“Kamu itu mau nemui bapaknya apa anaknya?” kata Edi menggodaku. “Keduanya. Hahaha … ke Bapaknya minta restu, ke anaknya ngajak nikah,” jawabku. “Emangnya kalian sudah lama pacaran?” “Dia itu cinta pertamaku waktu SMP. Dulu keluarganya tugas di Kepri di kampungku, kampung nelayan seperti Perigi itu,” kataku. “Prigi,” sergahnya. “Iya, aku terus keliru sebut tempat itu. Cuma kampungku tidak seramai Prigi itu. Sejak lulus SMP dan masuk SMA kami sudah berpisah. Makanya aku berusaha agar bisa kuliah di Surabaya.” “Semoga berhasil, sobat,” kata Edi. “Amin. Terima kasih.”
Bus terus melaju ke Surabaya kulihat lalu lintas cukup ramai karena arus balik long week end. Tapi bus tetap melaju dengan kencang. Bus-bus di Jawa Timur memang terkenal hebat dan ugal-ugalan. Tapi anehnya penumpang malah senang.
Tanpa terasa aku hampir menyelesaikan kuliahku. Empat tahun ini aku tinggal di Surabaya. Saat ini aku sedang menyusun tugas akhir. Aku benar-benar harus membagi waktu antara menyelesaikan skripsi dan kerja. Perusahaan telah memberi lampu hijau bahwa setelah lulus aku diminta tetap bekerja di situ. Oh ya, aku tidak tinggal lagi di Asrama Mahasiswa karena peraturannya maksimal 2 tahun. Aku kost di rumah warga sekitar kampus yang memang berbisnis pondokan mahasiswa.
Suatu siang ketika aku akan berangkat kerja, teman kost memberitahukan sesuatu. “Mas ada tamu,” katanya. “Siapa?” jawabku. “Mana kutahu? Cewek cakep,” jawabnya. “Makasih,” kataku sambil beranjak ke ruang tamu. Aku tak pernah punya tamu perempuan. Aneh, aku berdebar-debar ketika hendak menemuinya.
“Assalamualaikum,” sapanya sambil berdiri dari duduknya. “Waalaikumsalam,” jawabku sambil meneliti siapa dia. Dia berjilbab. Tapi rasanya wajahnya akrab di ingatanku. “Hayo… lupa ya?” “Enggaklah,” jawabku menyembunyikan kekagetanku. Aku menjabat tangannya. Tyas mendatangi rumah kostku. Mungkinkah ada sesuatu yang penting?
“Mau kuliah?” “Eh … mau kerja.” “Lho?” “Aku kuliah sambil kerja.” “Nggak telantar kuliahnya?” “So far so good” “Tahu dari mana tempat kosku? Aku kan belum bilang kamu.” “Kebetulan teman SMA-ku yang kuliah di ITS ada yang tahu kamu dan kosmu.” “Ayo ke kantin. Di sini enggak ada apa-apa,” kataku.
Di kantin yang lumayan luas siang itu sepi. Aku dan Tyas mengambil tempat di pojok agar leluasa ngobrol bersamanya. “Mau minum dan makan apa?” “Minum aja ya aku…?” “Oke. Jus apel?” “Boleh.”
“Maaf aku belum sempat ke kosmu. Aku masih bingung di kota ini. Aku gak punya motor. Naik angkot apa aku gak tahu.” “Ya, gak apa-apa. Yang penting kamu sudah pernah ke rumahku.” “Aku tadi dari Blauran, beli buku untuk skripsiku. Mas juga nempuh skripsi kan?” ujar Tyas. Dia memanggilku “mas”. “Iya. Sama. Aku memenuhi permintaanmu untuk jadi pioner,” kataku mengingatkannya pada tulisannya dulu yang masih aku simpan. Dia tersenyum. “Kau sudah jadi pioner,” jawabnya. “Lalu masihkah hubungan itu berlaku untuk kita teruskan?” tanyaku. “Maksudmu?”
“Aku mencintaimu,”
“Tak ada yang berubah. I love you too.”
Hari itu hari terindah dalam hidupku. Sebab kekasihku semasa SMP masih mencintaiku walau sempat terpisah 7 tahun lebih.
“Kamu kok senyum-senyum sendiri Ga?” tanya Edi. “Aku bahagia hari ini.” “Dapat cewek?” “Aku sudah punya cewek.” “Oh ya?” “Lha yang di Trenggalek itu. Dia tadi ke kostku.” “Makanya kau telat tadi masuk kerjanya.” “Iya, maaf.” “Ya semoga dia jodohmu. Semoga kalian bisa menikah secepatnya.” “Amin. Tapi jangan secepatnya, aku masih skripsi.” “Ya … semoga cepat selesai skripsinya.” “Amin. Terima kasih doanya.”
Hari ini aku ujian skripsi. Skripsi di jurusan teknik terkenal sulit. Aku sudah berusaha keras untuk meneliti di perusahaan galangan kapal tempat aku bekerja namun aku tak tahu hasilnya.
“Ini skripsi apa makalah?” tanya dosen penguji. “Skripsi Bapak”, jawabku. “Skripsi kok tepis begini?” “Coba Anda jelaskan,” kata penguji. “Saya meneliti struktur bangun kapal pinisi yang digunakan nelayan di daerah asal saya, di Kepri.” “Ini rangka kayu?” “Ya Pak,” jawabku. “Hari gini pakai kayu, hutan sudah habis Bung!” kata penguji sambil membanting skripsiku di mejanya. Aku tak bisa berkata apa-apa. Lidahku keluh. Dan aku harus menelan pil pahit. Aku tak lulus ujian skripsi. Aku terpukul. Aku malu. Aku tak pernah gagal dalam hidupku.
—
“Kau harus bangkit,” kata Tyas menghiburku. Aku masih tertunduk. Dia mengelus pundakku, lalu berkata lagi, “Ingatlah kau harus jadi pioner!” Aku tatap matanya. Pelahan semangatku bangkit karena kata “pioner” itu. Ya, aku harus jadi pioner. Aku menggangguk. “Sementara ambillah cuti kerja, biar fokus ngerjakan skripsimu.” “Baiklah, kau mau bantu aku kan?” “Tentu saja. Tapi bidang kita beda.”
Sejak itu Tyas yang berhasil mempertahankan skripsinya setia membantuku, menemaniku mencari data, melakukan wawancara, dan sebagainya untuk menyempurnakan skripsiku. Waktu terasa lambat berjalan. Menunggu semester depan untuk ujian ulang terasa lama sekali apalagi aku mengambil cuti dua bulan untuk keperluan itu.
“Sudah siap?” tanya Tyas. “Oke, Bismilah.”
Ruang ujian kini terasa angker bagiku. Masih ada sedikit grogi tapi kekasihku yang menemaniku membuat semangatku berlipat-lipat. Ujian dilaksanakan dengan adu argumen yang sengit hingga akhirnya penguji menerima skripsiku. Aku dinyatakan lulus. Alhamdulilah.
“Selamat ya!” kata Tyas. “Terima kasih untuk spirit yang kau beri,” jawabku masih memegang tangannya.
Hari ini aku diwisuda. Tuntas sudah perjuanganku di kampus “Perjuangan” ini. Ayah dan ibuku datang ke Surabaya. Mereka tampak berbahagia dan berbangga sekali. Tak sia-sia perjuangan mereka bertaruh nyawa mencari ikan di laut yang terkadang tak ramah demi membiayai kuliahku.
Dan ketika kuperkenalkan Tyas yang aku minta datang pada acara wisudaku, orangtuaku agak terkejut. “Bukankah kamu putrinya Pak Soni dulu,” tanya ibuku. “Iya Bu,” jawab Tyas tersipu malu di depan calon mertuanya.
Setelah wisuda selesai dengan segala macam acara tambahan, di rumah kostku kusampaikan pada orangtuaku bahwa aku minta mereka meminang Tyas. “Lho kok ndadak sekali?” tanya ayah. “Mumpung ayah di sini,” jawabku.
“Gimana Nak Tyas, mau jadi istrinya Saga?” tanya ibuku. “Mau Bu,” jawabnya.
Dengan mobil sewaan aku berempat menuju Trenggalek, ke rumah Tyas. Edi yang kumintai tolong menjadi driver tersenyum-senyum sambil menyetir. “Kuliah selesai, sudah dapat kerjaan, dapat istri, waduh, sempurna sekali kebahagiaanmu,” katanya. “Alhamdulilah. Amin.”
Sekarang aku dan Tyas sudah menikah. Tyas juga berhasil menyelesaikan kuliahnya di Unair. Aku menetap di Surabaya. Kutinggalkan kampung nelayan tempat kelahiranku. Aku tetap bekerja di Perusahaan Dok dan Perkapalan Surabaya dan istriku kerja perusahaan ekspor impor yang juga berkantor di Surabaya. Setahun kemudian kami dikaruniai seorang anak laki-laki yang kuberi namai Soni Segara. Soni itu nama mertuaku dan Segara itu marga keluargaku. Kami tak henti bersyukur kepada Allah atas segala kebahagiaan yang diberikanNya.
Cerpen Karangan: Suwarsono Blog / Facebook: Suwarsono S