Namaku Saga Segara. Aku seorang anak pantai. Kegiatanku sehari-hari seperti biasa sama seperti orang-orang pada umumnya yang hidup di daerah pantai, yaitu bekerja sebagai nelayan seperti pemuda-pemuda lainnya di kampung nelayan ini.
Aku tinggal bersama Ayah dan Ibu, kebetulan aku anak tunggal. Umurku sekarang sudah 22 tahun, bisa dikatakan sudah terlalu tua untuk seorang jejaka yang belum menikah di kampung ini. Teman sebayaku hampir tak ada yang belum menikah, bahkan kebanyakan teman-temanku menikah di umur 17-an tahun. Malahan Sogol, temanku yang badannya tinggi besar, menikah di umur 16 tahun. Tak masalah menikah di usia muda di kampung ini asal mau bekerja. Asal bertanggung jawab. Dan pekerjaan apa yang bisa dilakukan oleh pemuda kampung nelayan yang cuma lulusan SMP selain melaut, menjadi nelayan yang turun-temurun? Aku ingin mendobrak rutinitas itu.
Dulu aku pernah berteman dengan seorang anak mantri perikanan yang ditugaskan di balai perikanan di kampung kami. Namanya Tyas Kusuma. Dia cinta pertamaku waktu di SMP kelas 3. Dialah yang awal-awalnya memotivasi aku untuk melanjutkan sekolah setelah tamat SMP. Semenjak itu aku bersemangat sekali belajar agar bisa mendapat nilai ujian yang baik dan bisa melanjutkan ke SMA di kota kabupaten. Dia ingin aku tidak seperti kebanyakan pemuda kampung ini yang sekolah hanya sampai SMP. Setelah itu bekerja dan menikah.
“Jadi melanjutkan ke SMA?” tanya Tyas. “Iya dong,” jawabku. “Aku harap kamu berbeda dari kebanyakan teman kita yang tak punya rencana melanjutkan sekolah,” kata Tyas. “Kampung ini dari dulu seperti ini. Maksudku masyarakatnya sulit berubah,” kataku. “Makanya kamu harus bisa jadi pioner,” sambungnya. Aku menghela nafas panjang. Tyas berasal dari Jawa yang maju. Segala fasilitas katanya mudah. Sedang kampungku ini jauh dari mana-mana. Hanya pulau-pulau kecil yang tampak dari mercusuar tua yang ada di dekat balai perikanan.
Kelulusan SMP tiba. Semua bergembira karena semua dinyatakan lulus. Namun tak kulihat Tyas. Beberapa hari kemudian aku tahu bahwa dia dan keluarganya dipindah-tugaskan ke Pulau Jawa. Aku ingat bahwa ayahnya berasal dari daerah kampung nelayan juga. Namanya Prigi, di Kabupaten Trenggalek Jawa Timur.
“Maaf, kita tak sempat bertemu sebelum aku dan keluargaku pulang ke Jawa. Kita tetap berteman dan jika kita berjodoh kita pasti dipertemukan. Jadilah pioner,” tulis Tyas pada sepucuk surat yang dititipkan Peny, sahabatnya, untuk disampaikan kepada aku.
“Kok gak ketemuan sebelum berangkat?” tanya Peny setelah menyampaikan surat itu. “Aku melaut, membantu bapakku,” jawabku. “Boleh kutahu isinya?” “Jangan. Aku malu.” “Baiklah aku permisi dulu. Mungkin Tyas akan mengirimiku surat. Dia bilang begitu sebelum berangkat.” “Tapi kenapa dia tidak bilang kalo mau pulang ke Jawa?” “Ayahnya mendapat promosi menjadi kepala balai perikanan di daerah asalnya. Katanya, ayahnya juga tidak mengiranya.” “Jadi mendadak begitu?” “Ya.”
Semenjak itu, aku tak membuka hati untuk siapa pun. Dan sekarang aku sudah kelas 3 SMA, sudah saatnya aku belajar dengan serius. Aku berharap dapat melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah lewat jalur PMDK. Hubunganku dengan Tyas masih berjalan tetapi suratnya sudah jarang aku terima. Aku merasa terputus dengannya. Tapi aku tetap bersemangat belajar agar bisa kuliah di Surabaya. Aku lihat di peta Trenggalek-Surabaya tidak begitu jauh. Hanya 4 sampai 5 jam perjalanan dengan bus.
Pengumuman penerimaan mahasiswa baru jalur PMDK tiba. Dan aku diterima di jurusan Perkapalan ITS Surabaya. Aku merasa bahagia sekaligus susah. Untuk kuliah di Jawa butuh biaya yang tidak sedikit. Namun, bapakku bertekad membiayai aku meski harus menjual satu perahunya untuk biaya awal kuliah dan mencari pondokan di Surabaya. Karena aku anak luar pulau, aku dapat tinggal di Asrama Mahasiswa. Tentu saja tinggal di Asrama Mahasiswa biayanya lebih murah daripada kost di rumah warga di sekitar kampus.
Semenjak itu, aku menjadi orang yang serius belajar dan beribadah. Hanya satu tahun sekali aku pulang kampung karena jarak Kepulauan Riau sangat jauh dari Surabaya. Di waktu libur panjang, kugunakan untuk bekerja di galangan kapal di Surabaya. Hitung-hitung juga untuk tambahan biaya hidup. Aku sudah biasa kerja keras. Anak nelayan adalah pekerja keras yang tak takut ombak lautan.
Aku berusaha menyelesaikan kuliahku tepat waktu meskipun aku menyambi kerja. Tapi ada sesuatu yang hilang tanpa kusadari. Kesibukan kuliah dan kerja membuatku melupakanku dengan urusan cewek. Saat teringat Tyas, tiba-tiba aku merindukannya. Bukankah Surabaya-Trenggalek tidak begitu jauh?
Besok dua hari tanggal merah. Tiga hari libur sudah termasuk long week end. Kuliah sudah pasti libur dan galangan kapal memperbolehkan karyawannya mengambil cuti. Aku bertekad mencari Tyas ke Trenggalek.
“Trenggalek itu jauh?” tanyaku pada Edi, sesama pekerja di galangan kapal. “Ya, lumayan. Kalo naik bus sekitar 4-5 jam,” jawabnya santai. “Oh…” “Punya teman atau pacar di sana?” tanya Edi. Aku tersipu malu. Seandainya wajahku tidak tertutupi pelindung las, mungkin akan tampak wajahku memerah. “Sahabat lama,” jawabku. “Trenggalek mana?” “Pantai Perigi.” “Gak ada Perigi, adanya Prigi…” “Iya betul, Prigi.” “Itu dekat dengan rumahku. Ayo main ke rumahku. Rumahku di Durenan. Nanti aku antar kalau mau ke sana,” kata Edi. Aku gembira sekali. Orang Jawa itu ternyata memang baik hati.
—
“Hei bujang, kau rupanya,” kata Pak Soni begitu tahu orang yang duduk di ruang tamu kantornya. “Iya, Pak.” “Bagus sudah merantau ke Jawa. Dari Kepri juga?” kata Pak Soni yang tak lain adalah ayahnya Tyas. “Bukan Pak. Saya orang Durenan. Cuman ngantar.” “Oalah…” “Trus ketemu di mana kalian?” “Kami kerja di Dok Galangan kapal Surabaya. Kalau Saga kuliah di ITS. Kerja cuma sambilan.” “Bagus, bagus. Anak bujang harus begitu. Berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian. “Bapak dari Riau juga?” tanya Edi. “Aku asli sini. Terlalu lama di Kepri sehingga ngomongku kayak orang sana,” “Hahaha” “Bagaimana kabar orangtuamu?” “Alhamdulilah, baik.” “Pulang setiap bulan?” “Ndak Pak. Awal kuliah, satu semester sekali pulang. Selanjutnya satu tahun sekali.” “Hebat.” “Semester berapa?” “Enam.” “Oh, iya. Kamu kan teman sekelas Tyas, ya?” “Iya, Pak.”
Kami bercakap-cakap cukup lama sebelum kami diajak berjalan-jalan di sekitar Prigi yang ternyata juga tempat wisata. Tempat ini jauh lebih ramai daripada kampung nelayan di desaku. Cukup ramai pengunjung karena akhir pekan yang panjang.
“Ayo makan dulu, sudah siang ini,” kata Pak Soni mengajak kami masuk ke warung ikan bakar. Sambil menikmati ikan bakar yang lezat Pak Soni terus bercerita tentang perjalanan kariernya. Edi menjadi pendengar setia sambil senyum-senyum.
Ketika makan siang selesai dan kami akan keluar dari warung itu, tiba seorang pemotor berhenti persis di depan kami. Aku cuek saja. Namun ketika helmnya dibuka, aku terkejut, setelah sekian lama tak bertemu akhirnya aku kembali melihat wajahnya yang kian cantik dan menawan. Dia pasti Tyas.
“Hai, apa kabar?” sapanya sambil mengulurkan tangan. Kami berjabat tangan. Ada rona kebahagiaan di matanya. Ada kehangatan di tangannya. “Hari ini kalian menginap di rumah saya ya?” kata Pak Soni. Aku menoleh ke Edi. Dia tampaknya tidak setuju. “Terima kasih Pak. Lain kali saja. Kalau sudah tahu tempatnya saya ke sini sendiri. Malam ini saya menginap di rumah Mas Edi.” Oh, begitu … kalau begitu mari mampir dulu ke rumah. Biar tahu gubukku.”
Kembali ke Surabaya dari rumah Edi terasa begitu cepat. Pertemuan yang singkat dengan Tyas memberiku semangat untuk cepat-cepat menyelesaikan kuliah. Ingin segera aku menikahinya meski aku ragu apakah ia masih ingat dengan kata-katanya dulu, lima tahun yang lalu.
Cerpen Karangan: Suwarsono Blog / Facebook: Suwarsono S