Keheningan menyelimuti meja makan, hanya terdengar dentingan sendok beradu dengan piring. Tidak ada kehangatan atau senyum sekali pun untuk Saras, sejak orangtuanya tau dia hanya menjadi pengajar honorer di sekolah dasar negeri. Gaji yang dia dapat, memberikan kesan penyesalan pada Bapaknya yang sudah mati-matian menjadikan dia sarjana, dengan harapan keluarganya mampu menjadi orang yang berada. Begitu pula dengan ibunya, yang dari awal kukuh ingin Saras bekerja saja, atau ikut merantau seperti kebanyakan orang di kampungnya.
“Coba dulu kamu dengerin ibu, buat kerja saja tidak usah kuliah. Pasti sekarang hidup kita enak, ternyata bener ya kuliah tidak menjamin sukses. Buktinya, anak Bu Ningsih sampai sekarang masih nganggur tidak keterima kerja sana-sini” lagi Saras harus mendengar omelan ibunya, setiap kali keuangan mereka menipis. “Namanya cari kerja susah Bu, apalagi Mas Aldi hidup di kota. Di sana saingannya banyak, belum tentu juga ada lowongan kerja.” “Sama saja, hidupnya tetap susah. Apalagi di kota biaya hidup lebih mahal dan banyak daripada di kampung. Bukannya ngirim duit buat orangtua, malah orangtuanya yang kirim uang ke sana. Katanya buat bayar kos-kosan, ini itunya ‘kan orangtua yang nanggung, orang belum punya kerjaan kayak gitu. Kamu juga, apa sih yang bisa didapat dari uang dua ratus ribu perbulan. Buat makan kita aja masih kurang.” “Ini bukan tentang gaji Bu, tapi impian Saras. Buat mencerdaskan anak bangsa” “Sudahlah, kamu hanya menyiksa diri sendiri. Mimpimu itu hanya ada di dalam mimpi saja, hentikan!, buang-buang waktu. Orang yang pinter, karena dia itu memang pintar. Kalo yang bodoh tetep saja begitu, susah ngertinya”
Saras memilih diam, nanti ibunya akan berhenti sendiri jika sudah lelah mengomel. Mau dijelaskan sampai berdebat pun percuma, karena pemikiran orangtua yang masih seperti itu; orang sekolah tinggi buat jadi orang yang sukses, berseragam, dan punya gelar yang bisa dibanggakan. Tidak jarang di lingkungan pedesaan seperti ini, begitu banyak orang yang merasa tinggi dan berderajat hanya karena mereka pernah mengeyam bangku kuliah, dan berhasil menjadi orang berseragam. Padahal seharusnya mereka lebih mampu memiliki sifat rendah hati, terhadap orang lain, bukan jadi ajang pamer hanya karena haus akan kehormatan.
“Ya sudah, Saras pamit mau berangkat sekarang.” Saras berdiri, menyalim kedua orang tuanya silih berganti. “Assalamualaikum” “Waalaikumsalam”
Melangkahkan kaki dengan semangat, tetap tersenyum menyapa setiap orang yang lewat. Kaki Saras terus melangkah menapaki jalan yang sudah di beton berkali-kali oleh aparat desa. Demi memastikan keuangan desa benar-benar digunakan untuk pembangunan, seperti misi Presiden pada periode pertama. Sayangnya hanya ini yang didapat, padahal uang ratusan juta yang sering Pak Lurah umumkan di pertemuan atau perkumpulan pada acara masyarakat di depan jamaah masjid ketika memberi sambutan, bukanlah uang yang sedikit. Namun, kenyataannya Negeri ini masih jauh untuk berangan maju dan produktif ketika setiap desa di seluruh Provinsi di Negeri ini belum mampu mensejahterakan penduduknya. Tapi bukan berarti tidak ada yang berhasil, buktinya ada beberapa desa yang mendapat julukan desa-desa terkaya meski hanya hitungan jari saja.
Saras tetap langkahkan kaki dengan semangat, menembus kabut embun di pagi hari yang mulai naik ke udara karena terpapar sinar matahari yang mulai terpancar.
“Alaah!, ngapain ya dipaksaain kuliah. Lah, orangtuanya aja enggak mampu. Bayarin biaya harus ngutang sana-sani, eehhh sekarang pas sudah sarjana tetap aja susah. Wong cuma jadi guru honorer, gedean gaji suamiku yang cuma kuli bangunan.” “Iya, seharusnya kalo enggak mampu jangan dipaksakan, iya kalo nanti diangkat jadi PNS kalo tetap jadi guru honorer seumur hidup, tetap aja melarat” “Mendingan nikah aja ya, lagian ujungnya juga ke dapur juga” Nada sinis itu sudah biasa Saras terima, tapi tidak apa. Masalah keuangan bisa diusahakan lagi nanti, yang penting mimpinya harus tercapai.
Tetap melangkah mengabaikan suara-suara sumbang dari tetangga, karena dirinya hanya seorang guru honorer untuk mendapatkan gelar sarjana saja harus bersusah payah, karena tuntutan ekonomi. Mimpinya hanya satu membagun negeri dengan mencerdaskan bangsa.
Karena itu adalah alasan kenapa Saras berdiri di sini di sekolah dasar negeri dengan seragam coklat kebanggaannya. Untuk bisa merubah pola pikir orang-orang, dia yakin suatu hari nanti jika terus berusaha dengan gigih semua pasti terwujud.
Terus berjalan melewati lapangan bendera, yang dipenuhi anak-anak yang sedang berseliuran dengan seragam merah putihnya. Sesekali terdengar gelak tawa dari mereka, yang masih belum mengerti apa itu tujuan dan beban hidup.
Justru karena itu Saras ingin mengabdikan diri pada mereka yang polos, dan harus dibentuk keperibadian dan karakternya, memastikan mereka tidak akan menjadi tunas bangsa yang gagal. Dan berakhir menjadi remaja, yang mengagungkan kenakalan apa saja yang harus dicoba. Meski gaji yang Saras terima tidak seberapa.
Alasan Saras ingin mengambil gelar Spd.Sd. karena beranggapan keberhasilan seorang anak ditentukan dari sekolah dasar, jika sekarang mereka gagal dalam memgenyam pendidikannya dengan benar. Kemungkinan untuk kedepannya, akan semakin sulit. Bahkan banyak dari mereka yang kesulitan ketika sudah di bangku menengah, karena belum bisa membaca dengan lancar. Dan banyak pula dari mereka yang abai dengan pendidikannya, dan lebih ingin menjadikan teman dan lingkungannya menjadi guru. Tidak ayal, jika kenakalan remaja, begitu marak terjadi. Dengan alasan pelajaran itu susah dan membosankan, yang sebenarnya mereka tidak menemukan kenyamanan dalam belajar yang akhirnya menjadi putus asa, dan memilih mengabaikan dan mencari pelarian. Pada ujungnya, mereka akan kembali berpatok pada pola pikir masyarakat di lingkungannya, jika kesuksesan itu hanya untuk orang yang pintar atau berduit. Lalu meniru orangtuanya; lulus sekolah mending kerja atau nikah saja. Padahal kesuksesan itu milik semua orang, dan yang bisa meraih adalah dia yang mau berusaha dan terus berproses menjalani hidupnya untuk lebih baik dari hari ini.
“Selamat pagi ibu Saras” sapa Rangga, rekan kerjanya yang begitu ramah sekali orangnya. Dia termasuk guru muda juga di sekolah ini, hanya saja dia sudah dua tahun mengabdi lebih dulu dari Saras. “Pagi, Pak Rangga” jawab Saras dengan memberikan senyum terbaik. “Semangat terus ya Bu Saras, apalagi anak didiknya dapat yang sedikit susah di kelas” kelakarnya, dan membuat Saras tertawa juga. “Kalo begitu, saya masuk dulu ke kelas sudah bel soalnya.”
Kelas yang semula riuh, berganti hening seketika. Mereka yang tadinya masih berjalan ke sana ke mari. Langsung duduk manis di tempatnya.
“Selamat pagi, anak-anak!” “Pagi Bu!!”
Saras mulai mendudukkan dirinya di meja guru, lalu mengintrupsikan pada mereka untuk memulai pelajaran dengan berdoa terlebih dahulu.
“Hari ini, ibu bakal membahas tentang pecahan. Jadi bilangan yang di atas ini, disebut pembilang. Sedangkan yang di bawah disebut dengan penyebut, jadi bagaimana cara menetukan penjumlahannya. Pertama jika penyebutnya sama angkanya, pembilangnya tinggal langsung dihitung jumlahnya. Apabila berbeda, kita harus membuat penyebutnya sama terlebih dahulu…” Saras menjelaskan dengan telaten pada mereka, lalu jika sudah selesai dia akan kembali bertanya apa mereka sudah paham atau belum. Karena kebanyakan muridnya tidak aktif bertanya, membuat dia harus memastikan dengan benar jika mereka sudah paham.
“Sudah paham ‘kan?”
Semua terdiam tidak ada yamg menyahut sama sekali, apa penjelasannya kurang dimengerti. Pertanyaan itu sering sekali hinggap di pikirannya, ketika dalam situasi seperti ini. Dan mengharuskan dia menjelaskan kembali. Inilah susahnya mengajar anak SD, harus sabar. Belum lagi anak-anak di daerahnya ini masih banyak yang latah dengan bahasa indonesia, karena kesehariaannya terbiasa dengan bahasa daerah. Terkadang apa yang Saras bicarakan tidak tertangkap dengan baik, apalagi kemampuan mereka berbeda-beda. Ada yang bisa mempelajari semua pelajaran, tapi sedikit-sedikit. Ada pula yang jago, tapi hanya satu pelajaran saja.
Seperti di kelasnya ini misalnya; ada yang belum lancar membaca, ada yang belum bisa mengingat perkalian, ada pula yang mudah mengerti tapi mudah lupa, ada yang jago tapi hanya mampu di satu MAPEL saja, ada yang bisa semua tapi hanya sedikit-sedikit, dan ada pula yang susah menangkap sama sekali. Tapi inilah perjuangannya, untuk yakin jika suatu hari nanti bisa melihat mereka menjadi lebih baik dari sekarang, mungkin tidak semua dari mereka akan menjadi orang yang berseragam dan berpakaian rapi. Tapi Saras berharap, ketika mereka mempunyai semangat belajar, suatu hari nanti mereka akan lebih mudah untuk terus belajar meraih hidup yang mereka mau.
Cerpen Karangan: Sy_OrangeSky Blog / Facebook: Siti maisaroh