Aku mengeluh dalam diam. Batinku memberontak tapi aku berusaha menahan rasa amarahku untuk tidak keluar. Sambil mengamati lama nilai pada kertas ulangan Fisika. Aku hampir memukul meja dengan kepalan tanganku namun aku urungkan.
“Aduh! Kenapa jadi gini sih?” Aku bertanya. Aku ingin menangis, mataku terasa panas. Kuletakkan kertas ulangan fisika tersebut di meja dan berdiam diri sebentar. Mungkin bisa digambarkan oleh para penulis bahwa wajahku sedang menunjukkan ekspresi tidak terima.
Aku menatap lurus kedepan menatap meja Guru, berusaha menyingkirkan perasaan marah, sedih, kecewa dan rasa sesak di dada. Aku mencoba metode merendakan perasaan-perasaan tidak baik dengan mengambil nafas dan menghembuskan tapi..
“KENAPA BISA JELEK!?” Aku berteriak histeris lalu menyandarkan diri ke kursi dan memandangi langit-langit kelas.
“Kok bisa jelek ya?” Tanya Zeo—Teman lelaki ku—Ia mengambil kertas ulangan fisika milikku dan hampir terkejut melihat nilainya. “Wow, twenty-nine..” Ia tertawa kecil, dengan tatapannya yang terlihat menjengkelkan di mataku. Zeo melanjutkan membandingkan jawaban miliknya dengan punyaku. Ia serius sekali. Aku sudah lemas di tempat dudukku.
Zeo menatapku, “Eh, Yota. Ada yang salah. Nomor sembilan PG lo bener tapi disalahin sama Bu Dian. Beritahu yuk.” Ajak Zeo. Namun, aku menghiraukannya. Aku telah merasa buruk dengan nilaiku. Pasti aku sendiri yang jelek nilainya, pasti aku sendiri yang jelek.
“Nggak usah. Gua bela-belain belajar semalaman supaya nilai bagus karena gua tau, gua lemah di fisika tapi jelek. Nggak usah!” Aku membentak. Zeo menatapku dengan tatapan jijik, entah apa maksudnya.
“Ya sudah, gua saja.” Ia menjauh dari mejaku. Aku memanggilnya namun Zeo berpura-pura tidak mendengarkan. Aku mengetuk meja dengan dahiku berulang-ulang. Dengan aliran air mata yang tak berhenti turun, aku juga berusaha menyingkirkan rasa sesak yang masih ada.
—
Namanya Zeo Elanda. Sejak kelas tujuh, ia terkenal rajin, pintar dan humble. Aku teringat bahwa aku pernah sangat memujanya. Memujanya sebagai musuhku. Ia memiliki kesukaan yang sama denganku, ia menyukai Agatha Christie yang dimana Agatha Christie merupakan idola sejatiku!
Aku ingat saat kami disuruh untuk mencari tokoh inspiratif yang memberikan semangat baru dan keinginan untuk berubah. Hanya aku dan dia yang tokoh inspiratifnya sama. Sejak saat itu, aku menganggapnya musuh. Namun, seiring waktu berjalan. Kami malah berteman karena Zeo mendekatiku yang sedang membaca buku Agatha Christie.
“Masih marah kah, kak?” Zeo bertanya sambil menyantap bakso Pak Winus kesukaannya. Aku tidak menjawab pertanyaannya. Kami berada di kantin, aku menemani Zeo yang kelaparan karena tidak makan siang tadi. Zeo ber-hah kepedesan. Buru-buru, ia mengambil botol minumnya.
“Bisa gitu ya.” Ucap aku tiba-tiba. Zeo memandangku dengan tatapan penasarannya.
“Padahal gua sudah berusaha loh, Ze. Gue udah hafal kok materinya, rumus-rumusnya juga gua ingat-ingat dan gua udah yakin pasti bisa ngerjain…” Aku terdiam sebentar, “Okelah, mungkin gue nggak bisa mengerjakan satu soal uraian tapi yang lain aku merasa.. Aku rasa aku bisa tapi nilainya..” Aku menutup wajah dengan kedua tanganku. Padahal, katanya usaha tidak mengkhianati hasil tapi hasil malah mengkhianati usaha. Zeo terhenti dari kegiatannya dan melihat diriku yang malang dengan tatapan tanpa arti.
“Selalu saja, matematika dan fisika. Aku selalu buruk di dua pelajaran itu.” Lanjutku. Aku melirik Zeo yang melihat ke hal lain. Setelah itu, aku menjadikan lengan kananku sebagai bantal untuk dahiku agar menyembunyikan wajahku.
“Mungkin kamu nggak benar-belajar, Yota.” Ujar Zeo. Aku langsung mendongkak, memandangnya tajam namun Zeo menatapku santai.
“Kau tidak pelajari rumus-rumusnya. Mungkin kamu hanya hafal tapi tidak latihan soal. Matematika dan fisika itu bukan seperti pelajaran teori lainnya, dihafal lalu sudah, dua pelajaran itu berbeda, mereka harus dipahami, mereka harus ditanam di otak, mereka harus dimengerti dengan baik-baik. Jika tidak, nilai lo akan seperti itu saja, jelek.” Ucap Zeo memberitahu. Aku terdiam mendengarnya.
“Bukan hasil mengkhianati usaha. Usaha lo emang belum cukup.” Tambah Zeo. Aku benci mengatakan ini namun perkataan Zeo sukses membuatku tidak berani melihatnya. Memang benar, aku tidak mempelajari lebih dalam tentang rumus-rumusnya, aku menghafal bukan memahami.
“Mungkin kau merasa sudah mengerti tapi tidak. Itulah kau tidak boleh merasa puas dulu. Justru, berhatilah-hatilah dengan perasaan itu. Aku tidak pernah merasa puas dengan diriku. Aku hanya merasa aku harus belajar. Kata kakek, dengan belajar, ilmu yang didapat bisa mengubah diri seseorang namun jangan merasa puas dengan itu. Teruslah belajar hingga kau menua sekalipun. Dunia kan punya hal-hal baru tak terduga. Bukan berarti kau bodoh lo, Yota. Aku menyarankan untuk tidak belajar semalam, kamu pasti akan lupa esoknya. Belajarlah dari sepulang sekolah. Setidaknya, lo bisa belajar hitung-hitung lah.” Ucap Zeo sambil nyengir lebar. Sepertinya Zeo sedang berusaha menyalurkan afeksi kepadaku. Menyadari atmosfer di sekitarku berubah, aku langsung mengubahnya seperti semula.
“Aduh, capek dengerin khotbah Romo Zeo.” Ucapku jenaka sambil menarik badan berusaha santai. Moodku berangsur bagus. Zeo melotot marah ke arahku karena merasa tidak didengarkan. Aku tertawa lepas. Aku memandang Zeo dengan santai.
“Tapi, terima kasih ya. Aku terharu loh, Zeo bisa kayak tadi. Mungkin memang benar aku kurang usaha. Akan kuingat perkataanmu tentang ‘Jangan merasa puas’ ya.” Aku mengucapkannya sambil berjenaka sedikit. Lelaki itu malah menatapku dengan curiga. Zeo melanjutkan aktivitasnya yang tadi, ia menyantap baksonya dengan cepat setelah itu, ia meneguk air dari botol minumnya. Aku hanya memperhatikan.
“Mau belajar bareng nggak? Buat ulangan matematika besok?” Tanya Zeo. Aku menggeleng sambil memperlihatkan deretan gigiku.
“Nanti aku terbiasa belajar dengan orang lain. Apalagi kamu pintar.” Balasku sembari bangkit berdiri. Zeo memberikan tatapan heran, ia ikut bangkit berdiri dan mengambil mangkok baksonya.
“Lah emang kenapa? Justru kan lo belajar hal baru. Lo nggak pernah minta tolong Kakak lo ya? Pantesan, nilainya jelek. Justru orang pintar kayak gue ini, yang dekat sama lo sekarang ini lo ajak belajar bareng. Setidaknya, itu bisa meringankan beban.” Ucapnya sombong sembari menaikkan kedua alisnya. Aku menatapnya dengan tatapan malas. Kami mengembalikan mangkok bakso tadi dan menuju perpustakaan. Tas kami ada disana.
“Yakin, lo nggak mau belajar bareng?” Bisik Zeo. Aku mengangguk mantap lalu menunjuk seorang gadis yang tengah duduk sambil menulis sesuatu. Melihat itu, Zeo maklum, ia meninju perutku dan mengucapkan kata-kata yang genit, aku bahkan mual melihat ekspresi wajahnya.
“Itu adikku, bodoh.” Balasku terbatuk. Ia langsung menunjukkan wajah bodohnya yang bingung. Aku tertawa namun tertahan.
“KOK NGGAK BILANG DI AWAL SIH?!”
Kami berdua dikeluarkan lagi dari perpustakaan, sudah dikeluarkan, kami berdua dimarahi oleh Bu penjaga. Setelah dimarahi oleh Bu penjaga, kami dimarahi oleh adikku. Setelah itu, kami saling menyalahkan. Tak lama, kami berbaikan lagi. Ya, seperti itulah teman. Aku juga beruntung memiliki teman seperti Zeo.
‘Teruslah belajar hingga kau menua sekalipun.’
Cerpen Karangan: Graciela Donna Siswi asal SMP Tarakanita 1