ia tidak tega meninggalkan ibu Milenia yang begitu menyayanginya bahkan tak segan membayar uang sekolah Fiwi menggunakan uang pribadinya diluar gaji yang diberikan kepada Fiwi. Oleh sebab itulah lelah yang Fiwi kumpulkan kemauan menjalani perjuangan hidup terbayar dengan hadirnya tekad dalam diri Fiwi bahwa ia akan tetap bertahan pada jalan hidupnya kini. Dengan sebuah harapan dirinyalah anak Indonesia terakhir yang akan merasakan pedihnya hati diinjak anak berkebangsaan asing. Yang dengan segala keangkuhannya tak hanya merendahkan harga diri Fiwi tapi juga merendahkan pekerjaan yang dijalani Fiwi. Sambil membanggakan hidup yang dipunyainya sang anak majikan Fiwi menyatakan bahwa kehidupan anak bangsa begitu ironis. Yang harusnya anak asli Indonesia seperti Fiwi akan memiliki kehidupan yang lebih baik justru harus menggatungakan hidupnya pada pendatang seperti ibu Milenia. Namun bagi Fiwi itu bukan masalah karena dari situlah yang menghatarkan Fiwi meraih impianya.
Tahun berlalu telah berhasil di lewati Fiwi. Tanggung jawabnyapun kini berubah ia tak bertanggung jawab mengurus rumah tangga segaligus menjalani tugasnya sebagai generasi yang harus mengisi diri dengan ilmu.
“Ternyata tak segampang yang aku kira nek, dulunya aku ingin cepat selesai sekolah aku tak sabar merubah bentuk pendidikan yang tidak merata di bangsa kita”. Fiwi mencurahkan isi hatinya kepada nenek sore ini. Nenek tersenyum sambil menatap Fiwi.
“Aku kira aku akan menjadi anak Indonesia terakhir yang menjadi saksi orang Indonesia menyodorkan kaleng bekas meminta uang pada bangsa asing seperti Ibu Milenie. Menjadi anak sekolah Indonesia pada zamanku yang hanya bisa kagum melihat gudung serta sarana yang dimiliki sekolah seolah membuat mataku tertutup bahwa sarana bukanlah penentu maju tidaknya pendidikan”. Terdengar suara Fiwi mengalun bersama rintik hujan sore ini.
Fiwi merasakan kepedihan hati selama mengajar dan menyaksikan masih banyak anak Indonesia yang mengalami tikungan tajam masa sekolah yang begitu miris. Gedung sekolah yang rapuh, tenaga pendidik yang tidak memadai sampai biaya pendidikan yang menyulitkan orangtua untuk menyekolahakan anak. Itulah yang dirasakan Fiwi selama kurang lebih dua tahun menjalani profesi sebagai seorang guru
“Nenek sekarang tahu ternyata selama ini kesibukanmu melaksanakan pengajaran di beberapa sekolah pada setiap harinya, ternyata membuatmu lupa bahwa zaman sekolahmu dulu tak pernah berubah. Tapi ada satu yang selalu berubah setiap tahunnya yaitu kobaran semangat para pejuang ilmu. Di zaman sekolahmu mudah kita jumpai semangat membara untuk bersekolah meski sejutah rintantangan menghadang. Namun pada zaman sekarang anak yang tak mengalami kesulitan saja harus mencari cara tersendiri untuk melanjutkan sekolahnya di tengah perang melawanan kemalasan. Nenek rasa tugasmu sekarang membangkitkan semangat perang kemalasan bagi anak Indonesia, jangan lagi kamu memikirkan pahitnya sekolahmu dulu. Menjadikan wajah pendidikan sekolah seperti impianmu tidaklah mudah, tapi berikan saja kepercayaan bagi mereka para wakil yang dipilih Tuhan yakni perintah. Akan ada saatnya nanti anak Indonesia akan menjadi terakhir merasakan sulitnya bersekolah” Ucap nenek yang tentu saja membuat Fiwi sadar ucapan nenek akan memulai tekad awal bangkitkan semangat perangi kemalasan.
Cerpen Karangan: Wiwin Lestari Blog / Facebook: Wiwin lestari