Siang yang cerah menyelimuti hati ini, terik mentari seakan berada di atas ubun-ubun. Angin bertiup menyejukkan. Rupanya, ada yang mengoda di balik rasa manis dari secangkir kopi ini. Ada yang berbeda. Ada sekilas cinta yang melambai-lambai. Layaknya seekor burung betina yang menghadang untuk ditangkap. Akan tetapi, bermanja terbang untuk dikejar. Api cinta menjala, menjilat-jilat dengan sejuta kenestetika di sudut ruang kampus. Menarik, bukan?
Mungkin bisa dikatakan aku adalah orang yang paling beruntung bisa kembali bertemu dengan Helga. Aku pernah menyeratkan dalam sebuah lembar buku, tertuliskan sebuah pepatah; jika ada pertemuan pertama maka akan ada pertemuan selanjutnya. Ya, awalnya kemarin-kemarin, kukira pertemuan itu hanyalah suatu hal yang kebetulan saja. Sebagaimana kebanyakkan kutemui orang-orang baru di setiap warung kopi dan angkringan jalanan. Dimana hanya memperbincangkan pertandingan sepak bola, menonton balapan montor rossi, bercanda tawa bersama, bertukar rasa merek rokok. Bahkan, banyak juga aku melihat mereka yang acuh dengan lingkungannya. Dengan asyik memainkan handphone mereka. Remaja khususnya, yang begitu tenggelam dalam dunia mereka masing-masing.
Sebagimana itu tidak mengkisahkan makna baru dalam sebuah skenario pelayaran baru di lautan kehidupan. Akan tetapi, warung kopi itu telah menjelma menjadi wadah baru, pertemuan humanis yang berubah menjadi homantis. Membangun pondasi sekelumit kisah yang menggelora. Asmara.
Rahelga Rahayu Purnama, aku sama sekali tidak menyangka jika akan bertemu kambali denganmu. Apalagi bisa bertemu di kampus ini. Benar yang dikatakan orang, bahwa sebuah pertemuan dan perpisahan itu tak dapat diprediksi oleh logika sehat manusia. Aku cukup kaget. Benar-benar tak terduga, perjalanan skenario kehidupan kali ini kembali mempertemukanku dengannya.
Seperti yang baru aku ketahui, setiap harinya, dia sekarang sedang merajut kesuksesan di bangku perkuliahan. Dia adalah mahasiswa. Di kampus STKIP PGRI Ponorogo, sebuah kampus yang terletak di sudut kota Reog. Yakni, lembaga pendidikan tinggi yang berpredikat sebagai pencetak guru profesional. Berorientsikan kampus penikmat dan pecinta seni literasi.
Seorang pejuang ialah dia yang sedang bertempur melawan kebodohan yang membinasakan. Mengejar sejuta impian yang harus tetap diistiqomahkan. Terlahir dari keluarga yang berlabel kemiskinan ialah bukan hambatan untuk meraih mimpi setinggi langit. Cita-citanya ingin menjadi guru dan penulis, bagi dia sangat berharga.
Aku selalu menyakini, bahwa roda kehidupan dunia ini selalu berputar. Terkadang kita berada diatas, dengan merasakan kebahagiaan. Dan, terkadang pula kita berada dibawah dengan merasakan terpaan kesedihan yang menimbulkan air mata mengalir cukup deras. Kehidupan ini begitu misteri.
Dia telah banyak meneguk garam kehidupan, luka telah bersemayam abadi di jiwanya yang sayu. Wajar saja, luka yang membawa dia segigih ini. Skenario kehidupan menyikap hal yang tabu. Lorong kegelapan menguakkan cahaya hidayah Allah swt. Sehingga sekarang ini, jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia telah dia dekap. Mungkin ini seperti mimpi di siang hari, gelar sarjana 2 tahun lagi akan disandang. Dengan mengali berbagai keindahan kesusastraan yang tersembunyi.
Aku mengamati langkahnya kian berwarna. Dia pun tidak percaya, jika sekarang dia berada di tahap ini. Dia bercinta dengan pena. Mengeluti aksara, berkiprah di bidang kepenulisan. Menulis, bagi dia adalah hal yang menyenangkan. Dimana dia dapat mencurahkan segala rasa pada lembar kertas yang diam. Kertas yang tidak pernah bercakap pada angin perihal apa yang dia seratkan.
Aku mengerti, semua butuh proses yang panjang. Layaknya bunga yang mekar, harus menanti musim untuk bisa berkembang. Berakar dari hidup di garis kemiskinan. Dimana skenario kehidupan itu memaksanya untuk terlihat tegar di balik air matanya yang berlinang membasahi pipi.
Disinilah aku percaya, tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Usaha tidak pernah mengkhianati hasil. Kerja keras yang beriringan dengan doa akan menelurkan dari kesuksesan yang nyata.
Dia juara dalam menyembunyikan kesedihan. Ini bukanlah karena beralasan dia malu terlahir dari keluarga miskin. Akan tetapi, jiwanya tidak ingin terlihat lemah di hadapan orang untuk diberi belas kasihan.
Akhirnya seperti yang tampak sore ini, dia duduk di halaman kampus memandang warna jingga di cakrawala. Jemarinya merayu aksara menjadikan legenda. Matanya banglas memikat kesuksesan. Dia terus berjuang, meredamkan api dengan setetes air mata keberhasilan. Di akhir mata saya memandang, di lubuk hati ini menyimpan sekuntum doa yang selalu saya panjatkan, teruntuk dia, Helga.
Cerpen Karangan: Sega Dwi Ayu Pradista Blog / Facebook: Sega D.A Pradista
Sega Dwi Ayu Pradista, lahir di Ponorogo, 04 November 2000. Dia tercacat sebagai Mahasiswa aktif di bidang kepenulisan di salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Ponorogo, tepatnya di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI Ponorogo. Dengan program study Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2019. Dia memulai aktif berkiprah di bidang kepenulisan pada tahun 2019, dengan aktif dan antusias mengikuti di berbagai event kepenulisan baik cerpen dan puisi secara online maupun offline. Sekarang dia tinggal di desa Gandu, kecamatan Mlarak, kabupaten Ponorogo, provinsi Jawa Timur.