Hari Sabtu, hari nasional tanpa buku. Ah itu dulu. Sekarang kapan pun, hari apa pun, jam berapa pun, aku harus rela menunda istirahatku hanya demi ngejar-ngejar dosen pembimbing yang super sibuk. Ternyata begini repotnya nyusun skripsi. Juga hari ini. Bu Lia memintaku datang ke kampus. Itulah alasan kenapa aku di sini sekarang. Tepat di depan kantor jurusan Pendidikan Seni Rupa UPI. Aneh sekali. Skripsiku ini lagi-lagi tak luput dari dosa-dosa kecil penggunaan EYD. Perbaikan lagi. Cetak ulang lagi. Keluar uang lagi. Intinya akhir minggu di bulan ini uangku semakin menipis. Aku berjalan menuju kantin. Kampus tidak seramai biasanya, tentu saja. Aku sudah menginjak anak tangga terakhir. Lelah juga naik turun tangga lantai tiga. Di hari Sabtu ini tak sedikit yang datang ke kampus. Dua orang duduk di kursi dekat pintu masuk, satu orang sedang baca mading, beberapa orang mengotak-atik komputer tempat cek nilai, dan satu orang yang baru masuk gedung ini dan menyapa orang disana-sini. Pak Ridwan. “Pagi Re!” giliran ia menyapaku. “Pagi Pak!” aku tersenyum. “Aaaah bapak apaan? Cuma beda satu tahun juga. Mau kemana?” “Hehe. Ke kantin dulu Pak.” Aku pergi setelah berpamitan. Heuheu. Siapa sangka kakak tingkatku saat SD yang pernah satu kelas denganku gara-gara ia tinggal kelas, sekarang malah melompatiku jauh sekali. Kuliahnya selesai dalam waktu tiga setengah tahun. Jenius. Takdir memang sulit ditebak. Padahal dulunya ia nakal sekali. Kalau hari Senin ia tak mengembalikan bolpoinku, hari Selasa ia menghilangkannya. Kalau hari Rabu ia meminjam paksa buku Prku, besoknya ia akan tanpa sengaja menghanguskannya. Pokoknya aku selalu menangis dibuatnya. Bukan aku saja, teman-temanku juga. Siapa sangka juga sampai malam kemarin sebelum kemarin ia masih membuatku menangis. Dasar orang nakal seumur hidup. Waktu itu aku benar-benar menangis karena dia. Tak mengerti kenapa, suaranya saat membacakan ayat-ayat Alquran dua tahun lalu selalu membuatku gelisah. Entah apa yang salah dengan suaranya. Hanya saja, terlalu indah. Karena suara itu aku menangis sejadi-jadinya. Tepat di jam setengah sebelas malam dibawah selimut yang tebal, air mataku mengalir meleleh di bantal biruku. Aku berusaha keras mengusir suara itu, tapi tak berhasil. Aku ingin seperti yang lain. Aku ingin bisa mengatakan ini padanya. Aku ingin mengatakan aku mengaguminya. Atau lebih? “De biarlah kekaguman, rasa sayang, dan kecintaan kita terhadap seseorang menjadi rahasia antara kita dan Allah saja. Kalau kamu memang menyadari rasa itu mulai tumbuh dalam hatimu, cukuplah Allah yang Tahu. Cukuplah Allah bagiku, maka cukuplah aku.” Ini adalah nasihat murabiku beberapa minggu lau, seakan ia menyadari kerisauanku. “Kamu tahu de, berpuasa itu luar biasa sulit. Bahkan mungkin sampai kita sakit. Bener? Tapi coba gimana rasanya waktu kita berbuka? Nikmat luar biasa.” “Anggaplah apa yang kita lakukan saat ini adalah puasa menahan perasaan kita. Biarkan nikmat itu datang disaat yang tepat, di saat yang seharusnya. Cobalah untuk mengendalikan hatimu de. Tulang rusuk itu tak akan tertukar kok!” begitulah beliau menguatkanku dan aku percaya itu. Bertahun kulewati dengan menahan rasa itu. Biarkan Allah yang mengatur segalanya. Biarkan Allah menepati janjinya. Aku tak pernah meragukannya sedikit pun. Aku juga tak ingin mengkhianati-Nya dengan mengumbar perasaanku pada orang lain. Cukuplah Allah bagiku, maka cukuplah aku. Pagi ini aku sudah siap dengan perlengkapan mengajarku. Sejak enam bulan lalu aku mengajar di salah satu SD di Bandung sebagai relawan. Setiap mau berangkat, bunda selalu memperhatikanku detail. Mulai dari jilbab, baju, rok, bros, sepatu, kaos kaki, semuanya bunda perhatikan. “Pakaian dan jilbab ini yang akan melindungimu saat bunda sedang jauh dari kamu.” Kata-kata ini yang selalu dikatakan bunda padaku. Beruntungnya aku memiliki bunda seperti beliau. Bunda adalah wonder woman yang hidup di dunia nyata. Bunda adalah Khadijahnya ayah. Bunda tak pernah memberikan sedikit pun hatinya pada orang lain selain ayah walaupun ayah pergi sejak aku masih kecil sekali, 5 tahun. Hebatnya, bunda membesarkanku dan membiayaiku sendiri hingga sekarang aku hampir lulus S1 hanya dengan uang dari hasil usaha Rumah Coklatnya. Anehnya, bunda justru tak pernah suka dengan makanan atau minuman dengan rasa coklat. Perempuan teraneh yang pernah kukenal. Alhasil, keanehannya itu ia turunkan padaku. Bandung sore agak mendung di jalan Braga. Angin sore memainkan rambut orang-orang yang lewat. Tidak padaku, karena jilbab ini. Angin saja tak berani menyentuhku. Mataku berbinar menikmati pemandangan lukisan-lukisan hebat karya seniman jalanan. Kadang itu hanya lukisan telapak tangan yang biasa saja, tapi karya seni didalamnya luar biasa. Begitu pula dengan makna yang terkandung didalamnya. Belum satu jam jalan-jalan, bunda menelponku dan memintaku segera menemuinya di Rumah Coklat kami. Malang sekali, tiba-tiba turun hujan. “Ass, bun ujannya lumayan gede. Nggak bawa payung. Lupa. Aku pulang telat yah.” SMS dikirim. Aku berteduh di tukang batagor. Hujannya masih deras, berpetir pula. Sejak kecil aku suka sekali hujan, tapi tidak dengan petirnya. Orang-orang berlarian menuju tempat teduh. Disampingku dua siswa SMA laki-laki dan perempuan yang unyu-unyu malah asyik foto sana foto sini. Hhhh dasar anak kecil. Tahu apa mereka soal hidup? Padahal mungkin orang tua mereka begitu khawatir karena mereka belum pulang. Ah, mana mengerti mereka soal itu. Baru saja aku mengeluarkan buku yang baru kubeli sepulang dari SD siang tadi, seseorang dari dalam taksi yang berhenti tepat didepanku memanggil namaku. “Rere!” Aku celingukan. Orang itu membuka pintu mobil. Turun dari sana dan menghampiriku. Musibah. “Lho? Ngapain disini Re?” Tanyanya sambil menyapu sisa air hujan di rambutnya. “Mmmm mau pulang. Tapi hujan Pak.” “Ya udah, ikut aja. Gimana?” Pak Ridwan menawarkan. “Hmmm nggak perlu. Makasih.” “Udah, nggak papa. Ikut aja. Ujannya juga belum tentu cepet reda.” Lama-lama ia memaksa. Mala petaka. Akhirnya aku naik juga. Bayangkan gimana rasanya berada dalam satu mobil dengan orang yang sangat tidak ingin kita temui. Bahagia. Lho? Entahlah. Taksi melaju dengan hati-hati. Bandung kali ini macet sekali. Satu menit, diam. Lima menit, tak ada suara. Sepuluh menit, akhirnya ia mengajakku ngobrol juga. “Kamu abis dari mana Re?” Jantungku berontak. “Jalan-jalan aja Pak.” “Ini kan bukan di kampus, panggil kakak aja napa?” “Hmmm.” Aku tersenyum. Ah, panggilan apa itu? Aku semakin kaku. Aku buka buku baruku biar terlihat sibuk. Membaca pun aku tak nyaman. Bagaimanapun, kami berada dalam satu mobil dan satu tempat duduk, bersebelahan. Hhh kenapa sempit sekali? Kenapa perjalanannya lama sekali? “Eh kita ke rumah kamu atau ke toko kamu?” “Ke toko aja.” Aku tersenyum lagi lalu segera menunduk. Aku benci bila mataku menemukan matanya sedang berbicara padaku. Matanya menakutkan. Mmm lebih tepatnya mengagumkan. “Hmmm iya iya. Udah lama juga nggak ketemu bunda kamu. Bunda kamu serem kalau lagi marah. Gara-gara bikin kamu nangis tiap hari, akhirnya dimarahinnya juga tiap hari.” Ia tersenyum mengingat kejadian itu. Dulu sekali. “Dulu itu kita teman atau bukan yah? Heuheu.” Aku tertawa kecil. “Dulu kamu paling aneh soalnya. Eh bukan, tapi paling lucu. Paling gampang nangis, cerewet, nggak suka coklat juga. Aneh. Nggak disangka sekarang bisa jadi segini diemnya.” “Orang kan pada berubah kak. (Lagian aku diem kalau deket kakak doang).” Eh aku panggil dia kakak? “Iya yah? Kamu juga udah gede sekarang.” Tertawa. Setelah perjalanan yang lama sekali dengan beribu kekakuanku, akhirnya kami sampai juga di toko bunda. Kak Ridwan ikut turun menemui bunda. Rumah coklat bunda ramai dikunjungi orang. Gerimis-gerimis gini orang senang nyicip coklat panas. Pegawai yang tidak lebih dari lima orang terlihat kerepotan. Bunda menyuruhku membantu. Bunda bingung saat Kak Ridwan menghampirinya. Tentu saja bunda sudah lupa padanya. Kak Ridwan menyalami bunda dan bunda semakin bingung. “Saya Ridwan bun.” “Ridwan?” “Teman SDnya Rere.” “Ooooo Ridwan yang nakal itu?” Kak Ridwan tertawa. “Sekarang kok ganteng yah?” Bunda mempersilakan Kak Ridwan duduk di kursi yang masih kosong. “Iya dong bun. Haha. Bunda gimana kabarnya?” “Bunda mah selalu baik nak.” Kata bunda dengan logat Sunda. Aku melihat mereka berbincang cukup lama. Aku pergi ke dapur. Saat aku kembali, kak Ridwan sudah pulang. Syukurlah. Aku bisa mencairkan kekakuanku. Bunda juga beraktivitas lagi. Hampir lupa, aku belum salat ashar. Hujan yang biasanya dingin membekukan, kini ia sejuk menyejukkan. Entah tadi itu anugerah atau musibah. Aku hampir mati ketakutan. Takut menampakkan sesuatu yang tak seharusnya ditampakkan. Puasa ini adalah puasa yang paling sulit yang pernah kulakukan. Toko kami mulai sepi. Sudah hampir jam lima. Toko hanya buka sampai setengah enam sore. Aku melihat para pegawai juga mulai bersiap untuk pulang. Bunda menghampiriku yang baru keluar dari mushala. “Kok bisa pulang bareng sama nak Ridwan?” “Iya bun. Tadi ketemu di jalan. Udah jadi asdos sekarang bun.” “Waaah alhamdulillah dong yah?” Sampai di rumah, bunda memberikan sesuatu padaku. Katanya dari Kak Ridwan. “Apaan bun?” “Itu undangan dari Nak Ridwan.” Petir yang paling kutakuti menyambar tepat di hatiku. “Undangan?” Remuk. “Katanya Nak Ridwan mau menikah besok lusa.” Hancur. Lagi-lagi ia membuatku menangis. Aku mengerti sekarang. Aku bukan tulang rusuknya yang hilang. Setidaknya aku tak perlu berpuasa lagi. Malam ini aku bisa berbuka. Ternyata berbuka puasa itu tak senikmat yang kubayangkan. “Teh aku berbuka malam ini. Menunya nggak enak.” Aku mengirim SMS pada murabiku. “Sabar de. Kalau memang sekarang nggak enak artinya Allah mempersiapkan yang lebih untukmu suatu hari nanti. Jangan berhenti untuk memohon de. Allah pasti mengabulkan doamu. Hanya saja mungkin langsung dikabulkan, ditunda, atau diganti. Bila Dia mengabulkan doamu dengan menggantinya, artinya Dia sudah mempersiapkan yang lebih baik untukmu. Percayalah de! Allah Maha Mendengar. ?” “Mudah-mudahan teh. Makasih.” Aku dan bunda menghadiri pernikahan Kak Ridwan. Aku melihatnya. Isterinya cantik sekali dan shaleha sudah pasti. Dilihat dari sisi mana pun tak ada kekurangan. Mungkin ini yang namanya takdir. Seseorang dengan nilai 9 akan mendapat jodoh yang sebanding. Begitu pula seseorang dengan nilai 2 akan mendapat pasangan hidup yang tak jauh dari nilai itu. Sudah dituliskan sejak sebelum mereka lahir ke dunia bahwa mereka akan hidup di rumah yang sama. Ia telah mendapatkan kembali tulang rusuknya yang dulu hilang. Selamat kak! Insyaallah aku ikhlas. Satu bulan, hidupku sangat tenang. Dua bulan, aku ujian sidang. Tiga bulan, kabar buruk. Isteri Kak Ridwan dikabarkan meninggal kecelakaan. Innalillah. Takdir yang mempertemukan mereka, takdir pula yang memisahkan mereka. Aku dan bunda menghadiri acara pemakaman. Semua orang di sana bersedih. Dengan mata yang sembab, Kak Ridwan masih sempat tersenyum padaku dan bunda. Aku belum pernah melihat Kak Ridwan sesedih ini. Setelah berpusing-pusing dengan skripsi, akhirnya tiba pula di hari wisuda. Hari yang selalu ditunggu semua mahasiswa. Bunda sangat bahagia. Mudah-mudahan ayah juga bahagia. Ayah melihatku? Tiga bulan lagi aku akan mengajar di salah satu SMA di Bandung. Aku juga melukis sebagai hobi dan untuk menambah penghasilan. Keuangan membaik, tapi masalah percintaan belum juga ada titik terang. “Bunda punya calon untuk kamu.” Gumam bunda tiba-tiba saat aku membantunya di toko. “Calon apa bun? Aku belum…” “Mau keburu tua?” Bunda memotong. Dua hari kemudian orang itu datang ke rumah. Ia sangat sopan dan ramah, shaleh pula. Bunda sangat menyukainya. Aku tak banyak bicara, tapi aku akan menerimanya bila memang ia jodohku. Baru beberapa hari kami saling mengenal, bunda ingin aku segera menikah. Aku tak keberatan. Terlalu lama menunda pun tak baik. Untuk ketiga kalinya ia datang ke rumahku. Kali ini kami membicarakan pernikahan. “Nak, bunda pikir kamu mau datang dengan orang tuamu. Kenapa malah datang sendirian?” “Orang tua saya di Malaysia bun. Mengunjungi kakak saya.” Hari itu ditentukan pernikahan akan dilaksanakan awal bulan depan. Setidaknya aku masih punya waktu setengah bulan lagi untuk menikmati masa lajangku. Aku masih sering ke kampus. Untuk sekedar bertemu dosen atau makan di kantin bersama temanku yang lain yang belum wisuda. Atau pergi ke botanical garden dengan pohon-pohon mati, perpustakaan. Aku senang membaca novel walaupun tak terlalu pintar mengolah kata menjadi tulisan. Kali ini aku membaca Negeri Lima Menara. “Re!” Tersenyum. Orang ini masih saja menakutkan. Bukan, mengagumkan. Masih juga membuatku tiba-tiba terserang kekakuan yang aneh. Kak Ridwan. Apa dia mau menggangguku lagi? “Kak!” Balas tersenyum. “Udah lama nggak ketemu. Belum ngasih selamat. Selamat yah udah jadi alumni.” “Makasih.” Tersenyum lagi. “Ngapain di perpus kak?” “Ngga ngapa-ngapain. Nyari buku aja. Kebetulan jam kosong. Rumah juga kosong. Jadi kesini aja. Kamu ngapain?” “Sama.” Bersyukur ia sudah tersenyum lagi. Mudah-mudahan ia segera menemukan pengganti almarhum isterinya. “Perpus nggak pernah sepi yah?” Gumamnya sambil membuka-buka buku ditangannya. Kami mengobrol sebelum akhirnya aku memutuskan untuk pulang. Terlalu lama bersama seseorang yang sering membuatku menangis bisa berefek buruk pada kesehatan batinku. Satu minggu sebelum pernikahan, undangan disebar. Bunda sibuk mempersiapkan pernikahanku. Membuat banyak sekali cokelat sebagai cemilan untuk nanti di pernikahan. Calon suamiku tiba-tiba berangkat ke Malaysia untuk menjemput orang tua dan kakaknya. Tiga hari sebelum pernikahan, ia belum juga pulang ke Bandung. Aku bingung. Bunda memintaku menelponnya. “Halo assalammualaikum.” “Waalaikummussalam Re!” “Pernikahan kita tiga hari lagi. Kapan pulang ke Bandung?” Tanyaku pada orang di sebrang sana. “…….” Diam. “Halo!” Telpon diputus. Dua hari sebelum pernikahan, ia belum juga menemuiku. Bunda mulai panik. Tepat di jam 10 pagi, aku menerima SMS darinya. “Re, maaf! Kita tak bisa menikah. Saya masih bertanggungjawab atas isteri dan putera saya di Malaysia. Maaf juga karena saya berbohong. Orang tua saya sedang di rumah menantunya. Bukan kakak saya. Sekali lagi maafkan saya. Sebenarnya saya sudah hampir bercerai, tapi takdir tidak mengizinkan kami. Mudah-mudahan kamu mengerti. Salam untuk bunda.” Air mata mengalir tak terbendung. Hatiku sakit sekali. Bunda tak segera ku beri tahu. Aku tak mau melihatnya merasakan sakit sepertiku. Aku pergi menenangkan diri. Di jam 9 pagi, mesjid Alfurqon UPI biasanya sepi. Sesampainya di mesjid, aku buru-buru ke lantai tiga. Kejutan. Murabiku ada di sana. Aku berjalan ke arahnya, duduk memeluknya. Ia menenangkanku. “Kenapa de?” Ia bertanya dengan lembut saat aku masih memeluknya erat. Aku tak mampu berkata apapun. Hanya menangis. “De!” “Teh, dia batalkan pernikahan.” Aku sesenggukan. Murabiku mulai mengerti. “Denger de! Teteh rasa, Allah mempertemukan kamu dengan orang yang belum tepat sebelum Dia pertemukan kamu dengan orang yang tepat. Kamu perempuan baik juga cantik. Tak mungkin Allah menjadikanmu nomor dua bagi suamimu. Jodohmu pasti akan segera datang. Kamu hanya perlu sedikit bersabar untuk menunggu.” Saat pulang, aku segera menceritakan apa yang terjadi pada bunda. Bunda menangis juga merasa bersalah karena membiarkanku merasakan sakit seperti ini. Aku tahu, bunda lebih sedih dariku. Kami hanya bisa saling menguatkan satu sama lain. Seharusnya hari ini aku sudah memiliki suami. Kenyataannya aku malah menangisinya. Sejak hari itu, aku hanya bolak-balik rumah-toko. Bersyukur tidak lama lagi aku harus mengajar. Setidaknya aku bisa mmbuang kesedihanku sedikit demi sedikit. Satu bulan berlalu. Aku belum mau membicarakan pernikahan walaupun sempat ada orang yang melamarku. Aku takut sekali dengan yang namanya kegagalan. “Re, ada nak Ridwan.” Aku menghampiri bunda yang sedang duduk bersama Kak Ridwan. Toko memang tak seramai biasanya. Kami sedikit lebih santai. “Gimana Re di sekolah?” “Alhamdulillah lancar-lancar aja kak.” “Tumben mampir kak?” “Iya, ada urusan sama kamu dan bunda.” Aku bingung, bunda juga. “Gini bun, niat saya kesini sebenarnya ingin meminta restu bunda untuk menikahi puteri bunda.” Lagi-lagi petir itu menyambar tepat di hatiku. Bunda menunggu jawabanku tapi aku belum tahu harus menjawab apa. Aku hanya diam. Butuh waktu untuk memutuskan. Tidak, kurasa ini adalah jawaban dari doaku selama ini. Allah bukan menggantinya, tapi menundanya. Kuputuskan untuk menerimanya. “Teh, orang yang tepat itu tanpa kucari pun datang sendiri padaku. Sekarang aku merasakan berbuka yang sesungguhnya. Aku yakin, tulang rusuknya adalah aku.” “Alhamdulillah de 🙂 ” Akhirnya aku bisa mengatakan ini. Selamat berbuka!