Semalam bersama hantu.
Nama lengkapku adalah Ardian Carlinus Malingga. Akrabnya sering di sapa Ardian. Usiaku mungkin sekitar dua puluh enam atau dua puluh tujuh, aku sendiri tak yakin karna tidak mengingatnya. Pekerjaan? Aku hanya seorang pebisnis yang suka menabung uang. Sejauh ini ada tiga restoran dan empat hotel bintang lima yang aku miliki. Aku sibuk mengurusi semuanya. Istri? Aku tidak beristri, tapi aku memiliki seorang tunangan yang usianya mungkin dua atau tiga tahun lebih muda dariku. Namanya Maya.
Maya adalah seorang artis muda yang lumayan tenar di antara jajarannya. Dia merangkap sebagai model dan fashionista. Kami ada janji nikah bulan lalu, tapi aku terlampau sibuk bulan lalu dan harus pergi ke luar negeri untuk mengurus bisnis di luar Negeri.
Hari ini adalah hari kepulanganku ke tanah air. Terlintas perasaan rindu yang cukup berat di hati. Rindu kepada keluarga dan Maya tentunya. Ada juga rasa bersalah karna mendadak harus pergi saat mendekati acara nikah. Mungkin gadis itu sedang merajuk sekarang. Aku merasa gusar dan bingung harus berbuat apa, yang pasti aku sudah terlalu sering mengecewakannya.
Kami menjalin kasih cukup lama, jika aku tak salah sejak SMA. Tapi seingatku, kami dekat dari SMP, Sampai sekarang. Yang mengejarku secara aktif adalah Maya. Ambisinya untuk memiliki diriku sangat tinggi, dan aku juga dekat dengannya, jadi ku pikir tidak ada salahnya untuk mempererat hubungan kami. Aku memperlakukannya sebaik yang aku bisa, sejauh ini kami tidak pernah bertengkar.
Paling-paling dia yang sering aku kecewakan karna aku yang lupa dengan janji temu dengan dirinya. Atau terlalu sibuk dengan pekerjaan hingga melupakannya. Haish... Semakin aku pikirkan semakin sedih rasanya diri ini. Ku pikir aku harus menenangkannya terlebih dulu sebelum bertemu keluargaku.
Jika aku tak salah ingat apartemen tempatnya tinggal tak jauh dari aku berada sekarang. Jika cukup cepat seharusnya aku akan sampai sebelum tengah malam. Ku lihat jam di tanganku menunjukkan pukul sembilan tiga puluh. Seharusnya membujuknya sebentar lalu kembali ke rumah keluarga bukan ide buruk. "Pak bisa di percepat?"
"Nggih Mas, sebentar lagi sampai." Ujarnya sambil mengusap kumis.
Karna aku berniat untuk memberi kejutan, aku tidak memberitahu Maya tentang kedatanganku. Saat mobil yang ku tumpangi sampai, aku melihat Pak supir tampak pias. "Kenapa Pak?"
"Mas yakin mau mampir ke tempat ini?" Ia bertanya dengan logat Jawa yang khas.
Aku menganggukkan kepalaku. "Iya, kenapa Pak?"
Bapak itu tampak ingin mengatakan sesuatu, namun tertahan dan tampak kesulitan. Aku mengernyitkan dahi, apa yang salah? "Mas benar-benar yakin ingin ke tempat itu?"
Bapak itu mengulangi pertanyaannya lagi. Aku juga mengulangi jawabanku. Ia tampak menghela nafas pasrah. "Saya cuma sebentar kok Pak. Bapak bisa tolong menunggu saya? Saya juga ingin titip barang-barang saya sebentar. Kalau perlu saya bayar lebih deh."
Bapak itu mengangguk, entah mengapa aku melihat simpati di sepasang matanya. Sebenarnya apa yang salah dengan rumah itu? Mungkinkah terjadi sesuatu selama aku pergi ke luar negeri?
Aku keluar dengan menghela nafas pasrah. Lalu melangkahkan kaki memasuki apartemen tempat Maya tinggal. Pagar besi cantik itu akan secara otomatis terbuka ketika seseorang menginjakkan kaki di depannya.
Aku memasuki pekarangan rumah yang lumayan besar itu. Kehijauan dan rasa segar itu tak berubah sejak terakhir kali aku memasukinya. Bahkan jika malam hari itu gelap, aku masih dapat merasakan dan melihat keindahan sekitar. Tapi, entah kenapa rasanya bulu kudukku merinding.
Ini perasaan di awasi yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Tapi itu tak menghentikan langkahku untuk masuk. Saat aku hendak mengetuk pintu bangunan dua tingkat itu, pintu telah di buka dari dalam seolah tau kalau aku akan datang. Oke ini mulai terasa aneh, tapi aku harus masuk untuk melihat Maya. Saat aku masuk, pintu tertutup tiba-tiba seperti di film horor. Ini membuat jantungku sedikit berkerja ekstra.
"Mas Ardian?" Suara tua si mbok pelayan yang melayani Kebutuhan rumah Maya memasuki Indra pendengaran ku.
"Ya, Mbok." Aku membalas sapaan yang entah mengapa terkesan seram ini.
Oke mungkin aku harus pulang. Ekspresi si Mbok terasa tidak beres. Aku berbalik untuk membuka pintu depan. Tapi kalimat Mbok menghentikan langkahku. "Mas mau melihat Non Maya? Dia tau kedatangan Mas dari jendela kamarnya, jadi dia menunggu di kamarnya. Katanya jika Mas tidak datang menemuinya, dia akan gantung diri."
"!!!" Aku berbalik untuk menatap Si Mbok. Untuk mencoba menemukan jejak kebohongan.
Tapi karna kata gantung diri, membuatku sangat khawatir. Bagaimana jika aku pergi Maya malah benar-benar nekat gantung diri?
"Kalau begitu saya harus segera melihat." Aku segera berlari ke tangga lantai dua.
Entah mengapa hatiku di penuhi ketegangan dan sedikit rasa takut? Ah mungkin saja karna takut Maya gantung diri. Sejauh ini selain suasana lembab dan udara dingin berlebihan, aku tidak melihat sesuatu yang salah. Suasana rumah juga sama seperti terakhir kali aku berkunjung. Tapi entah kenapa aku merasa udara semakin dingin saat aku mendekati lantai dua.
Saat aku hendak memasuki kamar Maya, seorang pelayan lainnya menghentikan ku. "Maaf Mas, kamar Non Maya pindah kemari."
Rasanya cara dia bicara sedikit kaku, atau hanya perasaanku saja. "Bukannya ini kamar Mayang?"
Mayang adalah Adik Maya, mereka kembar tak seiras. "Non Mayang sudah pindah saat Mas pergi ke luar negeri."
Aku mengangguk-angguk saja. Lalu memasuki kamar Maya. Semakin cepat aku membujuknya semakin baik. Tapi setelah masuk ke kamarnya, entah mengapa kamarnya terasa gelap dan suram. Meski begitu, aku masih bisa melihat siluet perempuan yang duduk di depan jendela yang terbuka.
Saat aku mendekat, terdengar olehku suara pintu yang terkunci. Firasatku memburuk, seolah ada yang menyadarkan diriku, apa yang ku lihat di sekitar mulai berubah. Semuanya tampak berantakan dan di penuhi hitam gosong seolah terbakar. Bahkan pintu yang ku coba buka tampaknya terlihat lapuk. Seolah satu tendangan dariku dapat mematahkannya. Faktanya aku tak dapat membukanya barang sedikitpun. Pintu itu kokoh seolah ia masih baru dan aku tak bisa membukanya.
Bulu kudukku sudah sejak tadi terasa meremang. Hawa dingin dari jenis yang membawa rasa takut membuatku tak berani melihat ke belakang. Aku merasa ada sepasang tangan yang mengungkungku dari belakang. Ada bau terbakar memasuki Indra penciumanku. Sepasang tangan mungil itu tampak hitam, hitam dari gosong seperti terbakar. Beberapa bagian kulitnya merekah dengan daging yang tampak matang.
"Kalau sudah datang tidak bisa pergi begitu saja bukan?" Seorang wanita berbisik di belakangku. Aku mengenal suaranya meski samar-samar melupakannya. Pemilik suara itu adalah Mayang.
Aku menutup mataku. Semuanya hanya ilusi.
Meski aku terus mencoba menyugesti diri sendiri dengan kalimat itu, sentuhan yang aku rasakan pada tubuhku terasa nyata. Kalau di film-film, hantu itu di jelaskan sebagai sosok tembus pandang yang tak dapat di sentuh. Tapi mengapa rasanya sentuhan dari tangan dingin yang menggerayangi tubuhku terasa sangat nyata. Aku bahkan tak bisa bergerak.
Aku tidak tau kalau Mayang mesum. Ia meraba-raba dadaku, tenggorokanku lebih tepatnya jakunku, rahang dan pipi. "Aku bangkit sebagai hantu penasaran karna obsesiku dan cintaku kepadamu tak tersampaikan. Sudah sangat lama aku mencintaimu Kak."
Meski kalimatnya lembut. Hawa horor yang aku rasakan tak berkurang. Aku merasa, di detik berikutnya aku bisa mati. "Hihihi... Kakak berniat tidak membuka mata hingga akhir ya? Sekarang nyawa Kakak ada di tanganku. Jika aku meminta Kakak untuk memutuskan pernikahan dan berjanji mendedikasikan hatimu untukku, apakah Kakak bersedia?"
"Tidak!" Aku berkata sambil mengeratkan pejaman mataku. Aku merasa Mayang sedang melihatku saat ini.
"Hihihi... Hahahaha... Aku tidak tau aku harus senang atau sedih... Kakak menikahi Kakakku dan tidak akan mengkhianatinya. Atau Kakak yang menolak cintaku bahkan setelah aku tiada, ahh... ini membuatku frustasi." Suara Mayang terdengar berubah-ubah. Emosi dalam kalimatnya benar-benar frustasi seperti yang ia katakan.
Tiba-tiba tubuhku terasa seperti di tarik oleh sesuatu yang kuat. Lantas aku merasakan sakit di bagian punggung karna menghantam bagian dinding. Meski tidak ada musik seram pengiring seperti di film hantu, aku masih dapat merasakan ketegangan dan sakit. Yang aku benci dari apa yang berhubungan dengan horor adalah 'Jump Scare' aku takut Mayang juga demikian. Bagaimanapun juga tangannya sudah seram apalagi wajahnya. Jadi aku menolak untuk membuka mata.
"Buka matamu! Lihat aku Kak!" Ia berteriak keras, suaranya berdengung di telingaku.
Bersamaan dengan teriakan itu aku mendengar suara kobaran api. Tubuhku kembali terangkat dan terlempar ke balkon. Aku jatuh ke tanah dari balkon lantai dua, dengan punggung yang menghantam lantai. Aku baru saja membuka mata untuk memeriksa kondisiku, lalu mendengar suara di balkon lantai dua.
"Beginilah aku mati." Bisikan Mayang halus namun Aku dapat mendengarnya dengan sangat jelas. Di tengah api yang berkobar di gedung kamarnya, ia berdiri di atas pagar pembatas dengan pakaian merah. Lalu terjun ke bawah begitu saja. Tepat di atas tubuhku. Anehnya sepertinya aku melihat ilusi ranting tua yang besar di atas tubuhku. Dan Mayang terjatuh membelakanginya. Punggungnya tertusuk ranting pohon yang tumbang, tusukan itu menembus tubuhnya. Ada air mata yang tumpah saat ia menutupkan matanya.
"Bahkan jika aku mati, aku benar-benar ingin menjadi hantu yang paling cantik." Mayang mengusapkan tangannya ke pipiku. Ya, ia masih cantik seperti aku terakhir kali melihatnya. Hanya saja tangannya sedikit terbakar, lalu ada lobang besar diantara dadanya.
Mayang memelukku, aku masih merasa sakit, sehingga tak berani bergerak sembarangan. "Aku tidak benar-benar ingin mencelakai lelaki yang aku cintai seumur hidupku. Maafkan aku Kak Adrian, aku mencintaimu. Terimakasih telah hadir dalam hidupku. Akhirnya obsesiku terpuaskan."
Ia berkata sambil mengusap rambutku. Saat aku melihat ia yang hampir menghilang, ia tiba-tiba memeluk kepalaku lalu mencium bibirku beberapa kali. "Maafkan aku."
Saat kalimat terakhir di ucapkan ia sepenuhnya menghilang. Ilusi api yang membara juga hilang bersamaan dengan hilangnya dirinya. Tampaklah rupa bangunan itu di depan mataku. Ah, pantas saja pak supir itu bertanya dua kali. Ternyata rumah ini telah berubah menjadi tanah kosong. Lalu apakah yang kualami tadi? Apa yang aku naiki? Dan apa yang ku hantam?
Tanganku menyentuh tempatku terbaring. Jika aku tidak salah ini seharusnya adalah tanah lembut yang berasal dari tanah liat yang lembab. Tapi mengapa tubuhku terasa pegal-pegal dan sakit? Ahh rasanya seperti orang yang baru saja menjadi kuli bangunan. Pegal dan lelah, penat dan letih. Segalanya! Aku malas berdiri.
Aku yang masih terbaring menatap langit gelap. Sudah lama sejak terakhir kali aku berbaring di tanah seperti ini. Aku masih berpikir banyak hal. Benarkah Mayang sudah tiada? Mengapa tidak ada yang mengabari ku selama aku berada di luar negeri? Apa yang sebenarnya aku alami? Di permainkan oleh hantu? Benarkah itu hantu?
Saat itu aku merasa ada air yang menetes di atas hidungku. Mengingat bahwa aku ada di tanah kosong yang angker, jangan bilang kalau air itu juga berasal dari hantu.
Tiba-tiba saja hujan deras turun tanpa aba-aba. Tubuhku basah secara keseluruhan seperti tanaman yang di siram di pagi dan sore hari. Aku mencoba bangun sebelum tersiram hujan terlalu lama. "Haciuh!"
Ah, bersin sudah muncul. Aku yakin setidaknya aku akan demam satu Minggu setelah ini. Saat aku menyeret tubuhku dengan perasaan lelah dan berat, Pak supir yang tadi ku minta menunggu pun muncul dengan payung di tangannya.
"Mas, tadi Calon istrinya nelpon, karna berisik jadi saya yang jawab. Saya juga khawatir karna Masnya pergi terlalu lama. Jadi saya jemput." Ujar Pak supir sambil membantuku berjalan.
"Haciuh! Ah, maaf merepotkan bapak."
Pak supir hanya tertawa ringan. "Saya hanya penasaran mengapa Mas belum kembali sejak lama."
"Sepertinya saya di permainkan Hantu Pak." Aku berujar dengan senyum miris.
Bapak itu tak bertanya lagi. Ia hanya membantuku berjalan ke mobil. Lalu mengantarku ke tujuan. Katanya tadi saat Maya menelpon sekalian ia menunjukkan alamat rumah ke Pak supir. Jadi aku tak perlu lagi memandu jalan, lagi pula aku juga merasa lelah dan tidak enak badan. Pak supir memerintahkan agar aku istirahat.