Udara dingin menembus kulit putih bak susu. Angin berhembus kencang menerpa wajah. Langit tampak murung dari biasanya. Burung burung kecil tak lagi menari nari diatas awan. Mentari perlahan menenggelamkan dirinya. Menyemburkan warna jingga namun warnanya tertutup rapi oleh barisan awan yang tampak murung. Suara gemuruh diatas langit menggelegar, seolah olah langit hari ini sedang murka.
Seseorang tengah berlari menghindari sesuatu. Napasnya terengah engah membuatnya kesulitan untuk bernapas. Ia memberhentikan langkahnya, lalu membaringkan tubuhnya di atas rumput yang menari nari. Menatap langit yang semakin menggelap. Kemudian memejamkan matanya sebentar guna melepas rasa lelah.
Selang beberapa detik kemudian, merasakan sesuatu mengenai wajahnya, tanpa berfikir panjang ia langsung membuka matanya.
Dahinya berkerut, wajahnya menampilkan ekspresi bingung.
“Secarik kertas?” gumamnya pelan.
Tanpa basa basi, iris matanya mulai bergerak kesana kemari membaca tulisan diatas kertas itu.
“Jika ingin selamat, datanglah ke bawah pohon besar yang ada di seberang desa.”
Ia pun semakin bingung, otaknya mencoba mencerna apa yang dimaksud dari tulisan itu. Bulu kuduknya berdiri lantaran kertas itu tiba tiba saja mengeluarkan darah dengan sendirinya. Saat ingin membuang kertas itu tiba tiba saja datang seorang laki laki bertubuh mungil menghampirinya. Ia pun menyembunyikan secarik kertas itu dibelakang tubuhnya.
“Hai? Maaf sebelumnya, apakah kau melihat secarik kertas jatuh disini?” tanya lelaki bertubuh mungil itu.
“Tidak.”
“Oh? Baiklah,” ucap lelaki itu lirih. Sorot matanya menampilkan kekecewaan.
“Ada apa dengan kertas itu?”
“Tidak apa apa kok, ya sudah jika kertas itu hilang, itu juga cuma kertas, bisa dicari lagi,” ujarnya lalu tersenyum tipis.
ADVERTISEMENT
Lelaki bertubuh mungil itu kemudian tersenyum manis. “Ah iya, namaku Renza, nama kamu siapa?”
“Jeroz,” jawab lelaki didepannya yang lebih tinggi dari Renza.
“Kamu disini pasti karena habis dikejar makhluk aneh bertubuh besar, warna kulitnya hitam, dan berjalan terbalik ya?”
Jeroz tertegun, yang diucapkan Renza memang benar. Kemudian kepalanya mengangguk pelan.
“Oh okay, aku harus pergi. Hujan sebentar lagi turun,” ucap Renza lalu melambaikan tangannya.
Renza telah pergi begitu saja, tanpa mempedulikan Jeroz dengan keadaan mematung. Lantaran Renza berjalan melayang.
“Ah, pasti aku hanya halusinasi saja,” ucap Jeroz mencoba membuang pikiran negatif.
Hujan pun turun, Jeroz ingin segera pulang ke rumahnya. Tetapi langkahnya terasa berat, seperti ada sesuatu yang menahannya. Jeroz menghembuskan napasnya kasar. Ia teringat bahwa masih membawa secarik kertas misterius itu.
Mata Jeroz membulat, tulisan yang ada di secarik kertas itu telah berubah.
“Hai Jeroz. Sebentar lagi kau akan mati.”
Setelah membaca kalimat itu, tubuh Jeroz melemas, kakinya tidak kuat menopang tubuhnya. Keringat bercucuran membasahi seluruh wajahnya. Tubuhnya pun bergetar hebat.
“Bagaimana ini?” ucapnya lirih.
Tanpa Jeroz sadari, sejak beberapa detik yang lalu ada sosok laki laki yang berdiri tepat di hadapannya. Itu Renza.
Renza tersenyum manis, ia menatap Jeroz lalu berkata, “Hai, aku kembali.”
“Kenapa kau masih disini?”
“Aku sedang bermain denganmu.”
Jeroz mengangkat satu alisnya. “Hah?”
“Lupakan. Kamu pasti sedang ketakutan karena secarik kertas yang kamu pegang ya?”
Lagi lagi Renza mengetahuinya. Jeroz ingin mengucapkan sesuatu, tetapi ia tak bisa. Kepalanya mendadak pening.
“Aku tahu semuanya, karena akulah dibalik semua ini. Aku yang membuatmu ketakutan, aku juga sosok yang mengejarmu tadi.”
Jeroz masih mencoba mencerna perkataan Renza. Ia menatap Renza dengan tatapan ketakutan. Ia melihat kaki Renza, dan benar saja kakinya Renza tak menapak tanah. Jeroz ingin berlari menjauhi Renza, tapi tubuhnya terlalu lemas. Bulir air mata Jeroz mulai berjatuhan.
Jeroz menangis. Hanya itu yang bisa ia lakukan sekarang. Sosok Renza itupun kini berubah menjadi sosok yang menyeramkan. Wajahnya rusak, bola matanya keluar, bibirnya sobek, tubuhnya tinggi, dan warna kulitnya perlahan menghitam.
“AAAAAAAAAAA.”
Jeroz berteriak sekeras mungkin, ia berharap ini cuma khayalannya saja. Sosok Renza tertawa keras. Tubuh Renza pun perlahan terbalik dan berjalan ke arah Jeroz yang ketakutan. Detik berikutnya Renza mulai menyekik Jeroz. Jeroz pun jatuh tak sadarkan diri.
“Kau pasti sangat menyukai permainanku, Jeroz.”
End.