Prolog :
Aku terbangun di tengah malam karena ingin ke toilet.
Begitu membuka pintu, aku melihat ibu yang menatapku dengan pisau di tangannya.
Dengan bergegas dia mendekat ke arahku, aku tidak punya waktu untuk menghindar, dan pisau dapur itu telah memotong leherku.
Dalam sekejap darah menyembur keluar, dan piyamaku pun bersimbah darah.
Kesadaranku perlahan menghilang hingga rasa sakit luar biasa itu pun tak lagi terasa...
1
Hari sudah pagi ketika aku bangun.
Kepalaku sakit, dan pikiranku masih terhuyung ke dalam mimpi buruk semalam.
Tubuhku terduduk, saat ini aku hanya ingin mandi air dingin untuk menyegarkan diri.
Baru saja kupegang kenop pintu, ada sebuah catatan tertinggal di sana.
Isi dari catatan itu yaitu, "Lari! Dia bukan ibumu!".
Aku terkejut, dan seketika sadar dari rasa kantuk.
Bukankah semalam hanyalah mimpi buruk?
Tanpa sadar aku menyentuh leherku, semulus biasanya, dan tidak ada bekas luka.
Tapi karena kekhawatiranku, jadi aku mengintip dari celah pintu dan melihat ke luar. Kemudian aku segera menutup pintu.
Benar saja, ibuku sedang memegang pisau, dia berdiri tegak di ruang tamu, dan menatap pintu kamarku dengan mata dingin serta kaku.
Suasana begitu mencekam. Wajah dan tubuhnya memang ibuku.
Tapi matanya yang kosong dan ekspresi acuh tak acuhnya sama sekali tidak mirip dengan ibu.
Seolah-olah jiwa orang lain telah mengambil alih tubuh ibuku, atau bahkan tidak ada jiwa lain di dalam tubuh itu.
Aku tidak berani mengambil risiko dengan membuka pintu lagi.
Kukeluarkan ponsel dari sakuku, ada keinginan untuk mencari bantuan. Tapi anehnya tidak ada sinyal.
Aku mencoba menghubungi 110 dan tidak mungkin akan tersambung.
Situasi aneh ini membuatku merinding, dan bahkan lebih mengerikan dari pada mengetahui bahwa ibu itu bukanlah ibuku.
110 harusnya tidak melalui sinyal operator, dan memiliki prioritas lebih tinggi dalam transmisi sinyal.
Selama ada jangkauan tower operator telepon di sekitar, semua orang bisa mengakses tanpa memerlukan sinyal.
Sekarang aku bahkan tidak bisa menghubungi 110, artinya, aku berada di tempat terpencil di mana bahkan tidak ada tower operator telepon terdekat.
Tapi ketika aku melihat ke luar jendela, kami berada di area pemukiman biasa.
Dengan tinggal di sini, tidak mungkin tidak ada tower operator telepon.
Pikiran yang lebih menyeramkan perlahan muncul di benakku.
Mungkinkah aku sudah mati?
2
Begitu pemikiran ini muncul, rumah yang dulu terasa akrab kini seperti berhantu.
Bahkan catatan yang bertuliskan "Lari! Dia bukan ibumu!" tampak mencurigakan.
Tidak, aku harus melarikan diri.
Bahkan jika ini adalah neraka tanpa tujuan, aku masih harus menemukan cara untuk melarikan diri.
Aku mengangkat seprai, menambahkan sarung bantal dan pakaian. Kemudian mengikatnya dari ujung ke ujung, dan memelintirnya hingga menjadi satu helai.
Salah satu ujungnya diikat ke radiator di bawah jendela, dan ujung lainnya dibuang ke luar jendela.
Untung saja keluargaku tinggal di lantai empat yang tidak terlalu tinggi, dan di luar jendela ada pohon yang bisa dijadikan tempat melompat dan berteduh.
Aku naik ke sisi jendela dan menarik talinya agar kuat menahan tubuhku.
Kemudian, aku melangkah keluar dari ambang jendela.
Saat aku baru melangkah keluar, terdengar suara keras dari pintu kamar.
Pintunya terbelah dari luar, dan melalui celah itu, aku melihat wajah ibuku yang tampak terganggu.
Dia memegang pisau dapur dan menebas pintu itu dengan kasar.
Celah itu semakin besar dan semakin besar. Wajahnya semakin lama semakin tampak dari celah tersebut.
Dengan senyum dingin dan gila di wajahnya, matanya menatap lurus ke arahku.
Dia pasti merasa bahwa aku akan melarikan diri, jadi dia bergegas masuk dan ingin membunuhku lagi.
Aku bertekad untuk tidak berhenti dan berjalan menuruni tali sedikit demi sedikit.
Suara hunusan pisau semakin keras.
Tanganku hampir gemetar, tapi aku tidak menghentikan langkahku.
Aku jatuh di lantai tiga.
Saat itulah, suara di pintu berhenti.
Aku mendongak, wajahnya perlahan muncul dari jendela.
Dia menatapku dan tersenyum.
Aku tahu, dia melihat pagar pembatas apartemen, dan di atas pagar ada kawat berbentuk anak panah dengan ujung yang sangat tajam.
Dia memotong tali yang ditenun dari seprai, dan aku terjatuh.
Deretan anak panah di atas pagar langsung menembus tubuhku.
Aku terjatuh ke tanah, tapi aku merasakan sesuatu yang aneh.
Begitu aku mendapatkan kesadaranku ternyata hanya tubuh bagian atasku yang jatuh ke tanah.
Tubuh bagian bawahku masih tergantung di pagar pembatas berlumuran darah.
3
Aku terbangun lagi, dan hari kembali pagi.
Rasa sakit karena terpotong menjadi setengah oleh pagar pembatas masih membekas di tubuhku, tapi aku tidak punya waktu untuk memikirkannya.
Terakhir kali, ibuku mendobrak pintu, ke ambang jendela dan memotong tali sprei yang saat itu hanya cukup untuk aku mendarat ke lantai tiga.
Artinya, jika aku tidak menemukan jalan keluar dalam waktu sesingkat itu, aku hanya bisa jatuh, jatuh lagi hingga ajal menjemputku.
Aku menjulurkan kepala dan dengan hati-hati mengamati ambang jendela di lantai tiga. Ternyata jendela tetangga di lantai bawah terbuka, dan hanya lapisan tipis kasa yang ditutup.
Dengan sedikit tenaga, aku seharusnya bisa merobek kasa itu.
Jika aku bisa melompat ke rumah tetangga di lantai tiga sebelum Ibu memotong tali seprai, aku punya kesempatan untuk melarikan diri.
Seperti yang kulakukan sebelumnya, aku mengikat seprai dan cucian menjadi tali. Kemudian melemparkannya ke luar jendela.
Saat ini, aku melihat catatan tertinggal di ambang jendela, yang bertuliskan "Lari, larilah hingga menembus cakrawala, lari!".
Cakrawala? Itu artinya pelarian ini tak akan ada akhirnya? Siapa yang meninggalkan catatan ini untukku?
Tapi aku tidak punya waktu untuk memikirkannya sekarang, hal terpenting bagiku saat ini adalah melarikan diri dari rumah aneh ini.
Saat aku melangkah keluar dari ambang jendela, ibu mulai melakukan hal yang sama pada pintuku seperti sebelumnya.
Karena ini yang kedua kalinya, gerakanku kali ini jauh lebih bersih dan cepat.
Ketika ibu bergegas ke ambang jendela, aku bisa melihat lubang di jendela di lantai tiga.
Dia sudah mengangkat pisaunya, dan ketika dia hendak memotong talinya, akhirnya aku merobek jendela kasa di lantai tiga.
Dengan sisa kekuatan taliku, aku mengayunkan diriku dari dinding dan masuk ke jendela kasa.
Tali terputus, aku melemparkan diri ke ruang tamu tetangga di lantai tiga.
Aku menarik napas lega.
Aku terlalu gugup sekarang, dan dahiku berkucuran berkeringat. Ketika aku mengangkat tangan untuk menyeka keringat, aku merasa dahiku lebih basah dari sebelumnya.
Melihat dengan hati-hati, aku menemukan ada tangan berlumuran darah.
Baru kemudian aku menyadari bahwa lantai tempat aku terjatuh, beserta dengan soda dan mejaku juga berlumuran darah merah cerah.
4
Seluruh ruang tamu dipenuhi dengan bau darah yang menyengat. Aku terlalu takut sekarang sehingga aku tidak segera menyadari situasi yang terjadi sekarang.
Langkahku sudah lebih jauh, aku melihat keluarga tetangga yang terdiri dari tiga orang tergeletak rapi di belakang sofa.
Darah mengalir dari wajah mereka. Tubuh mereka penuh dengan luka, dan mayat mereka telah hancur total.
Tampaknya mereka punya musuh di sini. Dendam musuh tersebut dengan teganya tidak hanya membunuh, tapi juga menghancurkan mayat hingga tulang mereka tampak.