“Dor, dor, dor…”, Setidaknya berulang kali terdengar suara tembakan dari senjata kecil mematikan di sore itu. Dari kejauhan di atas sang biru sudah terlihat burung bermesin yang disebut helikopter yang ditunggangi oleh para serdadu. Suasana riang penuh gelak anak-anak bermain pun berubah menjadi teriakan ketakutan sambil berhamburan ke rumahnya masing-masing.
Amai, saat itu berusia sepuluh tahun. Amai merupakan gadis asal Batu Bulek, Tanah Datar, Sumatera Barat dan merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Saat itu Amai memiliki tiga orang adik yang masih kecil. Amai dan adik-adiknya tinggal bersama nenek mereka sedangkan orangtuanya merantau ke tanah seberang.
Seperti biasa, kesehariannya kala pagi hari amai membantu nenek di rumah, lepas itu amai terkadang bermain dengan konco-konco tak jauh dari rumahnya. Kala sabtu tiba Amai membantu nenek berjualan makanan-makanan kecil di pasar sabtu. Begitulah kira-kira rutinitas Amai setiap harinya.
Minggu itu terasa biasa sebenarnya untuk Amai. Setelah membantu nenek di rumah dan menjaga adik-adiknya, sore itu Amai hendak bermain seraya berkata “wo, pai main lu ya”, dan nenek pun selalu mengizinkan cucunya bermain “iyo, jan sanjo bana pulang” sahut nenek. Sumbringah Amai ketika hendak bermain dengan konconya.
Ditengah permaiannya, seketika semua teriak dan berhamburan tatkala terdengar suara tembakan keras dari kendaraan terbang para serdadu APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia) yang memburu PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia). Sontak Amai dengan segera berlari dan bersembunyi di dalam parit besar sendiri. Dengan ketakutan Amai berdiam diri setengah jam dalam parit yang berair sebelum akhirnya memberanikan diri pulang ke rumah.
Sesampai di rumah Amai disambut nenek dengan raut kecemasan dan langsung memeluk Amai seraya berkata “lai ndak baa-baa kan?”, Amai dengan raut pucat dan dapat banyak berucap hanya mengangguk dan terlemas. Peristiwa memang kelam bagi seorang Amai gadis berusia 10 tahun itu. Namun kejadian ini tak lantas membuat Amai trauma besar, karena setelah itu Amai menjalankan kegiatannya seperti biasa. Kejadian tersebut terjadi berulang namun Amai seperti sudah terbiasa saja meskipun rasa takut tetap saja dialaminya.
Suatu malam Amai mendengar kabar bahwa kerabat jauhnya penjual garam tertembak serdadu APRI dan meninggal dunia. Lamtas malam itu Amai bersama nenek pergi ke rumah kerabatnya itu, sedangkan adik-adiknya ditinggalkan bersama adik neneknya. Perjalana ke rumah kerabat Amai melewati pasar. Meskipun agak remang namun Amai bisa mencium bau amis seperti darah di pasar. Pertempuran saat itu memang membuat banyak nyawa melayang. Dengan sesaat Amai menghela nafas dan terkadang menahan nafasnya saat melalui pasar.
Tak pernah terbesit dalam pikiran Amai masa kecilnya akan dihantui oleh peristiwa mencekam ini. Amai di dalam rumahnya bersama nenek dan adiknya membuat lubang galian untuk bersembunyi dan melindungi diri dari serangan. Memang para serdadu tidak mengincar warga biasa, mereka hanya mengincar anggota PRRI. Namun bisa saja senjata api melesat kemanapun saat bertempur. Lubang tersebut cukuplah untuk Amai, nenek, dan adiknya bersembunyi.
Amai yang saat itu mengkhawatirkan nenek serta adiknya bertanya kepada nenek “sampai bilo porang wo? Lai ndak kan ditembak kito ka?”. Dengan meyakinkan Amai serasa mengelus kepalanya, nenek berkata “ndak kan lamo do, tujuannyo dak kito do tanang la hyo jago adiak-adiak”, mendengar nenek membuat setidaknya ada kelegaan baginya. Amai berharap bahwa tidak akan ada lagi setelah ini perperangan yang akan membuatnya risau.
Begitulah kisah kecil Amai mengisi peran dalam peristiwa kelam perlawanan PRRI dan APRI pada masa silam. Kini Amai telah berusia 70 tahun. Jika diingat membuat Amai menangis dan tak mau jika peristiwa tersebut terulang lagi. Amai bersyukur saat itu keluarganya baik-baik saja, namun tragisnya peristiwa tersebut tidak akan terlupakan oleh Amai.
Cerpen Karangan: Rendi Nofreza Rendi Nofreza, Mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Andalas