Jalan berkelok-kelok, melewati beberapa tanjakan membuat perjalanan semakin menantang. Pohon cemara berjejer di tepian jalan, sesaat aku lewat dia seakan melambaikan batangnya kepadaku. Nampak hamparan sawah dengan terasering yang mampu menghipnotis mata. Sedangkan mentari bersembunyi dibalik gunung hingga membuat langit memerah jingga.
Setelah satu jam perjalanan, aku sampai di sebuah bangunan berdinding kayu beralas tanah, dan beberapa tanaman bunga bertengger di halaman, membuat asri bangunan itu. Semakin dekat langkahku, semakin dekat pula suara anak-anak mengeja huruf agar dapat membaca. Kuketok pintu dengan perlahan sambil mengucapkan salam “Assalamualaikum” “Waalaikumsalam.. Ehh kak nadia sudah datang” sambut Bu reni salah satu pengajar di yayasan ini. “Mari kak perkenalkan diri, anak-anak sudah tak sabar belajar bareng sama kak nadia” ucap Bu reni, mereka menyambutku dengan penuh kegirangan, ada yang meloncat-loncat, tepuk tangan, tapi mataku tertuju pada seorang anak yang duduk di bangku paling belakang, dia hanya tersenyum ramah menyapaku, berbeda dari yang lain. Atas sambutan yang baik itu, aku jadi tambah semangat untuk memberi bantuan tenaga pengajar di kampung ini.
Aku merasa penduduk kampung didominasi dengan orang yang buta huruf, tapi sebagian dari mereka sadar bahwa pendidikan itu penting, bahkan mereka bilang anak mereka harus lebih pandai dari orangtuanya. Mereka berharap keturunannya dapat memajukan kampung ini, hingga tak tertinggal dari kemajuan zaman, seperti sekarang ini kebanyakan warga masih menggunakan lampu minyak tanah, sedangkan lampu listrik hanya digunakan oleh warga yang berkecukupan. Berkebun merupakan salah satu pekerjaan pokok mereka, ada juga yang menggembala kambing dan kerbau.
“Bu reni.. Anak yang duduk di kursi paling belakang itu siapa?” tanyaku penasaran ketika bu reni mengantarkanku ke rumah penginapan “Owalah itu anton nad, siswa paling rajin di sekolah, anaknya pendiam, dan dia hanya tinggal bersama neneknya kedua orangtuanya sudah meninggal sewaktu dia masih bayi” jawabnya dan langsung berpamitan pulang kepadaku.
Mentari kian datang mempesona, merayu burung untuk bernyayi menyambut pagi “Brakk..kk” aku tak sengaja menabrak anak kecil ketika sedang berlari di jalanan kampung yang sempit “Aduhh.. Sakit” keluh anak itu “Kamu nggak papa dik?” tanyaku sembari membantunya bangun dan memungut kayu bakar yang dia bawa “Duduk disitu dulu dik” ajakku saat melihat pondok tua di seberang jalan. Kulihat dia merengek kesakitan sambil berjalan tertatih-tatih menuju pondok tua itu sedangkan tanganku masih erat memegang kayu bakarnya hingga kesemutan.
“Kamu anton kan?” tanyaku sambil mengobati lukanya “iya kak” ujarnya pelan sambil menahan sakit “Yuk kakak anter” ajakku setelah lukanya sudah kuobati “nggak usah kak” “lukamu belum kering, mari kakak anter, rumahnya dimana?” sahutku sambil mengangkat kayu bakar itu kembali. Anton berjalan didepan sementara aku mengikutinya dibelakang.
Tibalah kami di rumah kayu yang masih beralas tanah dan kulihat di sekeliling terdapat banyak kayu bakar. “Kayu sebanyak ini buat apa ton?” tanyaku sambil meletakkan kayu bakar itu “Dijual kak” jawabnya sambil masuk di gubuk tua itu dan kulihat dia sedang memanggil neneknya sedangkan aku disuruh duduk didepan rumahnya.
“Nek, kenalin ini kak nadia, pengajar baru di sekolahku, dia berasal dari kota nek” ujarnya “Nadia nek” sapaku sambil mencium tangannya “Owalah nggak nyangka masih ada anak muda yang punya rasa peduli sepertimu nak, sudah beberapa bulan ini, warga kampung mencari bantuan tenaga pengajar, semuanya pada menolak entah apa penyebabnya dan untunglah sekarang kami sudah menemukan orang yang tepat” ujarnya dan mampu membuatku tersipu malu “Nenek buatkan minum dulu ya” pintanya “Nggak usah repot-repot nek” sahutku “Nggak repot” katanya sambil pamit ke dapur.
Anton sedari tadi mengikat kayu itu menjadi beberapa bagian, dia memilih kayu yang kering lalu diikat dengan tali “Lagi ngapain ton” tanyaku sambil membantunya memilih kayu “Lagi ngikat kayu kak buat dijual besok” ujarnya sambil mengusap keringat yang sedari tadi singgah dipelipisnya “berapa harga kayu seikat ini?” “Murah kak, cuman lima ribu?” ujarnya “Hah lima ribu, emang cukup buat kebutuhanmu?!” sambarku “cukup nggak cukup ya harus dicukupin kak, lebih baik anton jual kayu ini dari pada meminta-minta ke orang lain” sahutnya “Mana mungkin anak sekecil ini bisa bijak begini” tanyaku terheran-heran dalam hati
Cerpen Karangan: Dina Akmila Lutfiah Blog / Facebook: Alieka Aira Zahra
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 13 Mei 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com