Siapa yang belum pernah mendengar nama Nabi Yusuf? Nabi yang dikenal sebagai sosok yang sangat tampan, sampai ketampanannya ini membuat ia digoda untuk berzina dengan majikannya sendiri. Keteguhan iman Nabi Yusuf dalam menghadapi berbagai ujian hidup telah sering kita dengar dan menjadi inspirasi. Namun, ternyata ada banyak hikmah lain yang terdapat dalam kisah hidup Nabi Yusuf, hikmah yang lebih indah dari sekadar berita tentang ketampanannya saja. Kisahnya yang tertuang dalam Al-Qur’an memiliki kandungan yang luar biasa menggugah.
ADVERTISEMENT
Ustadz Nouman Ali Khan, seorang penceramah asal Texas, Amerika Serikat, yang pada tanggal 11 dan 12 bulan November 2022 lalu datang ke Indonesia dalam tur dakwahnya yang bertajuk Story Night: Rise and Above di ICE BSD Tangerang, mengupas hikmah teladan lain yang mungkin belum pernah kita sadari sebelumnya dari hidup Nabi Yusuf. Pada awal ceramahnya, Beliau mengingatkan hadirin yang datang untuk berniat menghubungkan diri kembali dengan Al-Qur’an. Ustadz Nouman menjelaskan empat pelajaran penting dari hidup Nabi Yusuf yang bisa kita petik sebagai ikhtiar untuk memaknai takdir yang sudah Allah gariskan.
Bukan Salahnya, tapi Keadaan Memaksanya
Ilustrasi ketabahan. Sumber: Pixabay/piro4d
zoom-in-white
Perbesar
Ilustrasi ketabahan. Sumber: Pixabay/piro4d
Selama ini yang sering kita dengar adalah saudara-saudara Nabi Yusuf membenci dan iri padanya karena ia adalah anak kesayangan ayahnya. Tidak banyak cerita yang mengangkat dari mana rasa benci dan ini berasal. Ustadz Nouman menjelaskan bahwa Ayah Nabi Yusuf adalah Nabi Yaqub, yang mana dulu sebelum menikahi ibu Yusuf yang bernama Rahel, ia terlebih dahulu menikahi Leah, saudara kandung Rahel. Kisah tentang orang tua Yusuf ini didapatkan Ustadz Nouman dari Alkitab. Pada mulanya, Yaqub jatuh cinta dan meminta izin untuk menikahi Rahel pada ayah mereka. Mahar yang harus Yaqub bayar adalah masa kerja selama tujuh tahun. Namun pada hari pernikahan, yang terjadi adalah ayah mereka justru menikahkan Yaqub pada Leah, bukan Rahel. Jika Yaqub ingin menikahi Rahel, ia harus menambah tujuh tahun lagi masa kerja pada ayah mereka.
Pada akhirnya, dulu saat syariat untuk tidak menikahi dua saudara sekaligus belum turun, Yaqub tetap menikahi Leah dan Rahel. Yaqub sejak awal memang lebih mencintai Rahel, akan tetapi yang bisa memberikan Yaqub keturunan saat itu hanya Leah. Kecemburuan dan persaingan yang menimbulkan benih kebencian di antara kedua saudara perempuan itu berawal dari sana. Meski Leah sudah memberi Yaqub banyak keturunan, namun ia tetap merasa bahwa cinta yang diberikan padanya tetap kurang dan selalu mencemburui Rahel. Sampai pada akhirnya Rahel pun mengandung dan melahirkan Yusuf. Sayang, Rahel tidak berumur panjang dan meninggal tidak lama setelah itu.
Rasa cemburu Leah yang seakan tidak ada habisnya menular pula pada anak-anaknya. Mereka kemudian juga ikut menjadi pencemburu terhadap Yusuf, anak dari istri yang mereka anggap lebih dicintai oleh ayahnya. Sepanjang hidup, Yusuf terus diliputi kebencian dan rasa iri dari saudara-saudaranya. Padahal, saat itu ia hanya seorang anak biasa yang tidak mengerti apa-apa. Ia tidak tahu mengapa keluarganya sendiri membencinya. Bukan salahnya mengapa kebencian itu bisa mendarah daging, ia hanya orang yang seolah menjadi korban dari keadaan. Meski begitu, Yusuf tetap berusaha untuk menyayangi dan menghormati seluruh saudaranya. Ia tidak balik membenci dan tetap berbaik sangka pada keluarganya itu. Bahkan sampai hari di mana Yusuf akan dibuang oleh saudara-saudaranya, ia tetap menghormati dan berniat untuk membantu mereka. Yusuf tetap menaruh kepercayaan pada mereka, kepercayaan yang sebagaimana yang kita ketahui kelak berubah menjadi momen kemalangan baginya.
Dari sini kita dapat belajar, bahwa memang ada hal-hal tidak adil yang dapat terjadi di luar kendali dan membuat kita merasa seperti korban. Tetapi, menaruh dendam tidak akan pernah menjadi jalan keluar yang baik. Perasaan tidak adil dapat mendatangkan kecemburuan, merasa menjadi korban yang malang, kehilangan konsep kepercayaan dan harga diri, bahkan dendam. Hilangnya konsep kepercayaan diri ini dapat membuat kita selalu merasa kurang atas apa yang sudah dimiliki, seperti Lea yang merasa kurang dicintai oleh Yaqub walau telah melahirkan banyak anaknya, dan Rahel yang merasa kurang karena belum dapat melahirkan keturunan padahal cinta Yaqub selalu ada untuknya.
Satu hal terpenting yang harus kita sadari dalam hidup adalah bahwa Allah tidak akan pernah mendzalimi hamba-Nya. Semua yang terjadi pada kita ada karena sebuah alasan, misteri dari takdir-Nya yang terindah. Mungkin terasa berat saat pertama kali dihadapi jika kita menyikapinya dengan hawa nafsu dan amarah. Tapi sadarilah bahwa Allah tidak akan pernah menyakiti. Akan selalu ada hikmah baik dari setiap keadaan yang terjadi. Hikmah yang mungkin baru akan kita sadari di kemudian hari, sebagaimana yang terjadi dalam hidup Nabi Yusuf selanjutnya.
ADVERTISEMENT
Space: Love Language yang Luput dari Perhatian
Ilustrasi love language. Sumber: Pixabay/skalekar1992
zoom-in-white
Perbesar
Ilustrasi love language. Sumber: Pixabay/skalekar1992
Istilah love language merupakan istilah yang cukup baru dalam bidang psikologi. Love language dapat diartikan sebagai cara untuk mengekspresikan rasa cinta kita pada orang lain. Secara umum, love language dapat dibedakan menjadi words of affirmation (kata-kata penegasan), act of services (memberikan pelayanan), giving gifts (memberikan hadiah), quality time (waktu yang berkualitas), dan physical touch (sentuhan fisik) (Chapman, 1992). Tapi menurut Ustadz Nouman, sebetulnya ada love language lain yang harus dimiliki karena jenis ini akan selalu diinginkan oleh setiap orang. Love language itu bernama space atau ruang.
Memberikan ruang kepada seseorang sebagai bentuk cinta adalah salah suatu hal yang sangat penting dalam hubungan. Ruang yang dimaksud di sini adalah ruang di mana kita bisa merasa aman dan nyaman untuk mencurahkan apa pun pada orang yang kita sayang tanpa penghakiman, sehingga dapat muncul rasa lega yang menenangkan dalam hati. Ruang yang diberikan haruslah ruang yang penuh dengan kasih sayang dan pemahaman, ruang yang membuat kita merasa aman dan didengarkan, ruang untuk berbagi keluh kesah, ambisi, cita-cita, impian, hal penting atau pun hal remeh.
Saat ini sering kali kita temukan fenomena di mana banyak orang yang lebih memilih untuk bercerita di media sosial pada sekelompok orang asing untuk mendapatkan perhatian dibandingkan bercerita pada orang terdekat. Seseorang yang merasa tidak mendapat cukup ruang dan kesempatan didengar oleh orang terdekatnya cenderung akan mencari pelarian ke orang lain. Kadang, orang terdekat seperti orang tua atau saudara tanpa sadar tidak dapat mengurangi egonya untuk berbagi ruang dengan mimpi-mimpi kita dan malah memaksakan keinginan mereka untuk kita jalani.
Kesediaan untuk memberikan ruang seringkali perlu lebih utama dilakukan dibandingkan dengan memberi bahasa cinta lainnya. Ketika kita sudah dapat memberi ruang untuk orang lain, maka akan lebih mudah bagi mereka untuk berjalan bersama kita. Lebih mudah pula mereka untuk menerima pesan, nasihat, serta berbagi core value dengan kita. Hal ini pulalah yang dilakukan Nabi Yaqub pada anaknya, Yusuf. Sebagai seorang ayah, Nabi Yaqub telah berhasil memberikan ruang penuh pengertian dan rasa aman sehingga Yusuf berani untuk berbicara dengan jujur padanya.
Diceritakan dalam QS. Yusuf (12:4), Yusuf kecil berkata pada ayahnya, “Wahai Ayahku, Sungguh, aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari, dan bulan. Kulihat semuanya sujud kepadaku.” Dibutuhkan keberanian yang besar bagi seorang anak untuk bercerita tentang mimpi yang mengusik hati itu pada ayahnya. Jika mimpi itu tidak mengusik hati Yusuf, mungkin ia tidak akan menanyakan tentang hal itu pada ayahnya yang merupakan seorang Nabi. Kemudian, Nabi Yaqub dengan penuh cinta berkata, “Wahai anakku, janganlah engkau ceritakan mimpimu pada saudara-saudaramu, mereka akan membuat tipu daya untuk membinasakanmu. Sungguh, setan itu musuh yang jelas bagi manusia.”
Nabi Yaqub telah mengetahui bahwa arti dari mimpi tersebut adalah kelak Yusuf juga akan menjadi seorang nabi. Nabi Yaqub yang telah mengetahui sifat perangai anak-anaknya yang lain pada Yusuf merasa perlu memberitahunya untuk tidak mengatakan tentang hal ini pada siapapun. Keberanian untuk berbicara terbuka dapat mendatangkan kebaikan, perlindungan, rasa aman, dan kejernihan dalam melihat sebuah keadaan.
Dari mana Yusuf belajar untuk jujur dan membicarakan isi benaknya secara terbuka? Tentu saja dari ayahnya, Nabi Yaqub, yang telah terlebih dahulu menciptakan ruang yang aman dan nyaman bagi Yusuf selama membesarkannya. Yusuf belajar untuk berbagi ruang dengan ayahnya yang juga telah memberinya ruang untuk bercerita tanpa penghakiman. Hal ini membuat Yusuf lebih mudah untuk menerima nasihat dan berbagi core value dengan ayahnya. Ketika ruang seperti itu sudah tercipta, maka ikatan yang kuat akan lebih mudah untuk dibangun atas dasar pengertian, penghormatan, dan cinta.
Kenapa Selalu Kita yang Diuji
Ilustrasi ujian hidup. Sumber: Pixabay/pexels
zoom-in-white
Perbesar
Ilustrasi ujian hidup. Sumber: Pixabay/pexels
Tidak ada manusia yang dalam hidupnya tidak pernah diuji. Ujian ada pada dasarnya adalah untuk memilih siapakah yang paling bisa bertahan dan menguatkan diri. Tapi, apa jadinya jika ujian dan cobaan datang bertubi-tubi? Seakan tanpa henti menghujam kita yang kadang harus berjalan sendiri. Jika tidak membentengi diri dengan harapan, optimisme, dan keimanan, di tengah badai ujian yang datang lagi dan lagi itu kita bisa tenggelam dalam perspektif korban.
Berada dalam perspektif korban dapat membuat kita terjebak dalam pola pikir yang kurang baik. Kadang orang yang berpikir bahwa dirinya adalah korban dari keadaan cenderung untuk merasa berhak atas pengampunan dan pemakluman dunia atas segala tindakannya. Hal itu dijadikan sebagai landasan atas sikap acuh dan dendamnya terhadap dunia. Padahal, merasa seperti korban tidak akan bisa membawa kita kemana-mana. Kita tidak akan bertumbuh jika terus-terusan merasa lemah dan menyalahkan keadaan.
Ujian ada untuk memilih siapa yang paling baik ikhtiarnya dan bisa bertahan sampai akhir. Kita bisa dipilih hanya setelah melalui berbagai tantangan. Kesulitan ada untuk membuat kita menjadi lebih kuat setelah menjalaninya, bukan untuk menjadikan kita sebagai korban. Kesulitan yang dihadapi menstimulasi kebertumbuhan yang akhirnya membuat kita semakin mudah untuk Allah pilih. Dipilih untuk apa? Tentu saja untuk rencana terbaik-Nya yang dibungkus dengan indah dalam misteri takdir. The more we grow, the more our chance to be selected, to be chosen. Setiap rezeki sudah Allah jamin, setiap takdir sudah Allah jaga.
Jika kita sedang merasa seperti korban dari keadaan, alangkah baiknya jika kita mengingat kembali kisah hidup Nabi Yusuf. Ustadz Nouman berpendapat, di dalam Al-Qur’an tidak ada yang lebih berat ujiannya sebagai korban selain Nabi Yusuf. Sejak kecil ia dibenci saudara, lalu dibuang, dijadikan budak, difitnah, kemudian dipenjara. Namun, tidak pernah sekalipun Nabi Yusuf menyatakan dirinya sebagai korban. Karena, sejak kecil ayahnya telah mengajarkan mentalitas luar biasa padanya. Yaqub berkata, “Allah akan selalu memilihmu lagi dan lagi untuk sesuatu yang penuh kebaikan dan makna, karena kamu telah mendapatkan ujian berkali-kali.” Semakin sering kita diuji, semakin mudah kita akan dipilih untuk sesuatu yang besar.
Gain Strength and Growth from Difficulties
Ilustrasi kekuatan. Sumber: Pixabay/phtorxp
zoom-in-white
Perbesar
Ilustrasi kekuatan. Sumber: Pixabay/phtorxp
Seringkali, sebetulnya semua hal di sekeliling kita baik-baik saja apa adanya sampai pada saat kita melakukan perbandingan dengan apa orang lain miliki. Perbandingan yang kita lakukan dapat memicu cemburu dan menyempitnya rasa syukur. Dari sana akhirnya dapat timbul rasa dendam berkepanjangan yang menjadi momok dalam diri.
Tahun demi tahun berlalu, Nabi Yusuf yang telah mengalami berbagai ujian dalam hidup akhirnya menjadi seorang pembesar di Mesir. Kesulitan yang dihadapi membuatnya tumbuh menjadi pribadi yang tangguh. Ia dengan mudah Allah pilih untuk hal-hal besar karena berhasil menghadapi setiap ujian yang datang padanya. Namun, hal yang sama tidak terjadi pada saudara-saudara Yusuf. Mereka masih hidup dalam perspektif korban walau sudah tidak bersama Yusuf. Mereka tidak bertumbuh sebagaimana Yusuf yang menghadapi cobaan dengan ikhlas dan tawakal. Ketika kita merasa cemburu dan melakukan perbandingan, benar dan salah menjadi sulit untuk dibedakan. Orang yang cemburu seakan membangun dinding tebal dan hidup dalam realitas yang diciptakannya sendiri.
Kisah Nabi Yusuf mengajarkan kita semua bahwa akan selalu ada hikmah yang baik di balik semua kejadian, bahkan yang menyedihkan sekalipun. Pada keadaan yang membuat kita rugi atau terluka, masih akan ada pesan baik yang Allah selipkan di dalamnya. Setidaknya, pesan itu adalah pelajaran yang akan selalu kita ingat untuk seumur hidup. Masa depan memang tidak menjanjikan apa pun pada kita terlepas dari apa saja yang sudah kita lakukan untuknya. Kerja keras dan kesabaran mungkin tidak serta merta mendatangkan kemudahan. Meski begitu, satu hal yang pasti adalah Allah tidak akan pernah tinggal diam ketika melihat hamba-Nya berusaha sekuat tenaga dan sepenuh hati. Jangan pernah berputus asa dari rahmat-Nya, kehilangan iman, dan harapan karena Allah Maha Adil.