Pada tanggal 15 Agustus 1945, setelah para pemuda mencapai mufakat di sebuah lembaga bakteriologi, mereka menemui Ir. Soekarno untuk mendapat persetujuan resmi. Dengan rasa percaya diri dan optimisme setinggi langit, mereka yakin bahwa kesepakatan mereka akan disetujui oleh Pak Karno. Seperti kebanyakan pemuda pada umumnya, keahlian merayu mereka digunakan untuk membuka hati beliau yang memandang mereka dengan mata sinis.
“Tidak!” tolak Pak Karno menggelengkan kepala. “Kita tidak boleh membiarkan pihak lain ikut campur kan Pak?” tanya seorang pemuda. “Tidak!” tolak beliau.
“Apa Bapak tidak suka terhadap negara orisinil?” tanya pemuda lain. “Tidak!” tolak beliau lagi. “Tolong jelaskan alasannya Pak!” kata seorang pemuda lainnya. Pak Karno menghela nafas, bersiap menjelaskan apa yang sedang beliau pikirkan.
“Kita bisa sukses karena ada yang mendidik kita. Entah itu didikan baik atau buruk, kita menjadi berhasil karena mereka. Meski PPKI dibuat oleh negara yang telah menindas bangsa kita, tapi berkat mereka juga kita bisa tahu arti “merdeka” yang sebenarnya. Anggap saja mereka itu orangtua yang buruk. Dari keburukan mereka, kita bisa belajar menjauhi keburukan yang mereka miliki dan belajar menjadi lebih baik.” kata Pak Karno panjang lebar.
“Tapi Pak! Mereka adalah bangsa asing. Kita tidak boleh melibatkan mereka dalam Kemerdekaan karena merekalah yang telah membuat kita sengsara. Kita merdeka karena tangan kita sendiri Pak! Bukan bantuan orang lain. Bagaimana nanti anak cucu kita jika malah salah kaprah kalau merekalah (Jepang) yang telah memerdekakan negara kita?” sanggah seorang pemuda berkacamata dengan nama Wikana.
“Asal kalian tahu. Kita harus menjaga sopan santun terhadap bangsa lain. Entah mereka baik atau pun jahat, tetap kita hormati. Apakah keramahan kita yang terkenal sudah memudar? Aku yakin kita tidak ingin mendengar keburukan tentang bangsa kita.” jelas Pak Karno. “Tapi mereka main-main sama kita! Jujur saja, aku ingin menembaki mereka (Orang Jepang) dengan senjata laras panjang agar mereka segera pergi dari sini.” kata seorang pemuda lain, Soekarni Kartodiwirjo sambil tersenyum. “Jangan! Itu malah memperburuk keadaan.” kata Pak Karno. “Lalu harus bagaimana? Membiarkan PPKI memerdekakan aset berharga mereka (Jepang)? Kami tidak sanggup menerimanya.” kata seorang pemuda lain lagi, Chaerul Shaleh.
Seorang wanita tiba-tiba muncul di saat debat memanas, sembari membawa beberapa cangkir kopi. “Silahkan diminum kopinya.” kata wanita itu tersenyum. Seluruh pemuda yang berada di kediaman Pak Karno langsung terpikat olehnya. Seperti amnesia sementara, mereka malah melupakan lawan bicara mereka, sembari melirik wanita berparas bidadari tersebut. Pak Karno hanya geleng-geleng kepala melihat situasi itu.
“Dasar anak muda!” kata Pak Karno menggelengkan kepala untuk kedua kalinya. “Ah, maaf-maaf.” kata Soekarni merapikan baju. “Sampai mana tadi?” tanya Chaerul Saleh membenahi duduknya. “Ehmmm… Entahlah.” kata Wikana membenarkan kacamata. Mereka bertiga bertingkah sekeren mungkin di hadapan wanita itu.
“Intinya, saya tidak bisa menerima usulan ini.” kata Pak Karno kembali ke topik. “Jadi Bapak tetap pada pendirian Bapak?” tanya Soekarni sambil mengepalkan tangan. “Ya!” jawab Pak Karno tegas.
“Baiklah! Kalau begitu, maaf kami telah mengganggu waktu Bapak. Kami permisi dulu!” kata Wikana pamit. “Eh?” bingung Soekarni sambil melepas kacamatanya. “Terimakasih dan selamat malam.” kata Chaerul sambil mengedipkan mata satu kali ke Sukarni. Sukarni pun mengerti, dan pada akhirnya Para pemuda yang lain mengikuti tindakan mereka, lalu pergi meninggalkan kediaman Pak Karno.
Selagi perjalanan, dengan kekecewaan atas hasil yang mereka peroleh hari ini, mereka memutuskan untuk mengadakan perkumpulan sekali lagi. Membahas apa yang telah terjadi, dan merencanakan apa yang akan terjadi. Dari pertemuan ini, mereka menemukan sebuah ide yang cemerlang sekaligus kontroversional.
Pukul 3 pagi waktu setempat, tindak kriminal terjadi. Ir. Soekarno dan seseorang yang dianggap akrab dengan beliau, Drs. Moh. Hatta, diculik dari kediaman mereka tanpa sepengetahuan orang lain. Mereka berdua dibawa ke sebuah rumah petani bernama Djiaw Kie Song, tepatnya di Rengasdengklok, Karawang. Kejadian itu membuat kenalan Pak Karno, yaitu Achmad Soebardjo menyelidiki kasus tersebut.
“Pak Hatta! Di mana kita sekarang?” tanya Pak Karno. “Mmmm mmm mmm!” jawab Pak Hatta. Mulut beliau ditutup oleh selembar kain, sehingga tidak sanggup bicara.
“Apakah orang Jepang yang melakukan ini? Rasanya tidak mungkin.” kata Pak Karno. “Mmmm mm?” kata Pak Hatta.
“Setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu, tidak mungkin mereka menambah musuh. Terlalu sulit dihadapi seandainya ketika mereka terpojok, malah menambah masalah semakin runyam.” kata Pak Karno. Entah bagaimana bisa beliau bisa mengerti perkataan Pak Hatta. “Mmm mm mm m mmmm hmm?” tanya Pak Hatta.
“Entahlah. Secara teori, jika kita menelaah lebih rinci, sepertinya anggota kaum mud-” kata Pak Karno terpotong. Suara pintu terbuka membuat Pak Karno berhenti berbicara.
“Selamat pagi! Pak Karno dan Pak Hatta. Terimakasih telah datang ke tempat kami.” kata seseorang sembari membuka pintu. Dua orang mengikutinya dari belakang. Mereka menggunakan topeng, dan salah satu dari mereka membawa senjata api.
“Secara paksa.” sela Pak Karno. “Maaf atas kelancangan kami! Kami hanya ingin melakukan kesepakatan.” kata salah satu dari mereka. “Mm m mmm mmm?” tanya Pak Hatta.
“Apa maksudnya? Bebaskan mulut beliau!” kata orang yang bersenjata. Dua orang dari mereka bergegas membuka penutup mulut yang dikenakan Pak Hatta.
“Bah! Lepaskan kami!” teriak Pak Hatta setelah bisa berbicara. “Tenang-tenang! Asal Bapak sepakat, kami akan bebaskan Bapak.” kata orang bersenjata itu. “Apa maumu?” tanya Pak Karno. “Sangat mudah. Hanya sebuah permintaan tentang hubungan dua belah pihak.” kata dia.
“Kau ingin persetujuan diplomatik?” tanya Pak Hatta menebak. “Bukan!” jawab orang itu Menggelengkan kepala. “Ingin uang? Jika ingin memeras kami, kau memilih orang yang salah.” kata Pak Karno. “Bukan! Aku tidak berniat menjadi kaya dengan jalan seperti itu. Permintaanku tidak bersifat materi.” kata orang itu.
“Lalu apa? Tidak usah bertele-tele!” teriak Pak Karno. “Baiklah! Aku hanya ingin satu hal saja. Tolong dipikirkan baik-baik.” kata orang itu sambil membuka topeng. Setelah terbuka, terbongkarlah identitas laki-laki muda tersebut. Ternyata dia adalah pemuda yang telah mendatangi kediaman Pak Karno kemarin malam. Soekarni Kartodiwirjo.
Suasana hening menghampiri. Setiap orang di ruangan menunggu jawaban Soekarni. Mata mereka tertuju pada orang yang akan menjawab, Soekarni. Sepasang telinga telah disiapkan untuk mendengar ucapan yang akan keluar dari bibir Soekarni. Pikiran Pak Karno dan Pak Hatta memikirkan jawaban atas permintaan yang akan dilontarkan Soekarni. Dengan perasaan tenang dia menutup dan membuka mata perlahan, menata detak jantung dan mulai bersiap mengutarakan keinginan dia. Sampai-sampai waktu 5 menit telah berlalu untuk menunggu permintaan Soekarni.
“Kelamaan woi!” teriak Pak Hatta. “Nikahkan aku dengan putrimu!” pinta Soekarni kepada Pak Karno. “DITOLAK!!!” jawab Pak Karno spontan. “Apa???” kaget Soekarni.
“Plak!” suara seseorang memukul kepala Soekarni. Kejadian itu menyita perhatian orang-orang di ruangan itu. “Apa yang kau katakan!” teriak orang yang menjitak kepala Soekarni, Wikana. Ternyata dia salah satu orang bertopeng yang melepaskan kain pembungkam mulut Pak Hatta. “Ta-tapi, dia sungguh cantik!” kata Soekarni. “Ya memang cantik! Tapi jangan lakukan disaat-saat seperti ini! Momentumnya kurang pas!” teriak Wikana.
“Pertama kali melihat dia, aku langsung jatuh hati! Kau tidak merasakannya?” tanya Soekarni. “Sudahlah! Lupakan kejadian ini!” kata Wikana menghindari pertanyaan. “Hoi-hoi!” kata Soekarni menatap Wikana sambil memajukan bibir bawah. “Mari kita bahas permintaan kami yang sebenarnya.” kata Wikana. Pak Karno dan Pak Hatta hanya mengedipkan mata melihat kejadian tersebut.
Mata serius bersembunyi di balik kacamata Wikana. Sambil menatap tajam Pak Karno dan Pak Hatta, keteguhan hati Wikana terbaca melalui raut wajah penuh keberanian. Suasana pun mulai menegang dengan sendirinya, mendampingi keseriusan Wikana.
“Pak Hatta! Saya ingin menjadikan Bapak sebagai saksi akan apa yang saya pinta. Mohon untuk didengarkan dengan seksama dan dimengerti secara mendalam tentang apa yang akan saya utarakan.” kata Wikana. Pak Hatta hanya menatap tajam untuk merespon ucapannya.
“Pak Karno! Hanya inilah satu-satunya cara agar kami tidak terjerat oleh rantai yang mengekang umat muda. Setiap insan memiliki pendapatnya pribadi dengan kebenaran yang berbeda-beda. Jadi, mohon untuk mengambil jalan tengah demi menyatukan pendapat-pendapat tersebut.” kata Wikana. Pak Karno dan Pak Hatta pun mulai sedikit terbawa oleh omongan Wikana.
“Pak Karno! Pak Hatta! Permintaan saya mungkin dangkal. Tapi, jawabannya cukup dalam bagi saya. Mohon untuk dipikirkan dengan matang sebelum nenentukan pilihan Bapak. Karena ini menyangkut emosi banyak orang.” kata Wikana.
“Jangan bertele-tele!” teriak Soekarni. “Diam!” teriak Wikana spontan. “Kau terlalu banyak memohon!” teriak Soekarni. “Ini menyangkut hidup kita! Jangan anggap sepele!” teriak Wikana. Soekarni langsung terdiam karena hentakan Wikana. Dari sini, Pak Karno mulai memikirkan sepatah kata untuk menjawab permintaan Wikana.
“Aku mulai! Pak Karno! Nikahkan saya dengan gadis yang ada di rumah Bapak!” kata Wikana tersenyum. Senyuman tulusnya mampu mengagetkan hati Pak Hatta dan Soekarni. Namun… “Tidak!” kata Pak Karno dengan tatapan sinis.
“Tak!” suara kepala terjitak.
“Aw! Hei!” teriak Wikana ke orang yang menjitak dia. “Kau sama saja!” teriak orang itu. Dia adalah salah satu orang yang telah membantu melepaskan kain yang ada di mulut Pak Hatta. “Apanya?” tanya Wikana. “Permintaannya!” jawab dia, Chaerul Saleh.
“Momennya tidak sama kan?” tanya Wikana mengelak. “Sudahlah! Lupakan saja kejadian ini.” kata Chaerul Saleh. “Mungkin kau sama saja.” kata Soekarni menyela.
“Pak Karno! Pak Hatta! Mari kita bahas yang sebenarnya.” kata Chaerul. “Huuuu!!!” kata Soekarni sambil memajukan bibir bawah. Namun, Chaerul tidak menggubris apa yang Soekarni lakukan.
“Apa kalian hanya ingin main-main?” tanya Pak Hatta. “Tidak! Kali ini saya serius. Penculikan terhadap Bapak-bapak telah menggegerkan politisi bangsa kita. Saya tidak bisa mundur setelah membuat keributan besar ini. Permintaan saya, merdekakan bangsa kita sekarang juga!” ungkap Chaerul tegas tanpa basa-basi. “Sekali lagi, tidak bisa!” jawab Pak Karno. “Kita harus segera membebaskan negara kita Pak! Selagi Jepang melemah, kita perkuat negara kita dan menunjukkan pada dunia kalau negara kita telah bebas dari belenggu penjajah.” kata Chaerul Saleh.
“Tidakkah kalian berpikir kalau kalian terlalu nekat? Ingatlah! Sesuatu yang dirintis terlalu cepat akan berakhir cepat pula.” kata Pak Hatta. “Selama ini bangsa kita telah di paksa kerja dan bersifat rodi. Itu yang membuat kita merana. Bapak tidak merasa iba dengan kejadian terusan itu?” tanya Chaerul. Pak Hatta hanya diam menanggapi pertanyaan Chaerul.
“BRAKK!!” suara pintu terdobrak dengan paksa. Serontak, Soekarni dan Wikana mengangkat tangan karena menganggap para pihak keamanan telah menemukan mereka. “Gawat!” kejut Soekarni dan Wikana. “Soebardjo! Soebardjo! Soebardjo!” teriak orang yang mendobrak pintu sembari masuk. Dia masuk sendiri sambil berlagak bagai polisi, meski memakai pakaian biasa.
“Pak Bardjo?” kata Pak Hatta kaget. “Serahkan sandera kalian!” teriak beliau, Pak Achmad Soebardjo sambil menodongkan senjata api. “Jangan macam-macam!” kata Chaerul memegang pundak Pak Karno. “Apa yang kalian lakukan? Menjauh dari Pak Karno dan Pak Hatta! Kalau tidak kalian akan terima akibatnya!” teriak Pak Achmad.
“Turunkan senjata Bapak atau akan ada yang terluka!” teriak Chaerul. “Mereka orang penting! Menjauh!” teriak Pak Achmad. “Karena penting, aku sandera mereka! Patuhi keinginan kami agar mereka bebas!” teriak Chaerul. “Kalian terlalu meremehkan orang tua!” teriak Pak Achmad mendekat perlahan.
“Hei! Berhenti dari sana!” teriak Chaerul mendekatkan tangannya ke leher Pak Karno, bermaksud menghentikan Pak Achmad. “Hei kau!” teriak Pak Achmad. “Hei!” teriak Chaerul. “Hei!” teriak Pak Achmad lagi.
“DORRR!!” Suara letusan senjata api. Semua pun terdiam sunyi selepas tembakan terdengar. Lirikan mata mereka menyusuri orang yang telah melepas tembakan. Selagi mencari, setiap individu merasakan tubuh mereka masing-masing. Memastikan tidak ada rasa sakit. Sampai mata mereka mengubar fakta : Senjata yang dibawa Soekarni mengeluarkan asap dari ujung senjata laras api tersebut.
“Turunkan senjata kalian!” teriak Pak Achmad memecah keheningan. “Ti-tidak bisa!” teriak Soekarni tetap mengangkat tangan. “Hei!” teriak Pak Achmad. “Hei!” teriak Chaerul.
“Tidak bisa!” teriak Soekarni tetap mengangkat tangan. Senjata tersebut tetap menempel di perut dia karena sabuk snjata yang menyangkut di dada.
“Kalian tidak bisa ditolelir!” teriak Pak Achmad mulai membidik dan mendekat. “Jangan beranjak!” ancam Chaerul mulai menyentuh leher Pak Karno. “Aku tidak akan gentar!” teriak Pak Achmad semakin dekat.
“Aaaahhhh!!!” teriak Chaerul mengkakukan tangannya. “Rasakaaan!!!” teriak Pak Achmad akan menembak. Dalam hitungan seper sekian detik, suara tembakan muncul untuk kedua kalinya. Sekali lagi, mereka semua menciptakan keheningan sembari merasakan tubuh mereka masing-masing. Memastikan kalau tubuh mereka bukanlah yang menjadi target tembakan.
“Kita buat kesepakatan. Kita menciptakan naskah proklamasi hari ini, dan kita kumandangkan besok pagi di tempat umum. Kalian resek kalau sedang berisik!” kata Pak Karno mewarnai suara. Perhatian pun tertuju pada beliau. Pikiran positif bermunculan di antara mereka. Menurut pikiran para pemuda (Caerul Saleh dan kawan-kawan), proklamasi besok sudah terbilang cepat dibandingkan tidak sama sekali. Sedangkan golongan tua (Ir. Soekarno dan kawan-kawan), memenuhi impian para golongan muda merupakan tugas yang harus diemban. Sehingga pada akhirnya mereka mnerima ide tersebut dengan lapang dada.
Setelah beberapa jam berlalu, setelah naskah proklamasi terbentuk, ada sebuah permasalahan yang muncul. Tentang di mana naskah proklamasi akan disiarkan.
“Bagaimana jika di lapangan IKADA (Lapangan Monas)?” usul Pak Hatta. “Ide bagus!” jawab Pak Karno.
“Maaf! Kita tidak bisa berkumandang di sana. Salah satu teman kami mengatakan, kalau ada acara event jejepangan seperti Cosplay, musik OST Anime, seiyuu dan artis dari Jepang juga datang.” sanggah Wikana. “Jadi dijaga ketat oleh tentara Jepang ya? Bukankah ini bagus?” tanya Soekarni. “Bagus?” bingung Wikana. “Kita bisa mengikuti acara tersebut, sekaligus menyatakan proklamasi. Sambil foto dengan Cosplayer juga tidak masalah.” kata Soekarni tersenyum.
“Sepertinya tidak akan berhasil jika tentara Jepang tidak mengizinkannya.” kata Pak Hatta. “Apa itu Cosplay, Anime, dan Seiyuu?” tanya Pak Karno. Semua pun terdiam menanggapi pertanyaan beliau. “Ha-hanya hiburan para pemuda.” jawab Wikana terlambat membuang muka. “Sepertinya menarik.” kata Pak Karno penasaran.
“Bagaimana kalau di rumah Pak Karno? Jalan Pegangsaan Timur no 56. Selagi tentara jepang sibuk dengan acara di Lapangan IKADA, kurasa ini cukup aman untuk kita.” usul Chaerul tiba-tiba datang. “Kau dari sana?” tanya Soekarni.
“Ya. Dan di sana tidak ada satu pun pihak keamanan Jepang.” jawab Chaerul. “Baiklah! Kita pilih tempat itu. Kita akan berangkat ke sana sekarang. Siapkan transportasi untuk kita.” kata Pak Karno. “Baik!” jawab Chaerul meninggalkan diskusi.
“Bagaimana dengan dokumen resminya?” tanya Wikana. “Harus diketik dan ditandatangani. Kita membutuhkan seseorang untuk pengetikan naskah proklamasi.” jawab Pak Karno. “Saya punya kenalan yang istrinya seorang wartawan. Saya akan mencoba menawarkannya.” jawab Soekarni meninggalkan diskusi juga.
“Jangan lupa mesin ketiknya! Kita masih belum memiliki itu!” kata Wikana. “Oke!” teriak Soekarni.
“Kalau begitu, semua sudah teratur. Nanti akan menjadi hari yang bersejarah bagi negara kita, negara Indonesia.” kata Pak Karno tersenyum. Senyuman beliau mampu menyebar ke semua yang sedang mendengar beliau. Suasana tentram ini mampu menjalar ke seluruh orang yang mendengar kabar ini, sampai pada waktu yang ditentukan, hari bersejarah tiba dalam kehidupan mereka.
Jumat tanggal 17 Agustus 1945, tepatnya pukul 10.00, proklamasi berkumandang. Negara Indonesia telah menyatakan bahwa mereka telah merdeka dari pihak asing. Negara yang memiliki suku, agama, ras dan budaya yang berbeda-beda telah melepaskan diri dari rantai yang mengikat kebebasan mereka. Belenggu yang menempel telah terlepas dari tubuh Negara Indonesia. Berkat kejadian ini, Jepang mengangkatkan kaki dari negara Indonesia. Kejadian ini menyulut gerakan-gerakan kemerdekaan di berbagai pulau. Salah duanya Bandung Lautan Api dan Peristiwa 10 November di Surabaya.
Other Side… “So, they (Wikana dan Kawan-kawan) thought that Fatmawati is Soekarno’s daughter? In fact, She is Soekarno’s Wife. That’s funny!” kata seorang Mayor angkatan Laut dari Jerman, Dr. Hermann Kandeler, yang berbincang melalui alat komunikasi. Sambil tertawa, dia memasuki kantor perwakilan angkatan laut Jerman karena akan mengetik sebuah berita kemerdekaan Indonesia. Ketika akan mengetik, dia menemukan dua lampir kertas di atas meja dimana dia biasanya duduk. Penasaran, dia pun mengambilnya dan mulai membaca kertas yang sedikit kekuningan tersebut. Lembar pertama bertuliskan:
PROKLAMASI
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen ’05 Atas nama bangsa Indonesia Soekarno/Hatta.
Mayor Herman pun tersenyum membacanya, sembari bergumam “Congratulation Indonesia!”. Lalu dia melanjutkan ke lembar kedua bercoretkan:
Bro! Gue butuh mesin ketik buat buat ngetik naskah teks Proklamasi. Ikhlas in ya Bro! Anggep aja amal buat negara. Thanks ya ^_^!
Sayuti Melik.
Setelah membacanya, dia pun menoleh meja sebelahnya yang semula ada mesin ketiknya. Karena tidak ada, dia pun menghela nafas dengan menengadahkan kepala ke atas, bersiap meneriakkan sepatah kata: “SAAAYUUUTIIII!!!”
END
Cerpen Karangan: Hadi Trimulyono Facebook: facebook.com/hadiari.upinipin