Saat itu tahun 1938. Saat itu, sebuah mimpi indah tertanam kepada seorang anak yang kelak, akan menjadi pemimpi terhebat untuk negeri ini. Pada saat itu, 3 orang pemimpin negeri, yakni: Muhanndi, Malaka Dipa dan Darwis berkumpul.
“Persoalan apalah itu bisa terselesaikan nanti, tetapi ada suatu hal yang lebih penting. Kita sedang membangun negeri, oleh sebab itu pendidikan harus diutamakan. Ini tentang mimpi, tentang harapan. Jika ekonomi berjalan sebab adanya kebutuhan dan ketersediaan, maka kemajuan negara ini akan ada sebab adanya mimpi dan pendidikan sebagai jembatan menuju itu mimpi itu. Kita sejujurnya butuh guru yang hebat untuk negara ini. Jika kita sudah mendapatkannya, apa saja masalah itu akan sirna pada nantinya. Kita tinggal menunggu pemikiran-pemikiran hebat generasi muda yang merumuskan penyelesaiannya. Jadi, menurut usul saya, pendidikan adalah hal krusial untuk membangun negara. Hal itu yang harus kita pentingkan.” Kata Darwis, tuan rumah pertemuan itu, yang duduk di hadapan dua orang temannya yang sama-sama berjuang untuk negeri ini. Kedua teman-temannya yang sedari tadi mendengarkan dengan serius mengangguk.
Kalimat itu didengar oleh seorang anak dari salah seorang pembantu di rumah itu. Anak itu bernama Oemar Bakri. Ia yang sembunyi-sembunyi mendengarkan dari ujung tembok, seperti mendapat pencerahan dari kalimat itu. Seketika ia bermimpi untuk menjadi guru yang tulus mengabdi pada negeri ini.
—
Pagi hari sudah datang. Ayam sibuk berkokok meramaikan suasana desa itu. Seorang bapak berumur 54 tahun. Namanya Bapak Oemar Bakri, ia keluar dari pintu itu ke teras rumahnya membawa secangkir kopi hitam. Ia sudah berpakaian rapi, siap untuk pergi mengajar. Sudah menjadi ritual harian ia menghabiskan segelas kopi ditemani labu kukus sambil duduk di teras rumahnya sebelum pergi ke sekolah.
Bapak Oemar Bakri beranjak menaiki sepeda ontelnya. Ia menggowes santai sepeda tuanya itu melintasi jalan pedesaan yang berlobang dan berlumpur. Bapak Oemar terus menggowes sepedanya melintasi jalanan yang dikelilingi persawahan itu.
Bapak Oemar Bakri memarkirkan sepeda bututnya itu di halaman sekolah. Roda sepedanya sudah diselimuti oleh lumpur, hasil melintasi jalanan tadi. Ia memasuki sekolah kecilnya itu, anak muridnya pasti sudah menunggu. Ia berjalan menembus bingkai pintu, bukan karena ia memiliki kekuatan super, tetapi kelasnya memang tak memiliki pintu lagi. Pihak sekolah itu tak memiliki uang untuk mengganti pintu lama yang rusak termakan rayap.
Bapak Oemar mengucapkan salam, memulai pelajaran hari itu. Kelasnya tadinya memiliki delapan murid, tetapi kini hanya ada enam orang sebab dua murid itu tidak diizinkan oleh orang tuanya untuk pergi ke sekolah. Salah satu dari murid itu adalah diriku. Bapak Oemar lantas menyebutkan salah satu halaman buku. Murid-murid lantas membalik halaman buku, suaranya memantul di atap kelas yang reyot. Buku-buku itu adalah pemberian dari bapak Oemar. Buku yang ia temukan di pasar loak, tetapi kondisinya masih layak baca. Bapak Oemar sebenarnya ingin membelikan buku dengan kondisi yang lebih baik, namun dengan gajinya ia tak mampu membelikan buku baru.
Selepas para murid menemukan halaman buku yang dimaksud, Pak Oemar mulai menjelaskan. Para murid, termasuk diriku menyimak penuh keseriusan. Kami adalah anak dari petani sekitar. Beberapa orangtua memilih untuk tidak menyekolahkan anaknya karena beragam alasan, seperti tak memiliki uang untuk menyekolahkan anaknya, ataupun menurut mereka sekolah hanya membuang waktu, lebih baik anak-anak mereka membantu di ladang. Agar proses pembelajaran dapat berlangsung, bapak Oemar berinisiatif untuk membelikan buku walaupun hanya buku loakan saja yang ia mampu beri.
Pelajaran berlangsung hingga mentari berada di atas kepala. Jarum pendek jam sudah menunjuk angka dua belas tanda pelajaran hari itu selesai. “Baiklah, sekian pelajaran hari ini” kata Pak Oemar mengakhiri pembelajaran. “Oh iya, bapak minta kalian tolong tulis apa saja mimpi atau cita-cita yang kalian miliki” katanya sesaat setelah berbalik merapikan barang-barang. Kami yang mendengar hal itu kebingungan. Kami sedari awal tak memiliki tujuan apa-apa. Sekolah ya.. hanya sekadar pergi sekolah. Kami melakukannya karena senang, hanya sebab itu.
“Mengapa? Kalian tidak memiliki tujuan?” tanya bapak Oemar melihat wajah kebingungan kami. Kami lantas serentak menggeleng. Pak Oemar lantas memijit-mijit keningnya yang dikerutkan. “Kalian itu harus punya mimpi! Orang tidak akan pergi kemana-mana kalau tidak punya tujuan. Contohlah Irfan, serius betul tempo hari ia berlari mengejar layangan hingga keluar sekolah.” katanya seraya menunjuk Irfan, menyinggung kejadian tempo hari. Kami sekelas tertawa, menggema suaranya hingga ke atap kelas yang berlubang, terkecuali Irfan yang mukanya tertekuk malu. Pak Oemar juga ikut menyengir, tetapi dibalik senyumnya itu hatinya sebenarnya gusar. “Bapak juga memiliki kabar baik… Esok hari kita libur” Pak Oemar berkata dengan nada ceria. Kami membalas dengan wajah datar, esok hari memang libur sebab hari minggu.
Bapak Oemar beranjak keluar kelas. Kami para muridnya lantas merapikan kelas lalu pergi meninggalkan sekolah untuk bermain. Bapak Oemar kembali menaiki sepeda ontelnya. Sesampainya di rumahnya yang reyot itu, ia terduduk termangu. Ia terduduk demikian itu sebab kabar yang tidak mengenakan, yakni tentang penutupan sekolahnya itu. Bisa-bisa sekolahnya itu memang benar libur, bukan hanya sebab hari minggu, tetapi sebab ditutup oleh pemerintah. Pak Oemar Bakri jadi gusar. Bisa jadi esok hari sekolahnya ditutup dan tadi adalah saat-saat terakhirnya mengajar.
Sayangnya, tebakan Pak Oemar benar. Minggu, esok hari, Pak Oemar mendapati sekolahnya itu didatangi orang-orang berseragam pemerintah. Sesuai dugaan, orang-orang itu berniat menutup sekolahan. Pak Oemar kalang kabut. Ia mencoba mencegahnya, tetapi bagaimanapun ia tak kuasa mencegahnya, orang-orang itu hanya menjalankan perintah saja. Pak Oemar pusing kepalanya, ia mengacak-acak rambutnya karena kebingungan. Ia akhirnya memutuskan ia akan menemui salah satu anak didiknya yang berada di kota, ia pasti dapat membantunya.
Pak Oemar lantas berangkat siang harinya setelah mempersiapkan segalanya. Ia menumpang kendaraan mengangkut sayur-mayur yang akan pergi turun ke kota. Para sopir itu mengizinkan pak Oemar sebab dilihatnya Pak Oemar itu sudah sangat tua dengan pakaian yang kumal.
Perjalanan itu memakan waktu 2 hari. Pak Oemar sampai di kota dengan selamat. Pak Oemar sampai di kota pada siang hari. Pak Oemar melangkah cepat Mencari angkutan, di sisi lain kami muridnya di desa kebingungan sebab sekolah ditutup dan Pak Oemar tak ada di rumahnya. Secepatnya pak Oemar menaiki angkutan menunu kediaman kenalannya.
Pak Oemar sampai di depan rumah kenalannya itu. Ia adalah salah satu anak asuhnya dahulu. Rumah itu megah dan besar. Rumah itu dicat putih. Rumah itu bergerbang emas dan dijaga oleh orang-orang berseragam. Pak Oemar lantas mendekati salah satu orang yang menjaga gerbang itu. Pak Oemar menyatakan maksudnya, ia ingin bertemu dengan Ahmad, salah satu anak asuhnya itu. Kebetulan, anak asuhnya sedang berada di rumahnya itu.
“Maaf Pak, Bapak Siapa ya?” tanya seorang penjaga. “Bilang saja, Saya orang yang mengajarkannya bermimpi. Saya jauh-jauh dari desa ke kota ingin berjumpa” kata Pak Oemar Bakri ke penjaga. Penjaga itu sedikit ragu, tetapi ia juga tak enak untuk mengusir orang tua. Penjaga itu lantas memilih menyampaikannya kepada tuan rumah itu.
Berselang beberapa saat setelah penjaga itu masuk, ia akhirnya keluar. “Pak, silakan masuk. Bapak Presiden menunggu.” Kata penjaga itu. Dibelakang-Nya menyusul orang nomor satu di seluruh negeri itu, ia adalah Ahmad satu dari empat anak asuh Pak Oemar. Ia dengan lembut menuntun Pak Oemar memasuki istana negara. Pak Oemar lantas meminta segelas teh untuk membasuh kerongkongannya yang kering.
Pak Oemar mengambil beberapa teguk teh hangat itu. Sementara anak asuhnya duduk menunduk di sampingnya dengan takzim. Ia lantas menuturkan maksud kedatangannya, menyadarkan anak asuhnya dari kekeliruannya. “Saya mengerti jika keadaan negeri sedang tidak baik-baik saja, jadi negara tak dapat memberikan bantuan untuk sekolah. Sehingga beberapa sekolah yang kondisinya tak layak harus ditutup. Tapi baiknya kamu berhati-hati dalam menutup sekolahan. Jangan melupakan pentingnya pendidikan. Bisa saja sekolahan yang kamu tutup adalah sekolah satu-satunya yang tersedia bagi anak-anak sekitar” Kata pak Oemar.
Ahmad langsung mengerti apa maksud dari pak Oemar. Setelah meneguk habis tehnya, Pak Oemar memilih untuk segera kembali ke desa. Mata Ahmad berkaca-kaca kala melihat sosok gurunya dengan pakaian yang kumal. Air mata anak asuhnya itu menetes seketika saat melihat sol sepatu Pak Oemar terlepas ditengah langkahnya. Ia jauh-jauh datang menghampirinya hanya demi sekolahnya bukan untuk hal yang lain, hati Ahmad merasa tergedor.
Pak Oemar sudah kembali ke desanya. Sekolahnya sudah ditutup oleh orang pemerintah waktu itu. Belajar-mengajar terhenti sudah seminggu. Ia lantas menemui kami para murid-muridnya yang sedang berkumpul di saung di tengah sawah. Ia hanya berpesan pada kami, agar tetap teguh mengejar mimpi. Mimpi bisa berarti apa saja, bisa bagaikan sekadar mengejar layangan putus, ataupun sebuah perjalanan yang harus dilalui dengan kerendahan hati. Tak masalah jika kami waktu itu belum mengetahui apa makna mimpi bagi kami masing-masing, tetapi kami haruslah terus mencari mimpi itu dengan penuh semangat. Bagi Bapak Oemar sendiri, mimpi adalah pengabdian yang tulus pada pendidikan karena pendidikan adalah tentang meneruskan mimpi itu dari satu guru ke murid, dari satu generasi ke generasi. Mimpi adalah alasan paling dasar untuk maju. Pesan itu tak pernah kami lupakan hingga sekarang.
Selang beberapa hari, setelah Pak Oemar “pensiun” sebagai guru, Ia akhirnya meninggal. Bendera kecil berwarna kuning terikat di pelataran rumahnya. Saat itu keempat anak asuhnya, salah satunya Presiden negara pada saat itu, datang menjenguknya. Sayangnya, mereka terlambat, Pak Oemar sudah tiada saat mereka sampai. Kini, yang tersisa dari dirinya adalah mimpinya untuk negeri ini, mimpinya untuk mengabdi tulus pada pendidikan, mimpinya.. untuk maju dan berani bermimpi.
Cerpen Karangan: Kian Blog / Facebook: Qwerty Moon
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 28 Januari 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com