I wish I could tell you something to take it all away
If only I could find the answer to help me understand
Sometimes I wish I could save you
And there’s so many things that I want you to know
I won’t give up till it’s over, tell me you won’t give up
Cause I’ll be waiting here if you fall, you know I’ll be there for you
*save you-Simple Plan*
Valerie, nama yang membuatku sangat membencinya. Terkadang ia membuatku bertanya-tanya untuk apa aku hidup? Atau mengapa aku harus mempunyai kakak seperti itu? Valerie dan sindrom asperger. Dua hal yang tak terpisahkan di pikiranku. Penyakit yang dideritanya sejak kecil itu membuat hidupku semakin ngilu. Bagaimana tidak? Setiap saat aku harus mengurusnya, seolah aku tak punya kehidupan selain dirinya dan penyakitnya. Begitu banyak waktuku tersita hanya untuk menunjukkan kepedulianku sebagai adik kepada kakak yang sakit. Tapi sampai kapan?
Pedih rasanya harus menjadi baby sitter bagi Valerie, namun lebih perih lagi ketika aku membiarkannya tak berdaya. Ia memiliki kesulitan dalam komunikasi. Sorot matanya polos, dan tawanya meledak-ledak. Kadang ia diam dengan mulut yang terus mengeluarkan air liurnya, kadang ia terisak sambil memeluk bonekanya. Namun sorot matanya tak pernah berubah, kosong. Ia benar-benar seperti bayi.
Aku sempat bertanya, mengapa kau terlahir seperti ini? Kau cantik, kau punya rambut yang indah, tapi kenapa penyakit ini mendatangimu. Merenggut kecerian, dan mematahkan harapanmu? Dan ia hanya menjawab dengan senyum hangat, Maafkanlah kalau aku terlahir dengan penyakit yang menyertaiku, ini bukan kemauanku. Karena bagaimana pun, seorang anak tidak bisa memilih dari rahim siapa dan dalam kondisi seperti apa ia dilahirkan. Aku tersentak mendengar jawaban itu. Entah apa yang aku pikirkan, bagaimana bisa aku melontarkan pertanyaan bodoh itu. Tapi ia tidak marah atau kesal karena pertanyaanku, ia bukan orang pendendam sepertiku.
***
Kuingat, hari itu terasa begitu penat. Banyak ujian dan tugas akhir yang harus kuselesaikan. Belajar sampai larut malam, membuat tubuhku tak fit dan lelah. Aku pun memutuskan untuk mengirim pesan singkat untuk Valerie, terapinya nanti malam saja, tunggu aku selesai ujian praktek. Dianya segera membalas dengan penuh doa OK. Semoga sukses, aku doakan yang terbaik..
Tapi aku yang kalah dengan lelahku, melupakan janji yang kubuat sendiri. Hingga Valerie pun terpaksa naik taksi. Tapi aku begini kan karena tugas sekolah. Sudah kuduga, Ibu yang tak pernah mengerti kembali menambah penat hatiku dengan omelannya.”Nanti jangan lupa jemput, kalo dia kenapa-kenapa di jalan gimana? Tolong mengerti ibu!”. Percakapan pun selesai, singkat, tanpa salam hangat ataupun pertanyaan mengenaiku. Kau tahu apa yang aku rasakan? Kesal.
Hatiku terasa begitu panas. Hanya Valerie, ya hanya dia yang dikhawatirkan orang tuaku. Ayah tak pernah ada kabar, ia sibuk dengan urusan bisnisnya. Ibu? Tak jauh berbeda dengan ayah, sibuk juga dengan urusannya sendiri. Dengan mudah mereka melimpahkan tanggung jawab atas Valerie kepadaku. Persetan dengan keluarga !
Valerie, andai saja sindrom itu tak mengusik hidupmu. Tentu kaupun tak akan mengusik hidupku. “Kehendak Tuhan”, satu alasan yang tak pernah melegakan pertanyaan dihatiku. Kenapa kehendakMu tak pernah indah untukku? Hatiku semakin kalut. Aku pikir tak pantas rasanya bila aku selalu membalas sikap Valerie dengan kasar, ia terlalu lembut dan sangat peduli padaku. Bahkan ia sering berusaha merapikan kamarku untuk sedikit menyenangkan hatiku. Tapi aku tak peduli! Ia memalukan dan menyulitkanku.
Malam terlalu dingin dan aku terlalu penat. Aku ingin sekali saja tidak direpotkan olehnya. Berangkat sendiri saja bisa, kenapa tak bisa pulang sendiri?
***
Tak ada yang menduga, malam itu adalah malam malapetaka bagi kami. Kemalasanku telah menyebabkan kecelakaan tragis yang merenggut keceriaan Valerie. Aku menghujani diriku sendiri dengan makian. Apa tak cukup kamu menyiksanya? Egois! Suara-suara itu terus bergeming di telingaku. Menyeruak di alam bawah sadarku. Tak ada pembelaan dariku, kali ini aku menyerah, kalah.
“Aku memang salah.”
Ayah dan Ibu pasti marah besar padaku. Itu resiko, lagipula aku sudah kebal dengan omelan mereka. Seingatku, mereka lebih sering marah padaku karena keteledoranku mengurus Valerie, dibandingkan dengan kenakalanku lainnya.
Apa aku tak pernah memikirkan Ayah-Ibu? Kini aku melempar pertanyaan itu pada diriku sendiri. Bagaimana mereka berjuang untuk memenuhi kebutuhanku dan Valerie? Bukankah itu semua untukku dan Valerie? Dan sekarang, aku malah menambah masalah. Mengurus Valerie saja aku tak becus ! Karena keegoisankulah Valerie harus menerima ini semua.
Inikah balasanmu untuk orang tuamu, hah? Kau tahu Valerie lemah, tapi kenapa kau membiarkannya sendiri? Kau tidak disekolahkan untuk menjadi bodoh, Andros. Sadar, bukalah mata dan hatimu! Berhenti dari keegoisanmu!
***
Aku tahu, ini semua salahku. Aku dan suami selalu sibuk dengan urusan masing-masing. Bodohnya kami membiarkan Andros mengurus Valerie seorang diri. Padahal Andros berhak punya dunianya sendiri selain Valerie. Sedangkan aku? Tak pernah meluangkan waktu untuk mereka. Ibu macam apa aku? Seakan aku merusak keluargaku sendiri.
Kalau saja kami mau meluangkan sedikit waktu untuk anak-anak, mungkin tak akan berakhir seperti ini. Valerie sakit, dan Andros pasti merasa sangat terpukul. Mungkin Tuhan membiarkan ini terjadi agar kami ingat, apa arti keluarga. Aku harus merubah sesuatu.
***
Aku memperlambat langkahku. Kulihat Ibu dan Ayah duduk di ujung lorong rumah sakit. Lirih kudengar isakan Ibu. Matilah kamu, Andros!
“Apa yang kamu lakukan?” suara berat Ayah membuka percakapan kami. “Kau kemanakan saja pikiranmu, hah?!”
Aku hanya menunduk diam. Aku tak tahu harus menjawab apa, tapi tiba-tiba ibu memelukku. Pelukan yang lama tak aku dapatkan. Hangat sekali.
“Sudah ayah.” Ibu tidak marah, dia tak menyalahkanku.
“Maafkan aku.” suaraku mulai bergetar, mengisi keheningan di lorong rumah sakit itu.
“Tak perlu.” Aku tak tahu apa maksud dari perkataan ayah ini. Tapi aku tak punya nyali untuk bertanya.
“Dengar Andros, Ibu minta maaf, Ibu memaksamu untuk mengerti keadaan. Seolah ibu tak mau mengerti lelahmu. Nak, selama ini kau tak pernah menyia-nyiakan kepercayaan Ayah dan Ibu, kepercayaan Tuhan yang memberimu seorang Valerie. Tuhan tak salah memilihmu.”
***
Seperti biasa aku bangun terlambat hari itu. Mungkin karena aku belajar semalaman suntuk. Aku bergegas menuruni tangga dan meraih sarapan di meja makan. Namun di luar dugaan, kutemukan ayah dan ibu sudah menungguku di meja makan.
“Andros, sarapan dulu.” kata ibu.
Aku mengangguk lemah, tak kuasa menolak tawaran ibu. Gawat, aku bisa ketinggalan bis.
“Hari ini kamu ujian apa?” suara berat itu menyahut.
“Matematika” jawabku singkat.
“Biar Ayah antar.” sahutnya.
Aku tertegun. “Ayah nggak ke kantor?” ia hanya menggeleng.
Keheningan pun segera memenuhi ruang makan. Sudah lama aku tak mengalami hal seperti ini, duduk di ruang makan bersama orangtua. Belum lagi ajakan ayah yang mengundang pertanyaan besar bagiku, hal ini tak pernah terjadi sejak sembilan tahun yang lalu.
Duduk di mobil ber-AC, nyaman, tidak berdesak-desakan. Betapa bahagianya aku memiliki orangtua seperti mereka. Mengapa ini tidak terjadi dari dulu? Mengapa justru di saat seperti ini? Saat Valerie sakit?
“Jangan lupa berdoa sebelum mengerjakan.” Kata-kata itu membuyarkan lamunanku.
“Kamu sudah mempersiapkannya kan? Ayah yakin kamu bisa.” lanjutnya lagi.
“Ya, Ayah. Terimakasih.”
“Ayah akan mendoakanmu.” ia menepuk bahuku lalu aku segera keluar dari mobil mewahnya.
Seminggu sudah aku menjalani ujian dengan dukungan ayah dan doa dari ibu. Bukankah aku sangat beruntung? Selama Valerie tak ada, aku tak perlu repot menyuapi, menyisir rambutnya, atau menyiapkan seluruh kebutuhannya. Ujianku telah berjalan tanpa gangguan darinya, namun mengapa pikiranku tak juga tenang? Ketidakhadirannya justru semakin menggangguku.
Dering ponsel membuatku tersadar, pesan singkat dari teman menggelitik pikiranku. Dua hari yang lalu dia mengajak berlibur ke luar kota dan sampai sekarang masih belum kuberi kepastian. Dari dulu aku tak pernah punya waktu untuk mereka, walau begitu mereka tak pernah capek mengajakku. Sekarang merupakan kesempatan besar untuk mengiyakan tawaran mereka. Tapi apa aku sanggup? Bersenang-senang sedangkan Valerie sakit?
***
Siang itu, aku memberanikan diri masuk ke kamar Valerie, kamar yang lima minggu ini tak berpenghuni. Beberapa obat tersebar di meja kecilnya. Aku bergegas untuk menyiapkan baju dan segala kebutuhannya.
Kutemukan beberapa kertas kecil di lemari bajunya. Aku tertegun, di muka kertas-kertas tersebut tertulis namaku. Ragu-ragu, kubuka kertas itu.
“Andros, Maafkanlah kalau kondisiku ini harus memaksamu mengerti. Maaf aku tak pernah bisa membahagiakanmu atau sekedar membalas kebaikanmu. Mungkin kau bertanya ‘Mengapa harus kamu?’ Tuhan bilang karena kamu tulus dan tak mengeluh. Di mataNya ada wajahmu. Di tanganNya ada namamu. Dia bisa pilih siapa saja. Tapi dia pilih kamu. Dan Tuhan benar, kau hadiah terindah untukku. Percayalah Andros, di setiap doaku terselip namamu.”
Hatiku bertambah ngilu.
Aku segera berangkat ke rumah sakit. Dia masih koma. Wajahnya kuyu, beberapa selang dan kabel membelit tubuhnya. Tak berkutik. Sama sepertiku yang tak sanggup melihatnya begini. Kugenggam tangannya, Tuhan, angkatlah segala sakitnya pindahkanlah ke tubuhku! Tuhan, satu aku janji tak akan menyakitinya lagi.
Aku kembali ke kamarku dengan lemas, kutemukan plastik kecil berisi benih anggrek sisa praktikum. Sejak kecil Valerie suka sekali dengan anggrek. Tiba-tiba aku teringat rengekan Valerie di masa lalu yang memintaku menanamkan sekuntum anggrek.
“Aku suka anggrek. Kau tahu kenapa?”
“Tidak dan aku tak mau tahu!”
Entah apa yang mendorongku, aku segera menanam anggrek itu. Tuhan, kalau kau menghendaki, biarlah Valerie sembuh seiring mekarnya kembang ini. Tapi bila tidak, mampukan aku untuk merelakan dia seiring layunya anggrek ini.
Valerie, pulanglah! Lihat aku menanam anggrek ini untukmu! Aku janji tak akan marah kalau kau membereskan berkas-berkasku. Aku janji tak akan membuang teh yang kau seduh disaat aku penat. Aku janji tak akan menyembunyikanmu dari teman-temanku, atau memarahimu karena tingkahmu yang kuanggap memalukan.
***
Dua minggu berlalu dan besok aku genap berusia tujuh belas tahun. Tapi sampai sekarang Tuhan tak pernah mendengar doaku. Anggrekku layu. Tuhan seakan memupuskan harapanku. Malam terasa sunyi, tak satupun bergeming. Rumah pun sepi, Ayah dan Ibu masih setia menemani Valerie. Aku menangis lagi.
Tuhan, satu permintaanku kalau kau harus merenggut satu nyawa malam ini, kumohon, jangan Valerie. Biarlah aku saja, tujuh belas tahun sudah cukup bagiku.
Aku tertidur. Tidur yang sangat nyaman, apa mungkin Tuhan telah menjawab doaku?
***
Sreeekk….. tirai kamarku terbuka dan sinar matahari pun menembus masuk. Aku terbangun, kulihat sosok yang lama kurindukan, VALERIE! Aku segera berlari memeluknya. Terimakasih Tuhan ini bukan mimpi.
“Bagaimana kamu bisa disini?”
Tapi ia tak menggubris pertanyaanku, ia sibuk memandangi rumah yang beberapa hari terakhir ditinggalkannya.
“Andros, kau yang menanam anggrek ini?” Serunya riang.
“Ya, anggrek itu sisa praktikum Rie, lagipula kemarin sudah layu. Aku tak tahu kenapa bisa mekar lagi.”
Ia mengacak rambutku gemas, “Andros, aku suka sekali anggrek. Kau tau kenapa? Anggrek itu seperti harapan. Walaupun ia layu, ia dapat mekar lagi. Seperti harapan yang seolah hilang, tapi sebenarnya ia tak pernah mati.”
Aku memeluknya erat. Valerie Kau benar Rie, Tuhan tak pernah salah. Valerie, kau harus tahu kau kado terindah seumur hidupku.
Seringkali kau harus merasa kehilangan terlebih dahulu untuk menyadari betapa berharganya ia.
Sometimes you have to loose first to realize how precious they are.
*) Valerie : Dalam bahasa Yunani berarti gadis yang kuat
*) Oliveriana : Salah satu spesies Anggrek.