"Keadilan harus ditegakkan! Kalahkan musuh dan jadilah pemenangnya!"
🌿🌻🌻🌻🌱
Sebuah kastil tua berdiri kokoh di tengah hutan. Dari luar, kastil tersebut memang tak berpenghuni. Namun sebenarnya, ada seorang penyihir bersama satu anak perempuannya.
Anak perempuan tersebut adalah aku, Jehan.
Aku tinggal bersama ibuku di sini, di kastil peninggalan nenek dan kakekku. Namun, tolong jangan bertanya mengapa saat ini aku hanya tinggal bersama ibuku, karena pertanyaan tersebut sungguh menyakiti perasaanku.
"Han, persediaan bahan makanan mulai menipis. Ibu akan pergi ke luar hari ini, tolong jaga kastil ini ya?" tutur Ibu sembari memakai jubah lusuhnya.
"Iya, Bu. Apakah hari ini Ibu akan pergi ke pasar, atau mencari di hutan?" tanyaku.
"Sepertinya Ibu akan ke pasar. Kamu mau titip apa?" balas Ibu.
"Apel merah terenak di pasar itu, Bu. Nanti aku akan membuatkan permen apel yang banyak untuk kita berdua!" seruku yang sungguh senang.
Ibu mengangguk dan segera pergi dari kastil. Biasanya Ibu akan kembali nanti sore, karena jarak kastil dengan pasar membutuhkan waktu selama tiga jam.
🌿🌻🌻🌻🌱
Walaupun kami adalah penyihir, tapi kami tak menggunakannya di sembarang tempat. Jika kami menggunakan sihir sesuka hati kami, maka akibatnya akan seperti apa yang nenek dan kakekku alami. Ya! Mereka dibunuh secara membabi buta oleh sekelompok orang dari kerajaan lain yang sangat iri dengan kesuksesan kerajaan kami.
Di umur 23 tahun ini, aku harus memasang raga dan jiwaku untuk selalu melindungi satu-satunya malaikat tanpa sayapku, yakni Ibu.
Walaupun Ibu telah berumur 50 tahun, kami masih terlihat seperti kakak dan adik saat berdiri sejajar. Dan mungkin, justru aku yang terlihat seperti seorang kakak, hm.
🌿🌻🌻🌻🌱
Ritual yang biasa Ibu lakukan di pagi hari, kini dengan sukarela akan aku lakukan. Aku segera bersiap-siap untuk melakukan ritual di atas kastil ini.
Di atas kastil, aku sejenak terdiam dan memandang pepohonan hijau yang mendamaikan. Setelah puas, aku segera mempersiapkan bahan-bahan untuk ritual.
"Bunga mawar, bunga sedap malam, bunga melati, bunga aster, bung--" ucapku yang menyebutkan satu persatu bunga yang tumbuh di masing-masing pot.
Bunga-bunga tersebut bukanlah untuk kami mandi atau kami makan, haha! Bunga-bunga tersebut memang kami tanam dan ditumbuhkan pada pot-pot yang kami susun rapi di atas kastil ini.
Aromanya sungguh semerbak, inilah yang membuat kerajaan kami sangat disenangi oleh kaum hawa. Namun kaum adam justru lebih senang lagi saat para istrinya maupun rumah mereka masing-masing memiliki aroma bunga yang sangat lembut seperti di kastil ini.
Selesai mengecek bunga-bunga dalam semua pot, aku memulai ritual dengan duduk bersila di tengah pot-pot yang mengitariku.
Aku memejamkan mata, lalu membaca mantra, dan di akhiri dengan pikiranku yang fokus menerawang dengan bantuan para bunga.
Tolong jangan terkejut, hehe.
Maksudku, coba lihatlah ke arah bunga yang berwarna putih dengan sembilan kelopak itu, dan lihat juga ke arah bunga yang berwarna kuning dengan tujuh kelopak itu! Kedua bunga itu adalah kakek dan nenekku. Mereka dikutuk menjadi bunga.
Tolong jangan tertawa, karena ini bukanlah lelucon. Aku justru menangis jika mengingat hal ini lagi. Tapi, aku harus menceritakannya!
🌿🌻🌻🌻🌱
Sepuluh tahun yang lalu,
Kerajaan ini sedang dalam puncak kejayaannya. Kakek dan nenek adalah raja dan ratu di kerajaan yang mereka beri nama 'Dendro Mandraguna' dengan harapan bahwa kerajaan ini dapat menyayangi tanaman yang hidup di sekitar kita.
Bahkan rumput pun, sangat kakek dan nenek manjakan bak cucu ereka sendiri! Sedangkan aku sebagai cucu mereka yang asli, justru disuruh untuk melangkahkan kaki dengan hati-hati. Kata nenek, "Hati-hati. Jangan menginjaknya, atau nanti rumput itu akan menangis."
"Oh, tolonglah Nek. Aku hanya sedang melangkah, bukan sembarangan membuang sampah," balasku.
Itulah mereka, ditambah ibu, ayah dan aku. Saat itu, umurku masih 13 tahun. Umur dimana aku masih bermain dan belajar bersama teman-temanku. Tak pernah terbayang dalam benakku, bahwa di waktu itu juga aku harus memaksakan diri untuk paham tentang masalah yang terjadi di kerajaan kami.
Raja dan Ratu dari kerajaan lain berkunjung ke kerajaan kami. Mereka sangat ramah kepada kami. Selama beberapa hari, mereka sudah akrab dengan kami, bahkan aku sangat akrab dengan Putri Tiara dan sepupunya, Alroy.
Setelah mereka pergi, barulah muncul masalah di antara kakek, nenek, ayah, dan ibu. Aku diam-diam memohon kepada pelayanku untuk membantuku menguping pembicaraan mereka dari atas. Kebetulan posisi kamarku berada tepat di atas aula, sehingga aku menyuruh pelayanku untuk membuka pintu sedikiiitt saja, hehe.
Namun apa yang aku dapatkan? Aku justru mendengar pinta ayah yang sangat kurang ajar!
"Aku ingin menikah dengan putri Tiara! Kemudian aku akan menjadi Raja dari dua kerajaan, haha!" ucap ayah dengan lantang.
"Apa? Kamu ingin menikah dengannya? Coba lihat dirimu! Kamu yang sudah kepala empat ini ingin menikahi putri yang umurnya belum 17 tahun?! Dasar tidak waras!!" bentak Ibu.
Menurutku, ayah adalah sosok pria yang lembut di balik ketegasannya. Namun saat beliau mengatakan hal tersebut, seketika ada ombak yang menghantam dadaku. Sangat sakit, karena mungkin setelah ini ayah akan pergi dari kerajaan ini.
Beberapa tahun kemudian, utusan dari kerajaan Putri Tiara berkunjung ke kerajaan kami. Saat itu, aku iseng saja dengan duduk di kursi kakek yang jabatannya sebagai Raja Dendro Mandraguna. Utusan tersebut langsung menghadap kepadaku dan memberi hormat dengan membungkukkan kepalanya.
"Tuan putri, ini ada surat dari Raja Mez untuk Raja Dro," ucap salah satu utusan tersebut.
Raja Dro adalah kakekku. Sedangkan Raja Mez adalah ayahku. Sepertinya saat ini mereka saling bermusuhan.
Setelah surat itu, barulah kerajaan Dendro Mandraguna runtuh oleh Raja Mez. Iya, oleh ayahku sendiri.
Semua rakyat di kerajaan ini dipaksa untuk pindah ke kerajaan ayahku, Kerajaan Florabid. Jika tidak mau pindah, mereka akan mengutuk rakyat di kerajaanku menjadi bunga.
Jadi, sudah mengerti 'kan?
Aku tidak menangis mengingat kejadian runtuhnya kerajaan ini, karena aku sudah lelah untuk mengeluarkan air mata. Aku juga tidak ingin ibuku ikut menangis, sehingga aku terus tersenyum jika berdiri di hadapannya.
🌿🌻🌻🌻🌱
Ritual masih berlangsung,
Ritual ini sebagai alat komunikasi diriku maupun ibuku untuk bertanya apakah di sekitar kastil ini ada sesuatu yang mengancam jiwa kami. Bunga-bunga ini seperti pelacak atau pengintai, yang membantu kami saat telah berhenti menggunakan sihir kami.
Selain itu, para bunga ini juga memberitahuku bahwa ada salah satu pohon yang batangnya patah. Mereka memperlihatkan posisi pohon tersebut ke dalam pikiranku yang saat ini kedua netraku masih terpejam.
Lalu muncul suara yang tidak asing bagiku, "Jehan, ada bunga aurum tumbuh di dekat sungai. Tolong jaga dirinya, tapi jangan kamu petik, biarkan saja ia tumbuh disana."
"Kalau aku petik, nanti dia nangis ya?" tanyaku dengan sedikit lelucon.
Ya! suara tersebut berasal dari bunga kuning berkelopak tujuh, yaitu nenekku tersayang. Lalu terdengar kekehan kakek yang sukses membuatku meneteskan air mata.
"Haduh, Jehan. Dia hanya satu dan hidupnya tersembunyi, bukan rumput yang hidup di sembarang tempat dan mudah kamu injak, haha!" sambung kakek.
"Iya Kek, Nek. Setelah ini, aku akan pergi ke dekat sungai itu."
"Tapi, hati-hati ya!" pinta salah satu bunga berwarna ungu dengan dua kelopak. Sepertinya dia adalah temanku, tapi aku lupa namanya, hihi.
Aku segera mengakhiri sesi ritual, lalu meninggalkan para bunga. Namun langkah ku terhenti sejenak. Dari dekat pintu aku berpijak, terlihat bunga ungu yang bergerak-gerak.
Aku menghampiri bunga tersebut, "Hei, ada apa?" sayangnya, ibu tidak memperbolehkan aku menggunakan sihir yang bisa membuat para bunga langsung berbicara denganku, bukan dengan sesi ritual.
Baiklah! Saatnya sang pahlawan pergi ke hutan untuk menjalankan misi!
Pahlawan itu adalah aku, haha!
🌿🌻🌻🌻🌱
Di hutan,
Aku telah berhasil memindahkan batang pohon yang patah dengan menancapkan batang tersebut ke dalam tanah. Lalu aku melanggar sedikit perintah ibu dengan memakai sihirku untuk menumbuhkan daun di pohon tersebut.
Kemudian, aku pergi ke sungai untuk mencari bunga aurum yang dikatakan oleh nenek. Aku mencari-cari bunga tersebut, namun hasilnya nihil.
"Ayo Jehan! Berpikir! Berpikir!" gumamku sembari menendang-nendang tanah.
"Oh! Itu dia!" pekikku ke arah bunga yang tepat tumbuh di pinggir sungai.
Namun saat aku mendekati bunga tersebut, suara pria menggema di sekitarku. Aku merinding takut, tapi sudah menjadi tugasku untuk menjaga bunga tersebut supaya tidak ada yang memetiknya.
"Hei! Kamu mau apa dengan bunga itu?" tanya pria tersebut.
Aku semakin merinding saat membalikkan tubuhku dan langsung bertatapan dengan pria kekar yang berdiri tegak.
"A--aku akan menjaga bunga ini, supaya tidak ada yang memetiknya!" ucapku dengan tegas supaya rasa takutku tidak dapat terlihat oleh pria tersebut.
"Oh ya? Apakah kamu serius tidak ingin memetiknya? Lihat bunga itu, dia sangat cantik. Secantik dirimu," ucapnya dengan suara berat dan semakin mendekatiku.
Aku berjalan mundur, tapi pria tersebut menahan lenganku dan memberi pelototan matanya ke arahku.
Tolong aku!!! pekikku dalam hati.
"Kamu itu wanita yang bodoh sekali ya. Coba lihat di belakangmu! Sungai ini cukup dalam, sekitar puluhan meter. Oh, atau kalau kamu bisa berenang, silakan saja berendam di sungai ini," tuturnya yang membuatku geram.
"Sebenarnya kamu siapa? Apa urusanmu datang kemari? Ini daerah kekuasaanku!" tanyaku dengan lebih keras.
"Oh ya? Bahkan kamu tidak terlihat seperti seorang putri kerajaan dengan perhiasan di seluruh badan. Tapi, kamu tetap terlihat cantik jika kamu adalah seorang pelayan."
Deg!
Nenek, Kakek, bolehkah saat ini aku menghabisinya dengan sihir sulur membelit?! batinku.
"Jaga omonganmu! Aku sedang tidak bercanda!"
"Aku juga tidak sedang bercanda. Baik, izinkan aku memperkenalkan diriku. Namaku Alroy, dari kerajaan Florabid. Aku diperintah untuk mencari bunga bersinar itu, tapi sebenarnya aku sangat malas untuk mematuhi perintah Raja kejam itu!" jelasnya.
Aku menutup mulutku yang langsung menganga dengan tangan kananku, karena tidak percaya bahwa diriku bisa bertemu Alroy kembali. "Se--serius? Kamu adalah Alroy?" tanyaku.
Alroy mengangguk dan tersenyum. Di mataku, dia terlihat sangat berbeda dari pertama kali kita bertemu. "Sudahlah, jangan tersenyum. Kamu semakin jelek, Loy. Hahaha!" selorohku.
"Eh? Kamu memanggilku dengan sebutan 'Loy'? Ta--tapi yang memanggilku seperti itu, itu hanya ...." balas Alroy dengan gelagapan.
Tawaku mereda karena aku tidak tega melihatnya dalam kebingungan. "Hei, aku Jehan. Aku putri dari kerajaan Dendro Mandraguna yang telah runtuh itu!" ucapku sembari tersenyum.
"Jehan? Hah! Jey! Oh, ini sebuah kejutan untukku. Jadi kamu masih hid--" pekiknya yang sangat bahagia hingga aku harus menghentikannya. "Shh. Diam Loy!"
Sepuluh tahun yang lalu, aku tidak mendengar cukup jelas saat dia menyebutkan namanya dan sebaliknya. Alhasil aku memanggilnya dengan 'Aloy' dan Alroy memanggilku dengan 'Jeyan'. Namun kami tidak mempermasalahkan hal tersebut, karena panggilan tersebut membuat kami cepat akrab.
🌿🌻🌻🌻🌱
Setelah Alroy tenang, aku mengajaknya untuk duduk berdampingan, menghadap ke bunga aurum yang berada di pinggir sungai. Aku mulai menanyakan keadaan di kerajaan Florabid. Ternyata sifat Alroy tidak berubah kepadaku, ia tetap menyebutku sebagai sahabatnya. Namun entah mengapa, ia mulai menyukai aktivitas memainkan rambut panjangku.
"Di sana bukan lagi kerajaan penuh bunga warna-warni, Jey. Sejak ayahmu, Raja Mez menduduki tahta, beliau mengubah bunga-bunga menjadi semak berduri. Selain itu, kakak sepupuku yaitu si Tiara, dia tidak terlihat seperti ratu, Jey. Dia justru terlihat seperti ibu yang sudah lima puluh tahun!" tutur Alroy sembari mengelus rambutku.
Aku membiarkan tingkahnya tersebut, yang penting dia mau menjawab pertanyaanku tentang kondisi kerajaan Florabid.
"Terus, Loy. Apakah kamu sudah menjadi paman untuk anak-anak kakak sepupumu itu? Hihi," sindirku.
"Hm, iya Jey. Tapi mereka semua dimasukkan ke sekolah militer sejak umur tujuh tahun. Eh, itu berlaku untuk keponakan laki-lakiku sih. Kalau yang perempuan, mereka dimasukkan ke sekolah seni," jawabnya.
"Apakah tidak ada sekolah sihir di sana?" tanyaku yang semakin penasaran.
"Nah, itu Jey. Ternyata ayahmu sangat egois ya? Beliau membuka sekolah sihir hanya untuk kaum adam yang bergabung dalam pasukan kerajaan. Sedangkan kaum hawa tidak diperbolehkan untuk memiliki sihir. Oleh karena itu, Tiara benar-benar lemah tanpa sihirnya."
Aku menunduk dan merasa sedih bak bunga layu. Tiba-tiba Alroy memegang dan mengangkat daguku. Aku langsung menoleh ke arahnya, "Apa?"
"Kalau kamu, Jey. Bagaimana kamu bisa lolos dari perang sepuluh tahun yang lalu?" tanya Alroy yang juga penasaran tentang diriku.
"Ibuku yang menyelamatkan aku dari perang itu, Loy. Beliau mengajakku bersembunyi di ruang bawah tanah. Tapi, aku agak lupa pintunya di mana karena suasana perang saat itu sangatlah menakutkan!" jawabku.
"Jey, kita harus menyembunyikan bunga berkilau ini. Aku tidak mau kembali lagi ke kerajaan berduri itu! Aku ingin bersamamu, Jey," ucapnya seakan merayuku.
Namun aku tidak memikirkan itu semua, yang menjadi titik fokusku adalah tentang bunga aurum ini. "Tapi kata nenekku, bunga ini tidak boleh dipetik, Loy! Kita hanya perlu menjaganya, bukan memetiknya," protesku.
"Jey, percaya padaku, Jey. Oke, begini saja. Kamu coba pakai sihirmu untuk mencari pintu ruangan bawah tanah, dan aku akan memindahkan bunga ini ke dalam pot," tuturnya.
"Apakah ini bisa berhasil? Loy, kamu tahu dari mana kalau bunga ini harus disembunyikan?" cecarku yang masih linglung.
"Nanti aku akan menjawab semua pertanyaanmu, Jey. Tolong, sekarang fokuslah mencari pintu itu!" balasnya dengan panik.
Aku mulai menempelkan telapak tanganku ke tanah, lalu memejamkan kedua netraku. Saat mulutku komat-kamit, tiba-tiba sosok wanita bergaun ungu dan terlihat seumuran denganku muncul dalam pikiranku.
Wanita tersebut mengucapkan, "Jehan! Ish! Tadi aku memanggilmu saat ritual, tapi kamu malah mengabaikanku!"
Aku tidak bisa menahan tawaku. Di saat genting ini, masih ada saja yang membuatku tertawa. "Iya! Maaf ya, haha!"
"Han, tolong percayalah kepada sahabatmu itu. Dia melakukan hal benar dengan memindahkan bunga aurum ke dalam pot. Lalu sembunyikan bunga tersebut di ruang bawah tanah, Han! Karena ibumu tidak akan terima jika kastilnya menyimpan bunga aurum," jelasnya.
"Mengapa ibu tidak mau ada bunga aurum di kastil? Menga--" tanyaku yang diputus oleh pekikan wanita ungu tersebut.
"Cepatlah, Han. Pintu ruang bawah tanah ada di bawah pohon yang batangnya tadi telah kamu perbaiki. Gunakan mantra pemisah benda, lalu minta tolong temanmu yang perkasa itu untuk membuka pintunya. Semoga berhasil!" jelasnya dan akhirnya dia menghilang dari pikiranku.
Aku membuka mata, dan melihat bunga aurum telah dipindah ke dalam pot. Dan juga, senyuman Alroy yang manis tersebut diarahkan kepadaku. Sejak kapan dirinya menjadi setampan ini? batinku.
"Jey, halo? Apakah kamu sudah menemukan pintunya?" tanyanya.
"I--iya! Ayo, Loy!" ajakku.
🌿🌻🌻🌻🌱
Aku berlari menyusuri pepohonan, sedangkan Alroy menunggang kudanya sembari membawa pot bunga aurum.
Setelah berhasil membuka pintu, aku dan dirinya segera masuk, serta menutup rapat pintu tersebut. Kami berdua mengatur nafas setelah berjuang membuka pintu batu yang sangat berat.
"Kamu sangat kuat, Loy! Tadi kamu benar-benar tidak menggunakan sihirmu?" pertanyaanku mendapat gelengan kepalanya.
"Huf, itu sudah biasa aku lakukan di sekolah militer, Jey. Sekarang, kita sembunyikan bunga berkilau di sini."
"Di sini aku bisa menggunakan sihirku dengan bebas, karena ibuku telah melindungi tempat ini dari pengaruh sihir yang ingin masuk ke tempat ini. Jadi, tenang saja Loy!"
Alroy mengangguk, lalu ia menatap ruangan kecil tersebut. Di sana terdapat meja, sofa, kasur, kamar mandi, dapur, dan sebuah lemari. Aku mengajak Alroy untuk duduk di atas sofa.
"Terasa seperti rumah di desa ya. Aku merasa sedang berada di rumah orang tuaku," ucap Alroy yang masih asyik mengedarkan pandangannya.
"Loy. Tolong ceritakan semuanya kepadaku. Kamu lebih tahu tentang bunga aurum itu. Tolong ya?" bujukku dengan wajah memelas.
"Bunga berkilau itu biasanya dikonsumsi oleh orang-orang di kerajaan Florabid. Tumbuhnya bunga itu tidak menentu, berpindah-pindah. Tapi waktu tumbuhnya selalu setiap sepuluh tahun sekali," kata Alroy.
"Loy, mengapa mereka bahkan kamu memakan bunga langka ini?"
"Karena ini berkaitan dengan kecantikan yang abadi, bahkan kekuatan sihir yang semakin kuat. Menurut cerita Ibuku, orang tua Tiara memang selalu mengonsumsi bunga ini. Dan saat Raja, Ratu, Tiara dan aku berkunjung ke kerajaanmu, sebenarnya mereka sedang membagikan sari bunga ini kepada kakek, nenek, dan warga kerajaanmu, Jey. Tapi itu tidak berlaku untuk orang tuaku yang memilih tinggal di desa, dan hidup sederhana menggunakan sihir sesuka hati mereka," lanjutnya.
Tanpa terasa, jam pasir mulai kehabisan pasir di bagian atas. Artinya saat ini telah menjelang petang. Aku mengajak Alroy untuk keluar dari tempat ini, menuju kastil.
"Kamu benar, Jey. Kalau mulai malam, sihir sulur berduri milik ayahmu akan aktif mencari bunga itu!" bisik Alroy.
"Oh ya? Syukurlah bunga itu sudah di dalam tempat itu. Jika kita menyimpannya di kastil, bisa-bisa kastilku runtuh oleh sulur Raja gelap itu!"
"Kamu jangan pernah membayangkan dirimu akan pergi ke sana, Jey. Suasana di kerajaan Florabid sedang pengap dan mencekam!" keluh Alroy dengan mengingatkanku.
Aku hanya tersenyum dan mengajaknya untuk pergi ke kastil, dengan mengendarai kuda!
🌿🌻🌻🌻🌱
Di kastil,
Ibu menyambutku dan Alroy dengan wajah kesal. Bahkan kedua tangan beliau memegang pinggang. "Kamu dari mana saja? Apakah para bunga itu memberimu tugas yang sangat sulit?" cecar beliau.
"Iya, Bu. Aku disuruh untuk menjaga bunga aurum." Ucapanku mendapatkan balasan berupa wajah sendu dari ibu.
"Ratu Gunna, saya yang membantunya untuk menjaga bunga berkilau itu. Sebagai gantinya, bolehkah saya tinggal di kastil ini?" tuturnya sembari menundukkan pandangannya.
Aku melihat tingkahnya yang sopan di balik perasaan khawatirnya, karena peluh telah membasahi keningnya. Jantungnya pasti mau lepas ya? Haha! batinku terbahak-bahak.
"Kamu siapa?" tanya ibuku kepada Alroy.
Kali ini, aku membantunya. "Dia Alroy, Bu. Dia dari kerajaan Florabid," jawabku.
"Florabid? Hah, saya tidak akan membiarkanmu menghancurkan kastil ini!" bentak ibu.
Kami berdua terkejut dengan reaksi ibu yang membentak kepada kami. Aku langsung menjelaskan semuanya kepada ibu, hingga aku mengatakan 'Ruang Bawah Tanah' dan ibu seketika menjadi bungkam.
"Bunga itu, kamu meletakkannya di bawah tanah?" tanya ibuku, dan aku segera menganggukkan kepalaku.
"Ya sudah, ayo masuk. Malam akan segera datang," titah Ibu.
Aku menggandeng tangan Alroy supaya mengikutiku masuk ke kastil. Mataku mencuri pandang ke arahnya yang sedang fokus mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kastil ini.
"Posisi barang-barangnya tidak ada yang berubah, hanya warnanya yang mulai luntur. Di sini, hanya ada kalian berdua? Atau mungkin ada pelayan kalian yang masih bertahan di sini?" ucap Alroy yang sungguh penasaran.
"Di sini hanya ada aku dan ibuku. Sedangkan yang lainnya telah dikutuk menjadi bunga, dan sekarang mereka di atas kastil. Kalau di sana, apakah ada yang juga dikutuk menjadi bunga?"
Alroy tidak menjawab pertanyaanku, dan memilih menundukkan kepalanya. Ah, aku merasa bersalah karena telah bertanya tentang kerajaannya sendiri yang justru dibencinya.
"Bu, hari ini ibu masak apa?" tanyaku yang memecah kesunyian di antara kami bertiga.
"Ibu tadi sudah memasak sup wortel dengan jamur. Minumannya ada jus apel," jawab beliau dengan ekspresi datar.
"Oke, Bu. Ayo makan!" ajakku dengan tersenyum lebar, walaupun masih agak canggung
"Ibu sudah makan. Kalian saja yang makan. Hari ini ibu merasa lelah, ibu ingin cepat istirahat. Selamat malam, Han, Roy," jelas ibu dengan menundukkan kepalanya sedetik, karena beliau segera melangkah menuju kamarnya.
Sepertinya ibu merasa tidak nyaman dengan kehadiran Alroy, pikirku. Aku segera menggandeng tangan Alroy kembali, lalu mengajaknya menuju meja makan.
🌿🌻🌻🌻🌱
Setelah makan, aku mengajaknya ke kamar. Alroy kembali mengedarkan pandangannya ke pintu-pintu kamar yang tertutup. Mungkin dia juga sedang menghitung berapa banyak kamar di kastil ini, haha!
Kriett!
Salah satu pintu kamar telah aku buka. Lalu aku mempersilakan dirinya untuk masuk ke kamar tersebut. Aku juga meminta maaf kepadanya karena kamar yang akan dirinya tempati, tidak sempat aku bersihkan.
"Jey, aku tidak ingin tidur malam ini. Rasanya hatiku sedang tidak tenang. Mungkin esok hari, aku telah dicap sebagai buronan kerajaan karena melarikan diri bersama bunga itu," lirihnya dengan sendu.
"Oh gitu. Ya sudah, kamu tidur di sofa kamarku saja, Loy. Ayo!" balasku.
🌿🌻🌻🌻🌱
Kali ini, aku membuka pintu kamarku dan memasukinya bersama Alroy. Terlihat dari kedua netraku, Alroy melebarkan mata dan senyumnya karena takjub dengan lilin-lilin yang menerangi kamarku.
Lalu aku mengajaknya untuk menikmati angin malam di atas balkon. Alroy dan aku sangat asyik membahas kerajaanku, sikap ibuku, kesukaan kami masing-masing, hingga sampai hal yang membuatku menjadi bingung.
"Iya, Jey. Sejak ayahmu menduduki tahta di kerajaan Florabid, para pria diwajibkan bergabung menjadi pasukan kerajaan. Dan mereka baru boleh menikah di atas 45 tahun! Oh, itu sangat menyiksa," tutur Alroy.
"Mungkin alasannya adalah supaya para pria bisa lebih fokus untuk melindungi kerajaan Florabid. Tapi Loy, sebenarnya aku tidak suka jika kamu terus memanggil Raja Mez sebagai ayahku," balasku sembari mengeluhkan ketidaksukaanku.
Alroy menunduk dan mengucapkan, "Maaf," dengan lirih. Aku tersenyum untuknya, "Tak apa, Loy."
Keheningan, angin lembut, dan cahaya remang-remang, ditambah dengan semakin seriusnya obrolan kami. Alroy mulai bertanya, "Apakah kamu pernah berpikir untuk jatuh cinta, Jey?"
Aku terdiam sembari melebarkan mataku ke arah gelapnya pepohonan. "Aku pernah jatuh cinta. Cintaku untuk keluargaku, teman-temanku, dan rakyat di kerajaan ini. Walaupun saat ini mereka telah dikutuk menjadi bunga, aku tetap mencintai mereka--" tuturku yang dipotong oleh Alroy.
"Bu--bukan cinta yang seperti itu, Jey. Tapi cinta yang seperti kakek dan nenek, ayah dan ibu, sepasang suami dan istri," protesnya.
"Aku tidak ingin memikirkan itu, Loy. Melihat ibuku yang dikhianati oleh ayah, membuatku tidak ingin berurusan dengan orang lain. Kami berdua sudah cukup bahagia di sini, dengan para bunga di atas kastil. Oh! Besok, aku akan mengajakmu ke atas untuk melihat para bunga itu!" balasku, dengan mengubah topik pembicaraan.
"Jangan seperti itu, Jey. Suatu saat, kamu akan merasakan kesepian. Dan ...." tuturnya yang terpotong.
"Dan?" tanya ku yang merasa heran dengan ucapannya.
"Dan belum tentu ibumu bisa terus di sisimu, Jey," bisik Alroy.
"Loy!!" pekikku.
Aku memukulnya, dan mataku terasa panas. Setega itukah dirinya? Bisa-bisanya berdoa supaya ibuku meninggalkan aku?
"Ma--maaf Jey. Aku hanya menyampaikan nasihat ibu untukku. Ibu mengatakan bahwa beliau sangat bersyukur dengan kehadiran ayah di dunia ini, karena mereka saling mendukung satu sama lain. Di saat ibu telah ditinggal oleh orang tuanya, ayah hadir untuk menemani ibu. Hingga lahirlah aku!" tuturnya dengan tersenyum
"Saat kami di desa, ibuku pernah bercerita bahwa seharusnya yang menduduki tahta di kerajaan Florabid adalah ayahku. Namun, adik dari ayahku justru menikah mendahului ayahku. Alhasil, adik ayahku yang merupakan ayah Tiara mendapatkan tahta menjadi Raja, sebelum Raja Mez," lanjutnya.
"Lalu, apakah ayahmu tidak ingin merebut tahta dari ayah Tiara?" tanyaku.
"Tidak, Jey. Orang tuaku adalah orang yang sederhana. Mereka tidak mau merebut tahta tersebut, selama kerajaan masih baik-baik saja. Kata ayahku, 'Aku dan keluarga kecilku ini akan mendukung di desa. Biarkan adikku yang menjadi Raja dan mengatur urusan di kerajaan.' Ayahku sangat percaya kepada ayah Tiara. Namun saat ini, Raja Mez telah memenjarakan orang tua Tiara dan menduduki tahta," jawabnya dengan akurat.
Tanpa sadar, aku meneteskan air mataku. Aku ingin sekali membunuh Raja Mez dan menyelamatkan kerajaan Florabid. Aku tidak mau sampai kerajaan tersebut mengalami hal yang sama seperti kerajaanku!
"Sifat sederhana mereka, menurun kepadamu, Loy." Aku menyeka air mata Alroy menggunakan tangan kananku.
"Jey, mungkin esok hari aku akan melihat bunga-bunga indah di atas sana. Tapi saat ini, aku sedang melihat salah satu bunga yang sangat indah. Tak maukah jika kamu mengalahkan keindahan mereka, dengan menjadi milikku?" tanyanya dengan rayuan.
Aku terdiam, dan menatap pepohonan yang gelap gulita. Lalu aku membalas, "Loy, apakah saat ini kamu sedang menggunakan sihir pemikat hati? Mengapa ucapanmu tadi, membuatku mulai melihatmu sebagai seorang pria?"
"Oh ya? Kamu dan ibumu tidak menggunakan sihir di sini, sehingga aku langsung menganggap bahwa itulah aturan jika ingin tinggal di kastil ini. Sungguh, aku tidak menggunakannya," jawab Alroy.
Tiba-tiba kedua tangan Alroy melingkar di pinggangku. Wajahnya semakin mendekat ke arah wajahku. Walaupun wajah rupawannya tidak terlihat jelas dari kedua netraku, namun nafasnya sangat terdengar dan mampu menghipnotisku.
"Loy, jangan di sini. Ayo masuk," bisikku.
"I--iya. Ayo, Jey."
Kami segera pergi dari balkon. Lalu di dalam kamar, aku menyuruh Alroy untuk membantuku mematikan seluruh lilin di kamarku.
Padahal biasanya aku selalu membiarkan seluruh lilin tetap hidup, supaya kamarku
tidak gelap gulita. Namun saat ini, aku harus mematikan semua lilin karena telah ada seorang pria yang sedang menjagaku.
Tapi, mengapa aku langsung memercayainya, setelah tidak bertemu selama sepuluh tahun? Dan mengapa para bunga tidak memberi isyarat bahaya kepadaku saat ini?
Saat aku akan meniup lilin di samping kiri ranjangku, tiba-tiba Alroy mencegahku.
"Mengapa aku tidak boleh mematikan lilin yang ini?" tanyaku yang heran.
"Karena lilin tersebut akan menjadi saksi bahwa kita telah bersama, Jey."
Jawaban Alroy masih membuatku bingung. Ditambah lagi secara mendadak, Alroy menggendong tubuhku. "Loy!! Turunkan aku!" pekikku tanpa mengingat bahwa saat ini diriku di dalam kastil, bersama ibu yang terlelap.
"Shh. Iya Jey. Akan aku turunkan dirimu dengan perlahan," bisiknya.
Malam ini, satu lilin menemani dua insan yang sedang menikmati nyamannya berbagi cerita.
Aku maupun dirinya tidak menggunakan sihir di saat memadu cinta seperti ini. Mungkin ramuan cinta atau pemikat hati hanyalah untuk orang-orang yang tidak mengerti arti ketulusan dalam mencintai. Sehingga mereka memaksa orang yang tidak mencintai mereka, untuk tergila-gila kepada diri mereka.
Ah, benar sekali apa yang dikatakan oleh ibunya Alroy. Saat ini Alroy menemaniku dan mengubah kehangatan cahaya lilin menjadi kehangatan cintanya untukku.
🌿🌻🌻🌻🌱
Esok harinya,
Aku membuka mataku perlahan dan melihat wajah Alroy tepat di depanku. Awalnya aku agak terkejut, tapi kemudian tanganku mulai menepuk-tepuk pipinya yang dipenuhi cambang tipis.
"Loy, bangun. Loy, cahaya lilinnya sudah berganti dengan cahaya timur," bisik ku dengan menahan tawaku.
Alroy mengerjap-kerjapkan kedua netranya. Lalu dia ikut tersenyum saat melihatku yang tersenyum. Alroy kembali mendekap ku cukup erat dari balik selimut.
"Ayo bangun, pemalas! Dahulu kamu yang paling malas di antara kita bertiga. Dan Tiara ... dia yang paling rajin bangun menyambut mentari di ufuk timur," ucapku dengan agak terbata.
Tok tok!
Alroy segera melepas dekapannya dan duduk tegak saat mendengar suara ketukan pintu kamarku. Wajahnya sangat cemas, aku pun juga sama.
"Han. Han. Bangun Han. Ibu sudah membuat sarapan di bawah," panggil ibu.
"Iya Bu!" balasku.
"Oh ya! Apakah Alroy ada di dalam kamarmu?" tanya ibu.
"Iya Bu. Alroy masih tidur. Aku akan membangunkannya sekarang, Bu!" jawabku.
Untunglah ibu segera pergi menjauh dari pintu kamarku. Kami segera bersiap untuk keluar dari kamar.
"Aduh!" keluhku.
"Eh, ada apa Jey?"
Aku merasa sakit di bagian perut hingga di antara kedua kakiku, membuatku tidak bisa berdiri dengan tegak. Alroy melihatku dengan rasa khawatir, lalu dirinya menempelkan telapak tangannya ke perutku.
"A--apa ini, Loy?"
"Aku punya sihir meracik tanaman obat. Ayahku yang mengajari sihir ini. Gara-gara kelakuanku tadi malam, kamu jadi terluka seperti ini. Maaf ya," tuturnya yang diakhir dengan ucapan minta maaf sembari menunjukkan wajah imutnya.
"Dasar singa, aku tidak menyangka ternyata kamu sangat buas. Tapi sekarang, malah terlihat seperti anak kucing. Huh!" balasku yang berpura-pura marah.
🌿🌻🌻🌻🌱
Setelah sarapan pagi, ibu mengajak aku dan Alroy menuju atas kastil. Selama perjalanan, Alroy menggenggam tanganku yang hangat. Namun mengapa tangannya sangat dingin?
"Loy, ada apa?" bisik ku.
"Aku masih cemas hingga saat ini, Jey. Ternyata tadi malam masih belum mampu membuatku tenang," jawabnya dengan wajah sendu.
Aku hanya mengangguk dan memperkuat genggaman tanganku. Giliran ku untuk menggunakan sihir aromatherapy. Sembari melangkah, aku berkomat-kamit untuk mengeluarkan sedikit bau wewangian dari tubuhku.
"Bau harum dari mana ini? Apa para bunga itu memang mengeluarkan bau harum ini?"
Pertanyaannya membuatku ingin sekali tertawa. Dia masih tidak sadar bahwa diriku yang mengeluarkan aroma wangi tersebut. "Iya, jadi kamu tidak perlu khawatir dengan bau badanmu, Loy. Dasar bau!" selorohku.
Alroy menunjukkan bibir manyunnya kepadaku. Sepertinya dia agak kesal dengan olokan ku. "Aku memang terlahir sebagai penyembuh. Walau dari kerajaan penuh bunga warna-warni, aku malah diajarkan sihir tanaman obat. Kurkuma (kunyit), zingiber (jahe), alpinia (laos), aloe vera (lidah buaya), dan lainnya."
"Tapi ... bau harum ini cukup menenangkan ku," lirihnya. Aku hanya diam dan tersenyum saat mantra penenang ku berhasil membantunya.
🌿🌻🌻🌻🌱
Di atas kastil,
Entah mengapa, tapi ibu justru menyuruhku untuk melakukan ritual. Aku menatap beliau dengan menaikkan alis sebelah kiriku. "Mengapa sekarang aku yang melakukan ritualnya, Bu?"
"Ibu ingin kamu yang bertanya kepada para bunga tentang bunga aurum, Han," titah ibu tanpa tersenyum.
Glek!
Aku belum pernah mendapatkan perintah dari ibu yang memasang wajah datar. Biasanya ibu menyuruhku dengan senyuman lebar maupun suara menggelegar. Apakah saat ini ibu bersikap datar karena adanya kehadiran Alroy?
Aku tetap bungkam dan segera melaksanakan perintahnya. Kedua kakiku melangkah menuju sentral, yang dikelilingi oleh pot-pot bunga.
🌿🌻🌻🌻🌱
Ritual pun dimulai,
Ibu dan Alroy hanya diam dan berdiri tegak di dekat pintu. Mata mereka fokus kepada diriku yang sedang duduk bersila. Hei, bagaimana aku bisa melihat mereka saat aku memejamkan kedua mataku?
Santai saja, memang inilah gunanya ritual. Aku masih bisa melihat kondisi di sekitarku, bahkan mengobrol dengan para bunga.
"Jehan! Bagaimana kabarmu? Apakah pria itu menyakitimu karena berusaha menjaga bunga aurum?" cecar nenek.
"Tenanglah, Dra. Temannya itu sudah menolong cucu kita ini untuk melindungi bunga aurum dari para musuh. Dan juga, mereka sudah saling terikat," jawab kakek dengan senyum usilnya.
Aku hanya menatap mereka yang berwujud bunga ungu dan kuning, sembari menahan rasa maluku. Malu karena digoda tentang hubunganku dengan Alroy.
Lalu muncullah suara dari bunga berwarna oranye, "Jehan! Mengapa kamu langsung memercayainya untuk membantu dalam menjaga bunga aurum? Dia itu juga berasal dari kerajaan Florabid. Dan bisa saja suatu hari nanti, dia merebut bunga aurum darimu!" protesnya.
Aku merasa sesak saat mendengar perkataan bunga oranye tersebut. Mulutku mencoba bersuara, "A--aku, aku percaya kepadanya. Karena, kare--"
"Kerajaan Florabid selalu mengonsumsi bunga itu sejak kakeknya Tiara dan Alroy berkuasa. Alasan mereka mengonsumsi bunga tersebut adalah, supaya kerajaan Florabid selalu dikuasai oleh keturunan mereka. Mungkin kamu sudah mendengar cerita dari Alroy, bahwa ayahnya yang akan mewarisi tahta di kerajaan Florabid. Tapi nyatanya justru pamannya Alroy yang menjadi Raja. Itu semua karena mengonsumsi bunga tersebut," tutur kakek.
"Ke--kenapa kakek tidak memberitahu hal ini sejak awal?" lirihku, sembari menahan air mataku yang akan segera jatuh.
"Maaf, Han. Kami baru ingat saat Alroy melangkahkan kakinya ke dalam kastil ini. Saat kalian sedang berada di balkon, kami mendengarkan obrolan kalian dengan jelas," jelas nenek.
"Bunga aurum seperti telur yang harus kamu lindungi. Kalau memang kamu merasa ada keanehan dari temanmu itu, silakan gunakan sihir sulur membelitmu. Biarkan dia di dalam kastil ini, dan jangan sampai dia kembali ke kerajaannya!" titah kakek dengan tegas.
"Ta--tapi, sampai kapan aku harus menjaga bunga aurum?" tanyaku yang telah berhasil mengeluarkan air mata dan membasahi kedua pipiku.
"Sampai Raja Mez mati!" jawab kakek.
"Sekarang, tolong buatlah permen apel sebanyak-banyaknya, Han!" ucap bunga ungu.
"Iya, iya! Buatlah permen apel. Lalu berilah permen-permen itu dengan salah satu kelopak bunga aurum berwarna hitam yang telah dihaluskan!" sambung nenek.
"Untuk apa aku membuat itu? Bukankah aku tidak boleh memetiknya?"
"Sebenarnya Alroy sudah menjelaskan sedikit kebenaran tentang bunga itu. Bunga aurum bisa membuat pemakainya memiliki kecantikan abadi dan sihir yang semakin kuat. Sepuluh tahun yang lalu, ayah dan ibu Tiara memang membawakan sari bunga aurum untuk kami. Tapi, mereka telah melakukan kesalahan dengan membuat sari bunga itu!" balas nenek.
"Mereka telah membunuh Raja yang seharusnya menduduki tahta kerajaan Florabid. Ya! Bunga aurum adalah jelmaan dari Raja Aurum. Sedangkan kakek temanmu itu hanyalah seorang pelayan yang sangat kurang ajar!" sambung kakek dengan suara keras.
Aku hanya bisa sesegukan, dan berusaha memahami dengan apa yang baru saja mereka katakan. Tiba-tiba aku teringat sesuatu, "Semuanya, tolong jawab pertanyaanku. Ap--apakah orang tua Alroy saat ini sedang berada di desa?"
"Iya, Han. Aku bisa melihat mereka menggunakan sulurku yang terikat di rumah mereka. Alroy tidak pernah berbohong kepadamu, Han. Hatinya tulus dan dia pasti siap melindungimu," jawab bunga putih.
"Jangan percaya padanya, Han! Alroy pasti masih memiliki ambisi untuk menjadi Raja! Dia adalah pria yang ingin menghancurkan bunga itu, dengan menarik perhatianmu, Han!" bentak bunga oranye.
"Aku mengatakan yang sebenarnya! Satu hal yang perlu kamu ketahui, Han. Dia tidak punya ambisi untuk menjadi Raja. Kalau untuk menjadi raja di hatimu, coba tanyakan sendiri kepadanya ya? Hihi," balas bunga putih.
Perdebatan mereka, membuatku semakin pusing. Hingga diriku merasa pening dan hilang kesadaran.
🌿🌻🌻🌻🌱
Aku membuka mataku, cahaya mulai menusuk bola mata sehingga aku memicingkannya. "Bu. Loy," panggilku dengan lirih.
"Jey. Tenanglah, aku ada disini," ucap Alroy dengan lembut.
Kini mataku terbuka sempurna, dan ku edarkan ke seluruh penjuru kamar ini. "Loy, di mana ibuku?" tanyaku.
"Ibumu melanjutkan ritualnya. Tadi Ratu Gunna mengatakan mungkin tugas dari para bunga cukup sulit untukmu, hingga membuatmu pingsan. Aku sudah mengecek apakah tubuhmu ada yang terluka menggunakan sihir tanaman obat, dan ternyata tidak ada. Kamu cuma terlalu banyak pikiran, Jey," jawabnya.
"Aku mau ke dapur, Loy." Aku memasang muka memelas kepadanya. Alroy tetap teguh menyuruh ku untuk beristirahat, dan dia yang akan mengambilkan sesuatu yang aku inginkan. Namun aku tetap memohon, dan akhirnya Alroy menuntunku menuju dapur.
🌿🌻🌻🌻🌱
Di dapur,
Aku sibuk membuat karamel dan menyuruh Alroy untuk menusuk satu persatu apel dengan ranting kayu. Setelah semua pekerjaan selesai, barulah ibuku muncul dan melihat kami yang kelelahan.
"Jadi kalian sudah membuatnya? Terima kasih. Ibu yang akan mengambil kelopak hitam bunga itu di sana," ucap ibu.
Kami hanya mengangguk dan tersenyum kepada ibu. Namun, ibu kembali bersuara. "Jehan, tolong beristirahatlah. Esok hari, kita harus pergi ke kerajaan Florabid!"
Glek! Apakah harus secepat itu? batinku.
Aku maupun Alroy hanya mengangguk dan melihat ke lantai. Ibu melangkahkan kakinya menjauhi kami hingga akhirnya ke luar dari kastil. Rasa cemas kami tidak mereda, seperti ada ombak yang menghantam tubuh kami.
🌿🌻🌻🌻🌱
Esok hari,
Aku maupun ibuku telah diubah oleh Alroy menjadi tanaman kurkuma (kunyit). Dia meletakkan kami berdua di dalam pot. Selain itu, dia juga membawa sekotak permen apel yang telah diberi sari kelopak bunga aurum yang berwarna hitam, di antara kelopak-kelopak berwarna emas. Alroy segera memacu langkah kudanya dengan kencang.
Untuk sementara ini, aku dan ibuku hanya bisa mendengar dan melihat pergerakan dari orang-orang di sekitar kami, termasuk Alroy. Kami berdua tak bisa mengobrol dengan siapapun.
Aku melihat ke langit dan terlihatlah mentari yang posisinya telah berada di tengah. Itu artinya, hari telah menjelang siang saat kami sampai di kerajaan.
Alroy segera turun dari kudanya, lalu menuntunnya ke kandang milik kerajaan. Selama perjalanan, Alroy terus saja menyapa orang-orang di kerajaan Florabid. Ternyata dia sangat ramah, bahkan ada segerombolan wanita yang menggodanya! Ish!
🌿🌻🌻🌻🌱
Di depan singgasana,
Alroy mulai melancarkan dramanya. Sebelum berangkat ke sini, aku telah melatihnya semalaman untuk beradegan sedih dan memelas di depan Raja Mez. Aku menyuruhnya supaya mengatakan bahwa dirinya tidak berhasil menemukan bunga tersebut.
"Maaf, Paduka. Saya gagal dalam menemukan bunga tersebut. Tapi saya justru bertemu seseorang yang tinggal di tengah hutan, dan dialah yang berhasil menemukan bunga tersebut mendahului saya. Setelah saya menjelaskan tentang diri saya sebagai utusan Raja Florabid kepadanya, dia langsung memberikan ini, Paduka," tutur Alroy dengan lembut.
Raja Mez turun dari singgasananya, lalu menghampiri Alroy yang berdiri tegak. Beliau membuka kotak tersebut, dan terlihatlah beberapa permen apel yang sangat menggiurkan.
Permen apel tersebut berwarna coklat mengkilat, menutupi warna buah apel yang merah darah, dan ada serbuk halus emas yang sangat wangi. Raja Mes tersenyum, "Apakah ini serbuk emas dari bunga itu?"
Alroy mengangguk, karena sebelumnya aku telah menjelaskan kepadanya bahwa serbuk emas itu seakan terlihat seperti milik bunga aurum. Nyatanya, ibu memberi serbuk bunga kuning yang diambil dari atas kastil. Tentunya dengan persetujuan dari bunga kuning tersebut.
Raja mengambil salah satu permen apel tersebut, lalu menggigitnya. Tidak cukup sekali gigit, beliau kembali menggigit, mengunyah dan menelannya. Aku dan ibuku bersiap untuk melihat reaksi Raja Mez saat memakan permen apel tersebut.
Pot yang berisi diriku dan ibu telah Alroy letakkan di barisan pot-pot bunga milik kerajaan yang menghiasi pintu masuk kastil di kerajaan ini. Sehingga kami mendengar jelas percakapan antara Alroy dan Raja Mez.
"Uk, uhuk, uhuk!" suara batuk Raja Mez mulai menggema. Sepertinya sari kelopak hitam tersebut mulai bereaksi.
"Apa, apa yang kamu berikan kepadaku? Hei!!! Apa yang kamu berikan kepadaku?!!" pekik Raja Mez.
Saat ini Raja Mez sedang memegang lehernya, matanya melotot dan berjalan mundur. Tubuhnya terlihat mengejang, bahkan mulai membiru. Aku mendengar ibuku yang terisak, tapi aku tidak bisa memeluknya, karena wujud kami yang masih menjadi kurkuma.
Aku melihat ke arah Alroy, ternyata dia tetap berdiri tegak dan bergeming dengan apa yang terjadi di depannya.
"Akhirnya! Dua abad yang telah aku tunggu telah tiba!" seru seorang pria dari pintu masuk.
"I--itu dia. Ternyata dia masih hidup," bisik ibuku.
"Siapa dia, Bu?" tanyaku. Bahkan mataku melihat Alroy yang membalikkan badannya dan juga melebarkan matanya.
"Dia adalah--" jawab ibu, namun terpotong karena pria tersebut mulai bersuara.
"Aku adalah Raja yang sesungguhnya di kerajaan Florabid! Aku menjelma menjadi bunga aurum yang berkilau karena aku telah dikhianati oleh pelayan setiaku! Aku terus saja mati setiap sepulu tahun sekali karena kalian terus memetikku! Tapi saat ini, aku telah hidup dan mengeluarkan beberapa kelopak hitam untuk menghabisi Raja kalian semua! Hahaha!" jawab Raja Aurum.
Aku sudah mendengar cerita Raja Aurum saat ritual kemarin dari nenek, kakek dan para bunga. Lalu tanpa sepengetahuan kami, Raja Aurum membaca matra dan mengarahkan telapak tangannya ke arah pot kami.
Ternyata, Raja Aurum mengubah aku dan ibuku kembali ke wujud semula. Saat sama-sama telah berdiri tegak, aku memeluk ibuku dan menumpahkan seluruh perasaan ku yang campur aduk.
Aku mendengar Raja Aurum kembali bersuara, "Semua yang ada di sini, kini harus mematuhi perintahku! Sekarang, tolong bawa Mez pergi dari hadapanku! Dan untukmu, Alroy ...," ucapannya tercekat karena beliau melihat diriku dan ibuku yang berdiri tidak jauh darinya.
"Tolong jadilah Raja di kerajaan Dendro Mandraguna, bersama Ratu Gunna. Putri Jehan, tolong jadilah Ratuku, sebagai balasan atas kebaikanmu karena telah menjagaku," lanjut Raja Aurum.
Aku merasa bingung dan tatapanku beralih dari Raja Aurum, menuju ibuku, hingga Alroy. Mereka berdua mengangguk sebagai tanda setuju terhadap keputusan Raja Aurum, tapi aku merasa tidak ingin seperti itu.
"Maaf, Paduka. Tapi saya ingin Paduka memilih ibu saya, supaya menjadi Ratu di kerajaan Florabid ini. Ibu saya sudah menunggu saat-saat ini juga," tolakku dengan sopan.
"Di kerajaan Dendro Mandraguna, masih ada rakyat yang dikutuk menjadi bunga, Paduka. Bahkan dari cerita Ratu Gunna dan Jehan, Raja Dro dan Ratu Dra masih hidup dalam wujud bunga. Maaf, Paduka. Saya ingin Raja Dro tetap bertahta di kerajan Dendro Mandraguna," tolak Alroy dengan sopan.
Loy, kamu juga menolaknya? pikirku sembari menatap ke arahnya. Alroy bergerak ke arahku, lalu menarik tanganku dan mengajakku untuk menghadap kepada Raja Aurum.
"Paduka ...," panggil Alroy sembari menghadap ke arahku, dan menggenggam kedua tanganku. "Saya tidak membutuhkan tahta itu, karena saya sudah memilikinya. Saya mencintainya, Paduka. Bahkan lilin di kamarnya telah menjadi saksi bersatunya kami, dan saat ini kalianlah yang menjadi saksi bahwa kami saling mencintai," lanjutnya.
Mataku berkaca-kaca, karena tersentuh saat mendengar ucapannya. Perkataan bunga putih itu benar, Alroy tidak menginginkan tahta itu. Dia sangat sederhana, batinku.
"Saya juga mencintainya, Paduka. Tanpanya, mungkin saya tidak akan bisa menyelamatkan Paduka dari Raja Mez," sambungku.
Lalu Alroy mendekatkan wajahnya, dan dia mengecup bibirku. Aku membalas ciuman hangat darinya. Lalu terdengarlah tepukan tangan dari semua orang di dalam kastil ini.
Setelah itu, Alroy kembali bersuara. "Atas nama keluarga saya, saya meminta maaf dan ampunan dari Paduka. Keluarga saya telah melakukan kesalahan yang merugikan kerajaan ini," ucapnya dengan lantang dan menundukkan kepalanya.
"Ayah dan ibumu melakukan hal yang benar dengan meninggalkan kastil ini. Tapi untuk keluarga Mez dan Tiara, saya akan mengasingkan mereka semua di pulau lain. Saya tidak ingin membiarkan para pengkhianat masih berkeliaran di kerajaanku ini!" tutur Raja Aurum.
"Kalian berdua, tinggallah di mana pun kalian sukai. Di sini, ataupun di kerajaan Dendro Mandraguna. Semuanya adalah rumah kalian. Terima kasih atas pertolongan kalian untukku," sambung beliau, sembari memberikan kami suatu mantra yang entah apa.
Aku dan Alroy saling menunduk, kemudian terlihatlah baju kami yang berubah menjadi penuh warna emas. Tampilanku kini kembali lagi bak seorang putri di penuhi oleh perhiasan dari kepala hingga kaki. Sedangkan tampilan Alroy bak seorang Raja, padahal dirinya tidak sedang menjadi raja, hm.
🌿🌻🌻🌻🌱
Sebulan kemudian,
Nenek mengetuk pintu kamarku, "Jehan! Ayo keluar dari kamarmu! Matahari sudah muncul dari ufuk timur, tapi kamu masih asyik tidur!"
Ya! Sekarang nenek dan kakek telah kembali menjadi manusia, serta kembali menduduki tahta di kerajaan Dendro Mandraguna. Rakyat kami pun sudah kembali ke kerajaan ini. Mereka selalu menampilkan senyuman lebarnya saat ada anggota kerajaan yang ke luar dari kastil.
Akhirnya suasana di kerajaan ini telah kembali ramai,
Dan damai.
- THE END -
.
.
.
Terinspirasi dari :
- Snow White and The Seven Dwarfs (Poisoned Apple)
- Rapunzel Tangled (Magic Golden Flower)
- Beauty and The Beast (Ghastly Curse on the Beast's Castle)