Nah, kawan, sekarang aku mau bertanya padamu. Kau tahu rasanya bagaimana dipermalukan di depan seluruh siswa di sekolahmu? Atau, bagaimana dengan bokong yang dimasukkan sarang lebah? Dikurung di dalam loker sempit dan gelap? Atau mungkin, kepalamu dimasukkan ke dalam WC penuh kotoran dan bakteri E-coli? Kau pernah mengalaminya? Nah, itulah yang setiap hari aku rasakan. Itulah Kegiatan sehari hariku di sekolah. Dan itulah apa yang dilakukan George dan teman temannya kepadaku. Setiap hari, setiap tahun selama aku bersekolah, hingga aku muak diperlakukan seperti orang bodoh. Kau mungkin bertanya: kenapa aku tak melawan? Alasannya sungguh klasik. Aku tak berani. Semakin aku berusaha melawan, semakin ganas pula perlakuan mereka kepadaku. Yah, Mereka memang pembully paling sadis di sekolah. Mereka bahkan tak segan mencelakai pecundang sepertiku. Jika ada kompetisi membully, aku yakin mereka pasti jadi juaranya.
Seperti yang dilakukan mereka hari ini. Mereka mengejar di belakangku, seperti segerombolan pemburu yang tengah mengejar hewan buruannya. Waktu itu, adalah jam pulang sekolah. Makanya suasana sekolah sepi. Kali ini, aku dikejar karena aku memukul wajah si George. Awalnya mereka meminta uang saku milikku. Namun aku tak memberikannya, karena memang aku tak punya. Tapi mereka tak percaya, dan langsung mengeroyokku. Dan untuk bisa melarikan diri, dengan sekali hantam aku pukul hidung George dengan keras sehingga darah mengalir dari lubang hidungnya. Setelah itu mereka langsung mengejarku.
“Tangkap dia! Jangan biarkan dia kabur!”
Aku masih terus berlari. Dengan nafas tersengal, aku mencari tempat untuk bersembunyi. Dan saat itu, yang kulihat hanya satu. Perpustakaan! Aku pun berlari ke sana, dan bersembunyi. Berharap dengan begitu, George dan gengnya kehilangan jejakku dan beranjak pergi. Mereka pun lalu sampai di depan perpustakaan, dan tak menyadari kalau aku bersembunyi di dalamnya.
“Ke mana perginya dia? cepat sekali menghilangnya” ujar Lucas.
“Mungkin ke arah kiri. Ayo kejar!” kata George, seraya pergi meninggalkan tempat itu.
Aku bernafas lega. Keringat mengucur dari dahiku. Aku berusaha keras mengatur nafasku yang terengah engah, dan menormalisasi detak jantungku yang berdegup kencang. Untung saja, aku cepat cepat bersembunyi. Kalau saja aku tertangkap oleh mereka tadi, bisa bisa aku babak belur.
Setelah beristirahat sejenak, aku baru tersadar kalau ruang perpustakaan dimana aku berada sangat sepi. Tak ada orang lain selain diriku. Yang dapat kulihat hanyalah rak rak yang tinggi dengan jejeran buku yang tersusun rapi di dalamnya. Tercium olehku aroma khas dari rak kayu tersebut.
“Hei! sedang apa kau di sini? apa kau tidak tahu kalau perpustakaannya akan tutup?” kata orang itu. Ia berjalan mendekatiku. Dari name tagnya, aku dapat mengetahui kalau laki laki itu bernama Mr. Johan.
“Em…ee.. maafkan aku, pak. Aku tidak tahu kalau perpustakaan akan tutup. Aku minta maaf. Aku akan pergi dari sini” jawabku. Baru saja aku berbalik untuk berjalan pergi, dia memanggilku.
“Tunggu Gio!”
Aku terdiam. Sebentar, apa aku tidak salah dengar? dia, memanggilku? dari mana dia tahu namaku sedangkan aku tidak mengenalinya? Aku berbalik, lalu menatapnya dengan wajah heran “Anda, memanggil saya, pak?” tanyaku.
Mr. Johan tidak langsung menjawab. Dia diam beberapa saat sambil menatap mataku. Entah kenapa, tak bisa kualihkan pandanganku darinya. kemudian, mataku menangkap kalau bibirnya tersenyum samar. Dia lalu berkata.
“Kamu anak yang kucari “ katanya.
Keningku mengkerut. “Maaf, pak. Tadi anda bilang apa?”
Dia lalu tersenyum. Senyuman misterius. “Ikuti aku. Ada yang ingin kutunjukkan padamu” katanya. Dia berbalik, lalu berjalan menjauh.
Mr. Johan tahu namaku. Apa mungkin dia itu teman orangtuaku dulu? entahlah. Aku juga tidak tahu.
Entah muncul dorongan dari mana, aku pun menurut untuk mengikutinya. Dia membawaku ke salah satu sudut perpustakaan. Di paling pojok, dimana kebanyakan buku buku di rak ini sudah berdebu dan ditutupi sarang laba laba. Aku memang tidak hafal betul bagaimana persisnya seluk beluk ruangan perpustakaan ini, karena aku bukan tipikal orang yang rajin meminjam buku. Namun yang jelas, ruangan ini cukup luas.
Mr. Johan berhenti di depan salah satu rak buku. Ia pun lalu berjinjit, sambil menggapai sesuatu di atas rak. Ia lalu memberikan ‘sesuatu’ itu padaku. Aku menerimanya. Itu adalah sebuah buku. Kubuka halamannya, ternyata sebuah buku catatan. “Apa ini?”
“Gio, kau selalu menjadi bahan bully George dan teman temannya bukan? aku tahu kau kesal. Aku tahu kau pasti tidak mau lagi diperlakukan seperti orang yang tak berguna oleh mereka.”
Hei, tunggu dulu! apa tadi dia bilang? bagaimana ia bisa tahu? “Apa maksudmu pak, aku sama sekali tak mengerti”
“Aku berikan buku ini, agar kau bisa menghukum mereka. Membalaskan setiap hal tak menyenangkan yang mereka lakukan padamu. Tulislah semuanya Gio, tuliskan! agar mereka bisa merasakannya! karena apapun yang kau tulis di sana, itu semua akan menjadi kenyataan. Apapun itu, Gio, apapun itu”
“Dengan hanya menuliskan keinginanmu dan meneteskan setetes darahmu, Kau bisa melakukan hal hal luar biasa dengan buku itu, Gio. Termasuk…” Dia mendekatkan mulutnya ke kupingku, lalu berbisik “Membunuh mereka”.
Mr. Johan tahu namaku. Apa mungkin dia itu teman orangtuaku dulu? entahlah. Aku juga tidak tahu.
Entah muncul dorongan dari mana, aku pun menurut untuk mengikutinya. Dia membawaku ke salah satu sudut perpustakaan. Di paling pojok, dimana kebanyakan buku buku di rak ini sudah berdebu dan ditutupi sarang laba laba. Aku memang tidak hafal betul bagaimana persisnya seluk beluk ruangan perpustakaan ini, karena aku bukan tipikal orang yang rajin meminjam buku. Namun yang jelas, ruangan ini cukup luas.
Mr. Johan berhenti di depan salah satu rak buku. Ia pun lalu berjinjit, sambil menggapai sesuatu di atas rak. Ia lalu memberikan ‘sesuatu’ itu padaku. Aku menerimanya. Itu adalah sebuah buku. Kubuka halamannya, ternyata sebuah buku catatan. “Apa ini?”
“Gio, kau selalu menjadi bahan bully George dan teman temannya bukan? aku tahu kau kesal. Aku tahu kau pasti tidak mau lagi diperlakukan seperti orang yang tak berguna oleh mereka.”
Hei, tunggu dulu! apa tadi dia bilang? bagaimana ia bisa tahu? “Apa maksudmu pak, aku sama sekali tak mengerti”
“Aku berikan buku ini, agar kau bisa menghukum mereka. Membalaskan setiap hal tak menyenangkan yang mereka lakukan padamu. Tulislah semuanya Gio, tuliskan! agar mereka bisa merasakannya! karena apapun yang kau tulis di sana, itu semua akan menjadi kenyataan. Apapun itu, Gio, apapun itu”
“Dengan hanya menuliskan keinginanmu dan meneteskan setetes darahmu, Kau bisa melakukan hal hal luar biasa dengan buku itu, Gio. Termasuk…” Dia mendekatkan mulutnya ke kupingku, lalu berbisik “Membunuh mereka”.
Aku pun membuka halaman pertama dari buku catatan itu. Kosong. Semuanya masih kosong. Kertasnya berwarna kuning kecokelatan. Dan sudah tampak kusam. Barangkali buku ini sudah terlalu lama tersimpan di rak buku.
Aku menimang-nimang apa yang akan kulakukan pada buku ini. Haruskah kutuliskan semua keinginanku untuk balas dendam pada George dan gengnya? Apa memang benar buku ini dapat melakukan hal itu? jika memang benar, aku hanya ingin semuanya berakhir. Tak ada lagi pembullyan. Tak ada lagi perlakuan yang memalukan. Tapi, aku juga ingin mereka merasakan kesakitan. Aku ingin mereka mendapatkan balasan yang setimpal.
Kuambil sebuah pulpen. Lalu, dengan pasti kugoreskan pena itu ke halaman kertas kosong, meliuk liuk, menuliskan setiap keinginan jahatku pada mereka. Ini memang yang seharusnya kulakukan.
“George, Lucas, Tommy, Edden, dan Bill. Mereka semua orang yang jahat. Mereka orang yang membuat hidupku sengsara. Mereka yang membuat hari hariku tampak menyedihkan. Aku ingin, mereka semua merasa kesakitan. Kesakitan yang amat menyakitan. Kalau perlu, musnahkan mereka dari bumi ini. Karena aku sangat muak terus menerus diperlakukan buruk oleh mereka. Aku ingin mereka semua mati dengan tragis. Dengan begitu, tak akan ada lagi yang mengganggu hidupku.” Aku semakin bernafsu menuliskan keinginanku untuk balas dendam.
“Mereka harus binasa!”
“Mereka harus mati!”
“Mereka harus lenyap!” Aku tersenyum licik. “Untuk selamanya…”
Aku menaruh pulpenku. Dan yang perlu kulakukan selanjutnya, tinggal meneteskan darahku di atasnya. Aku mengambil sebuah pisau kecil, kudekatkan jariku di atasnya. Lalu kuiris jariku, hingga darah menetes jatuh ke arah tulisan tulisan itu.
Dan aku tersentak kaget begitu melihat yang terjadi setelahnya. Setetes darah itu, bergerak. Menyebar, lalu menutupi seluruh permukaan kertas hingga menjadi merah. Ini, sungguh aneh dan mengejutkan. Buku itu lalu bergerak gerak, lalu menutup dengan sendirinya. Sesaat setelah itu, entah datang dari mana, terdengar suara tawa menakutkan yang menggema. Yang sedetik kemudian lenyap.
Begitu kubuka lagi halaman yang sudah kutulisi, tulisanku lenyap begitu saja. Tak berbekas, seperti belum pernah digores pena.
Keesokan harinya, sekolahku dihebohkan dengan kabar mengejutkan perihal murid yang hilang. Begitu melihat papan pengumuman yang disesaki oleh murid murid, aku pun mencoba mendekatinya. Terdengar olehku mereka berbisik tentang suatu hal. Namun karena terlalu berisik, aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas.
Aku pun mencoba melihat lebih dekat tentang apa yang diumumkan di papan pengumuman. Dan mataku terbelalak begitu melihat berita itu. George dan empat temannya, hilang secara misterius. Polisi tengah menyelidiki kasus ini, namun minimnya saksi membuat kasus ini susah untuk dipecahkan. Mereka seakan lenyap ditelan bumi.
Entah apa yang sedang bergemuruh dalam dadaku setelah membaca berita itu. Sedih, kecewa, atau justru senang? Ya, aku akui yang paling dominan adalah rasa senang dan lega. Karena akhirnya mereka mendapatkan balasannya. Namun, tak dapat kupungkiri, jauh di lubuk hatiku ada setitik rasa penyesalan dan iba terhadap apa yang menimpa mereka.
Dan rasa bersalah itu, masih terus menghantuiku hingga seminggu kedepannya. Aku terus memikirkan apa yang menimpa George dan teman temannya. Sudah seminggu ini, mereka belum juga ditemukan. Aku tidak tahu di mana mereka saat ini, dan bagaimana keadaan mereka. Terbersit rasa menyesal dalam diriku. Yah, meskipun mereka memang anak berandal yang keterlaluan, aku tak pantas melakukan hal buruk itu pada mereka semua. Jika begitu, apa bedanya aku dengan mereka?
Dan aku pun memutuskan untuk mengembalikan buku itu pada Mr. Johan. Mungkin dengan begitu, dia bisa membantuku untuk mematahkan kutukan yang kuberikan pada George dan teman temannya.
Siang ini, sehabis pulang sekolah aku hendak pergi ke ruang perpustakaan. Langit di atas sana begitu mendung, mungkin sebentar lagi akan turun hujan. Aku bergegas menuju ruang perpustakaan. Semoga saja Mr. Johan ada di sana.
Aku membuka pintu, hingga menimbulkan decit suara yang mengganggu. Aku berjalan memasuki ruangan. Gelap, dan sepi. Tak ada siapa siapa. Namun aku mendengar suara aneh. Entah bagaimana cara mendeskripsikannya, namun suara itu terdengar seperti sesuatu yang tengah dikoyak-koyak. Aku berjalan mengikuti asal suara itu. Insting kupingku membawaku ke sebuah ruangan yang berada di paling pojok. Ruangan itu gelap dan tak berpintu. Barangkali itu gudang. Namun, suara itu muncul dari dalam sana.
Bau tajam yang menusuk langsung menyergap hidungku begitu aku memasuki ruangan itu. Baunya seperti bau bangkai. Karena ruangan yang gelap, aku jadi tidak bisa melihat dengan jelas. Namun, karena ada cahaya matahari yang menyelinap melalui celah celah, setidaknya aku bisa melihat ada apa di ruangan itu.
Lalu mataku terbelalak begitu melihat ada apa di ruangan itu. Itu… Itu… Apa aku tak salah lihat? Astaga! Itu, kepala Lucas, Tommy, Edden, dan juga Bill. Seketika aku mau muntah melihat pemandangan itu. Darah berceceran di mana mana. Dan kepala mereka, terpisah dari badan mereka yang sudah koyak, sehingga memperlihatkan organ dalam yang semakin membuatku tak tahan melihatnya.
Dan samar samar, aku melihat sesuatu bergerak. Sosok itu berwarna hitam dan besar. Dia tengah mengoyak ngoyak sesuatu, yang digantung oleh tali. Tunggu dulu, apa itu? Seperti paruh, dan… sayap? Oh tuhan! Itu… Itu…
Makhluk itu menyadari keberadaanku. Dia berpaling ke arahku dari makanannya. Dan ternyata, yang tengah ia makan adalah! Mayat George!
Makhluk mengerikan itu berkepala gagak, dengan paruh besar dan sayap hitam, namun bertubuh layaknya manusia. Paruhnya berlumur darah dan sisa sisa organ tubuh yang ia makan. Sejenak aku tak mampu melangkahkan kakiku untuk pergi begitu dia menghampiriku. Dalam hitungan detik, dia bertransformasi menjadi seorang manusia. Dan seseorang itu adalah “Mr. Johan? kau? kau Yang… yang melakukan ini semua?”
Dia tersenyum menakutkan. “Sekarang, dendammu dan keinginanmu sudah terbalaskan. Berkat kau, aku mendapatkan santapan yang lezat” ia mengelap mulutnya yang bersimbah darah segar.
“Ja… Jadi, karena buku ini, kau? Astaga! jadi aku telah melakukan kesepakatan dengan Iblis? kau benar benar Iblis! Terkutuklah kau!”
Dia tertawa. “Kau sungguh naif, Gio. Setiap manusia, siapapun dia, pasti selalu memiliki kebencian. Dan kebencian itu yang membuat mereka tak ada bedanya dengan Iblis”
Dia mendekatiku. Badanku gemetar hebat, tak bisa berlari. “Dendam sudah terbalaskan. Dan harus ada hal berharga yang harus kau bayar!” katanya.
Aku tebelalak, dengan segenap tenaga, aku berusaha berlari dari tempat itu. Namun, dia, secepat kilat, mengibaskan sayap besarnya, hingga aku tak sadar kalau dia sudah berdiri di hadapanku. Aku tak bisa ke mana mana. Tidak, aku tidak mau mati! Tamatlah sudah riwayatku!
“Dan hal berharga itu, adalah nyawamu!” paruh runcingnya melesat secepat kilat, lalu darah segar bercucuran.
“Tidaaaakkkkkkk!”