Malam itu mimpiku membangunkanku dari tidur lelapku. Kulihat di samping kiriku, suami dan putri kecilku masih tertidur lelap. Masih jelas terbersik diingatanku, kalau saat itu aku memimpikan Shyrena yang memelukku erat sambil berkata, “Aku sangat menyayangimu.”, sesaat sebelum aku terbangun. Shyrena adalah sahabatku sejak aku masih duduk di Taman Kanak-kanak. Shyrena adalah sahabatku yang terbaik, dia orang yang rela melakukan apa saja untuk memberikan yang terbaik untukku. Rasanya aku tak sanggup membendung air mataku jika mengingat kembali kisah persahabatan kami. Kisah ini bermula dari 27 tahun yang lalu, saat aku masih duduk di bangku Taman Kanak-kanak. Saat itu aku adalah seorang gadis kecil yang pendiam, hal itu membuatku tidak memiliki teman di kelas. Hingga suatu kali Shyrena menghampiriku saat aku duduk terpaku di bangkuku, dan ia duduk di sampingku. “Hai? Kenapa kamu diam terus?” tanyanya dengan lembut sambil tersenyum. “Eh.. aku tidak punya teman.” “Aku juga tidak punya teman, mereka semua tidak mau berteman denganku, karena aku tidak memiliki uang jajan seperti mereka.” ucapnya polos. “Kalau begitu kita berteman saja?! Kamu mau ‘kan berteman denganku?” lanjutnya, sambil tersenyum. “Mau!?” jawabku dengan senyum sambil menganggukkan kepala. Mulai dari saat itu, aku selalu pergi bersama dengannya kemana pun saat berada di sekolah. Hingga suatu hari disaat jam istirahat, kami mengeluarkan bekal kami masing-masing kecuali Shyrena. “Kamu tidak makan?” tanyaku, tapi ia hanya menjawab dengan menggelengkan kepalanya. “Kenapa? Kamu membawa bekal, ‘kan?” lanjutku, dan sekali lagi ia hanya menjawab dengan menggelengkan kepalanya. Saat itu juga dengan segera kubuka bekalku yang berisi tiga potong sandwitch yang cukup besar dan membagikan sepotong untuknya. “Ini. Kamu pasti lapar.” ucapku, sambil menyodorkan sepotong sandwitch di tanganku. “Terima kasih banyak.” ucapnya sambil tersenyum seraya mengambil potongan sandwitch itu dari tanganku, dan sebelum ia memakannya ia berdoa terlebih dahulu. Setelah itu ia memakan sandwitch itu dengan lahap, bahkan sebelum aku menghabiskan sepotong sandwith yang ada di tanganku. “Ini, makan saja?! Sepertinya kamu sangat lapar.” ucapku sambil mendekatkan kotak bekalku padanya. “Tidak usah, terima kasih.” “Tidak apa, makan saja. Aku sudah kenyang sekali. Tadi pagi aku menghabiskan dua potong sandwitch dan segelas susu.” Dengan malu-malu ia mengambil sepotong sandwitch itu. “Terima kasih banyak, Mischelly.” ucapnya dan kemudian memakan sandwitch itu.
* * *
Waktu berlalu, aku sudah sangat dekat dengan Shyrena, saat itu usia kami 8 tahun dan kami duduk di bangku SD kelas 3. Siang itu, kami duduk berdua di dalam kelas, teman-temanku yang lain pergi ke kantin untuk makan siang. Tak sengaja saat aku akan keluar untuk membuang sampah, aku menyenggol meja guru dan vas bunga yang ada di atasnya pecah menjadi beberapa bagian. Shyrena segera menghampiriku, dan mulai mengutip pecahan vas itu dan membuangnya ke tempat sampah. Sedang aku hanya berdiri terpaku, yang saat itu yang kurasakan hanya ketakutan akan hukuman yang akan diberikan oleh guruku, hal itu membuat kedua telapak tanganku dingin, berkeringat, dan gemetar. Saat Shyrena telah selesai membersihkan pecahan itu, ia segera menggandeng tanganku dan membawaku duduk. Tak lama setelah itu, bel masuk pun berbunyi, jantungku berdebar dengan kencang, keringat mengalir di dahiku, tenganku basah kerena ketakutan. Ibu guru pun masuk ke dalam ruangan dan ketika dilihatnya vas bunga itu tidak lagi ada di atas meja, dia menanyakannya kepada kami. Hingga tiga kali ia bertanya, tapi tak satu pun dari teman-teman kami mengetahuinya. Ia mulai marah dan pergi keluar sambil memeriksa tempat sampah, saat ia masuk kembali, dengan suara menggelegar ia bertanya, “Siapa yang sudah memcahkan vas bunga?!!” Aku semakin ketakukan, air mataku mulai jatuh, dan untuk sekali lagi ia bertanya, “Siapa yang sudah memecahkan vas bunga?!! Jika tidak ada yang mengaku, maka kalian semua akan saya hukum!!!!” Tapi tiba-tiba Shyrena mengangkat tangannya, saat itu yang terbersik di pikiranku adalah kalau Shyrena pasti akan memberitahukan kalau akulah pelakunya. Tapi ternyata tanpa ragu ia berkata, “Saya yang memecahkannya, bu.” “Kemari kamu!!” ucap ibu guru dengan sangat marah, dan dengan segera ia mengambil rotan, “Angkat kedua tangan kamu!!”. Segera rotan itu menghantam kedua telapak tangan Shyrena masing-masing sebanyak 20 kali. Setelah itu Shyrena kembali duduk di sampingku, dan ia melihatku sambil tersenyum, seakan tak merasakan sakit apa pun, kemudian tangannya mengahapus air mata di wajahku, saat itu kurasakan tangannya begitu hangat, mungkin akibat pukulan dari rotan itu. Pelajaran pun dilanjutkan, saat menulis aku melihat tangan Shyrena yang bergemetar sambil memegang pena. Saat itu juga kuambil buku catatannya dan mencatatkan semua untuknya. Dia hanya tersenyum melihatku sambil berkata, “Terima kasih.”.
Tak terasa, persahabatanku dengan Shyrena sudah terjalin lama, hinga usia kami 12 tahun, dan kami sudah duduk di bangku SMP kelas 1. Siang itu setelah pulang dari sekolah, kami melewati sebuah toko boneka dan di sana aku melihat sebuah boneka beruang putih yang lucu. Aku begitu menyukainya, sampai-sampai aku tidak sadar kalau telah terpaku berdiri di sana. “Mischelly? Apa yang kamu lihat?” “Eh..! Tidak ada. Ayo kita pulang?” ucapku, dengan masih memikirkan boneka beruang itu. Bulan pun terus berlalu, hingga saat itu tepatnya pada bulan Maret tanggal 20, yaitu hari ulang tahunku. Siang itu, bibiku memberitahuku kalau ada seorang gadis kumel menungguku di luar gerbang. Dengan penuh penasaran aku segera pergi untuk melihatnya, saat kubuka gerbang betapa terkejutnya aku, ternyata gadis kumel itu adalah sahabatku, Shyrena, dan ia membawa boneka beruang putih yang dibungkus rapi dengan plastik hias yang indah, di tangannya. “Ini untuk kamu Mischelly?! Aku tahu kamu sangat menyukai boneka ini.” ucapnya sambil menyerahkan boneka itu padaku. “Selamat ulang tahun, ya?” lanjutnya. Setelah menerima boneka itu, air mataku mengalir karena terharu dan aku langsung memeluknya, ia pun memelukku sambil menepuk-nepuk punggungku dengan lembut, aku begitu nyaman dipelukannya. “Bagaimana kamu bisa membeli boneka ini?” “Mudah saja. Aku tinggal bekerja sebagai pembersih toilet dan pencuci piring di sebuah rumah makan.” ucapnya sambil tersenyum. “Ayo masuklah?!” ajakku sambil menggandeng tangannya. “Tidak perlu. Aku sangat kotor. Lagipula, pasti saat ini seluruh keluargamu sudah berkumpul di dalam sana. Aku tidak ingin membuatmu malu karena memiliki seorang teman yang kumel.” “Tapi kamu adalah sahabatku. Aku tidak peduli apa yang dikatakan mereka!” “Sudahlah. Sekarang pergilah masuk ke dalam dan berkumpullah bersama mereka. Lain kali aku berjanji akan datang ke sini dengan penampilan yang lebih pantas.” Air mata pun mengalir kembali di pipiku, dan kembali lagi ia menghapus air mataku. Kemudian ia pergi dari hadapanku lalu menghilang di perempatan jalan.
* * *
Sang waktu terus berputar. Dan kini aku dan Shyrena sudah berusia 16 tahun, dan saat itu kami duduk di bangku SMA kelas 2. Pagi itu aku membongkar isi tasku, dan membolak-balik bukuku, mencari uang sebesar duaratus ribu untuk pembayaran uang sekolahku bulan itu. Aku mulai takut, firasatku mengatakan uang itu pasti hilang. “Kamu mencari apa, Chelly?” tanya Shyrena yang saat itu duduk di sampingku. “Uang.” ucapku dengan nada bergetar. “Uang apa?” “Uang sekolah.” “Uang sekolah? Kamu simpan di mana tadinya?” “Sudah aku masukkan ke dalam tas, tapi aku tidak tahu bagaimana bisa hilang.” ucapku. Dan lagi-lagi aku hanya bisa menangis, dan ketakutan karena aku tidak berani mengatakannya kepada orang tuaku. “Tenang Chelly, kita akan cari jalan keluarnya!?” “Tapi bagaimana? Dari mana kita bisa mencari uang sebesar itu?” “Sudah jangan menangis lagi?” Aku akan mencari jalan keluarnya untukmu?!” ucapnya dengan lembut sambil menghapus air mataku. Seminggu pun telah berlalu, aku tak menemukan jalan keluar apapun untuk masalahku, tapi aku tak berani bertanya pada Shyrena, aku takut merepotkannya. Yang bisa kulakukan hanyalah berputar-putar di rumahku dan membongkar kamarku berharap dapat menemukan uang itu. Dan aku tak berani berkata jujur ketika orang tuaku menanyakan apa yang sedang kucari. Esoknya, seperti biasa aku selalu datang lebih awal dari teman-temanku. Dan ketika akan memasuki kelas kulihat di samping tempat dudukku Shyrena yang sedang berdoa, dan wajahnya terlihat begitu teduh. Aku menunggunya selesai, karena aku tak mau mengganggunya. Setelah ia selesai berdoa, barulah aku masuk dan duduk di sampingnya. Dan kemudian kulihat Shyrena mengeluarkan beberapa lembar uang limapuluhribuan dari saku bajunya, dan ia memberikannya langsung ke tanganku, sambil menggenggam tanganku dengan kedua tangannya yang terasa kasar. “Untuk apa ini Shyrena?” tanyaku bingung. “Pergilah, bayar uang sekolah kamu. Aku tahu kamu pasti belum menemukan uang itu.” ucapnya dengan senyum manis. “Tapi dari mana kamu mendapatkan uang sebesar ini?” tanyaku sambil menangis, mengingat betapa baiknya sahabatku itu. “Mudah saja. Setiap pulang sekolah aku bekerja di toko material, dan aku membantu mengangkat bahan-bahan material. Mereka memberiku upah Rp. 25.00 per hari, dan mungkin aku akan terus bekerja di sana.” ucapnya dengan senyum yang lembut. Dan saat itu juga aku segera memeluknya erat, kemudian pergi untuk membayarkan uang sekolahku. Air mata penuh haru dan kagum bercucuran di pipiku.
Waktu pun kembali berlalu, saat itu usia kami 20 tahun dan kami duduk dibangku kuliah. Siang itu aku berdiri di samping Shyrena sambil merangkul pundaknya, menyaksikan pemakaman kedua orang tuanya dan seorang saudara laki-lakinya. Mereka meninggal karena sakit keras yang sudah lama berdiam dalam tubuh mereka. Tapi anehnya tak setetes pun air mata keluar dari mata Shyrena, yang ada hanya senyum di wajahnya. Saat itu ia berkata, “Dengan begini, mereka tidak perlu lagi harus mengerang kesakitan, karena semuanya sudah berakhir. Sekarang mereka bisa tidur dengan tenang.” Mendengar ia mengucapkan hal seperti itu, air mata pun kembali mengalir di wajahku, tak kusangka ia wanita yang begitu tegar. Jika aku menjadi dia, mungkin aku akan menangis meraung-raung karena kini aku hanya tinggal seorang diri. Setelah dari itu, Shyrena memutuskan untuk berhenti kuliah dan terus bekerja di toko bahan bangunan. Setiap ada kesempatan, aku selalu mengunjunginya dan membawakan makanan untuknya.
Waktu terus berputar, tahun terus berganti. Dan tak terasa, persahabatan kami sudah sangat dekat. Kami bagaikan saudara. Dan saat itu usia kami 27 tahun, tak disangka aku akan menikah. Sehari sebelum acara pernikahanku berlangsung, mamaku memberitahuku kalau ada seorang wanita yang berpakaian kotor mencariku dan menungguku di luar gerbang. Aku segera berlari ke luar gerbang dan di sana aku begitu terkejut melihat sahabatku Shyrena sedang menungguku dengan pakaian yang begitu kotor dan wajah yang penuh debu, sambil membawa tas kotak yang besar dan cantik di tangannya. Dan saat aku sudah ada di depannya, segera ia memberikan tas itu ke tanganku. “Apa ini?” tanyaku tanpa melihat isi tas itu. “Bukan apa-apa. Tapi aku mohon kenakanlah itu disaat pernikahan kamu, aku ingin sekali melihat kamu mengenakannya.” katanya dengan senyum, dan segera pergi dari hadapanku dan menghilang di perempatan jalan. Aku segera masuk ke rumah dan menuju kamarku, aku membuka tas itu dan mengeluarkan isinya. Seketika itu juga air mataku mengalir deras, ketika kulihat bentangan gaun pengantin putih yang begitu indah dan bercahaya pemberian Shyrena. Aku tak mampu berkata apa pun. Aku tak mengerti mengapa ia melakukan banyak hal sedemikian rupa untukku, aku tak tahu budi apa yang pernah kuperbuat untuknya.
Akhirnya hari pernikahanku pun tiba, aku begitu bahagia mengenakan gaun pengantin yang diberikan Shyrena. Aku tak sabar menanti kehadirannya. Sebelum acara dimulai, tiba-tiba seorang penjaga pintu memberitahuku kalau ada seseorang yang menungguku di luar dan sangat ingin bertemu denganku. Saat itu juga aku tahu kalau itu pastilah Shyrena. Dengan segera aku melangkah cepat dan ternyata benar itu adalah dia. Dia yang sangat kucintai dan kukasihi. Dia sahabatku, Shyrena. Ia mengenakan pakaian yang kotor dan wajahnya penuh debu. “Kenapa kamu berpakainan seperti ini?” “Aku minta ijin sebentar pada bossku untuk datang kemari melihatmu mengenakan gaun ini. Dan ternyata benar, kamu terlihat begitu cantik mengenakannya!” katanya dengan senyum. Aku mengeluarkan sapu tanganku dan membersihkan wajahnya dari debu, mataku mulai berkaca-kaca, aku ingin sekali menangis. “Jangan menangis. Aku tidak ingin melihatmu menangis dihari bahagiamu ini?!” Mendengar perkataannya yang tulus, aku langsung mendekap tubuhnya yang penuh debu. “Shyrena, bukan hari ini yang membuatku bahagia. Tapi yang membuatku sangat bahagia adalah karena aku memiliki seorang sahabat seperti kamu.” “Terima kasih, Chelly.. Ayo, pergi masuk ke dalam. Aku tidak mau keluarga suamimu mengetahui kalau mereka mempunyai menantu yang berteman dengan seorang yang kumel, itu akan membuat suamimu malu.” ucapnya sambil membersihkan gaunku dari debu yang berasal dari tubuhnya dengan sapu tangannya. “Tapi aku ingin sekali kamu masuk, dan melihatku. Aku tidak peduli dengan pendapat mereka tentangku. Aku mohon Shyrena, setelah ini aku akan tinggal bersama suamiku di luar kota. Dan kita.. pasti akan jarang bertemu.” ucapku sambil mengenggam erat tangannya. “Jangan takut Chelly, aku akan tetap berada di sini. Lagipula yang memisahkan kita hanyalah jarak, jika kamu merindukanku, kamu bisa mengunjungiku kapan saja ‘kan?” ucapnya dengan senyum yang lembut di wajahnya, setelah itu ia memelukku erat, kemudian ia pergi dari hadapanku. Setelah acara pernikahanku selesai, aku dan suamiku pergi meninggalkan kota kelahiranku, menuju kota kelahiran suamiku.
* * *
Aku tak dasar kalau air mataku sudah mengalir membasahi pipiku, mengenang kasih Shyrena kepadaku. Seduhan suara tangisku membuat suamiku terbangun. “Sayang, kenapa kamu menangis?” “Tidak ada apa-apa.” ucapku sambil menghapus air mataku. “Tidak ada, apanya?” Ayo kita bicara di luar, jangan sampai kita membangunkan Sheren.” ucapnya dengan berbisik. Kami segera meninggalkan kamar dan menuju ruang keluarga, dia menyuruhku duduk dan mengambilkan segelas air untukku. “Ayo cerita, kenapa kamu menangis?” “Aku teringat pada, Shyrena.” “Shyrena?” “Iya, dia sahabat terbaikku. Dialah orang yang telah memberikan gaun pengantin tempo hari, padaku. Dia sangat menyayangiku, begitu juga denganku, dan dia sudah seperti saudara kandung bagiku. Aku tidak tahu budi apa yang sudah kulakukan padanya, sehingga ia berbuat begitu banyak kasih padaku.” “Lantas, di mana dia saat pernikahan kita berlangsung?” “Saat itu ia berpenampilan begitu kotor, ia tidak mau masuk ke dalam ruangan meski aku sudah memaksanya, ia takut membuatmu malu di hadapan keluargamu, karena memiliki istri yang berteman dengan seorang kumel.” “Ya Tuhan?! Kenapa kamu tidak pernah cerita padaku? Di mana dia sekarang?” “Dia ada di kota asalku.” “Besok kita akan menjemputnya. Kita akan memberikan rumah kosong kita yang ada di sebelah untuknya. Sayang, kamu harus tahu, begitu sulit untuk mendapat seorang sahabat sejati. Jika aku menjadi kamu aku tak akan meninggalkannya hidup sendiri dalam kesusahan!?” Saat itu juga aku langsung memeluk suamiku dan menangis di pundaknya. “Aku ingin dia berada di sisiku. Shyrena orang yang telah mengajarkanku arti dari persahabatan dan cinta kasih. Aku akan membawanya ke sini. Aku tak akan meninggalkannya sendiri lagi!!”
Esok pagi pun tiba, aku dan suamiku segera pergi menuju kota asalku, dan menuju tempat Shyrena bekerja. Setelah tiba di sana, aku langsung turun dari mobil, dan di sana kulihat Shyrena sedang mengangkat karung-karung semen menuju gudang penyimpanan. Hatiku bagai teriris pisau berkali-kali, melihat Shyrena yang kukasihi kini begitu kurus, kering, dan pucat. Aku tak sanggup lagi membendung air mataku, dan dengan segera aku berlari mendapatkan dirinya dan memeluknya erat sambil menangis di pundaknya. “Shyrena ini aku, Mischelly. Maafkan aku tak pernah mengunjungimu.” ucapku setelah melepas pelukanku. “Mischelly, aku sangat merindukan kamu?!” ucapnya sambil menghapus air mataku dengan tangannya yang kasar. Sambil menggenggam erat tangannya aku berkata, “Aku tahu kamu akan selalu mengabulkan permintaanku. Karena itu kabulkanlah permintaanku yang satu ini.. ikutlah bersamaku sekarang juga dan jangan coba-coba untuk menolaknya.” Dengan senyuman lembut, ia menganggukkan kepalanya. Dan dengan segera aku membawa Shyrena pergi dari tempat itu, dan kami langsung menuju kota asal suamiku. “Apa kamu belum berkeluarga?” tanyaku sambil membersihkan debu di wajahnya. “Mana mungkin ada pria yang menyukai wanita buruk rupa dan pekerja kasar sepertiku.” ucapnya sambil tersenyum. “Kamu adalah gadis tercantik dan termanis dan terbaik yang pernah ada. Hanya lelaki bodoh yang tak mampu melihat sisi lain dari kecantikanmu.” Setelah itu kami tiba di rumahku, aku mengajaknya turun dan langsung membawanya menuju rumah yang akan kami berikan kepadanya. Ray, suamiku, meninggalkan kami berdua di sana. “Shyrena, sekarang kamu dan keluargamu natinya akan tinggal di rumah ini. Anggap saja ini sebagai hadiah ulang tahun yang selama ini tak sempat kuberikan pada kamu, dan kamu tidak boleh menolaknya!” ucapku sambil menggandeng tangannya. “Kalau begitu, apa lagi yang bisa kuucapkan selain terima kasih banyak pada kamu.” Segera aku membawa masuk Shyrena dan menyuruhnya mandi, setelah itu aku memberikannya pakaian yang rapi dan lebih pantas untuk dikenakannya. Setelah 5 bulan ia tinggal bersama kami, ia bertambah gemuk, wajah dan kulitnya kini menjadi bersih, dan wajahnya yang manis kini telah terlihat jelas. Dan diusianya yang ke 32 tahun, akhirnya ia mendapatkan seorang pria yang tulus mencintainya.
Dan tibalah hari pernikahannya. Aku mengambil gaun pengantin yang dulu pernah dihadiahkannya padaku. “Kali ini, akulah yang akan melihat kamu mengenakan gaun indah ini.” ucapku sambil tersenyum. Dan untuk pertama kalinya aku melihat ia meneteskan air mata, dan memelukku dengan erat. “Kamu adalah sahabat yang paling berarti untukku.” ucap Shyrena. Di acara pernikahannya, ia diminta untuk mengatakan siapa orang yang paling dikasihinya. Ia menjawab, “Orang yang paling kukasihi adalah sahabatku sendiri yaitu, Mitchelly. Aku tidak tahu ia masih mengingat kejadian ini atau tidak, sekitar 27 tahun yang lalu, saat kami duduk di bangku Taman Kanak-kanak. Siang itu aku sangat lapar, aku tidak makan hampir dua hari agar ayah, ibu, dan adik laki-lakiku yang sedang sakit bisa makan, dan disaat itulah ia memberikanku dua potong sandwitch yang cukup besar dan begitu enak, sehingga laparku berkurang. Mungkin itu tidaklah berarti untuknya, tapi tidak denganku yang saat itu hampir mati kelaparan. Dan untuk membalas kebaikannya aku berjanji, selama aku masih hidup dan sehat, aku akan berusaha untuk membuatnya bahagia.” ucapnya dengan senyum manis sambil memandang ke arahku, dan saat itu juga ruangan dipenuhi dengan tepuk tangan penuh kagum, dan air mata haru termasuk juga diriku.
“(Terima kasih, Shyrena)”.
Profil Penulis: Puspita Sandra Dewi, atau lebih akrab dipanggil Puspita atau juga Sandra, lahir pada 17 September 1992 di Medan, Sumatera Utara. Ia adalah putri pertama dari J.M. Bangun dan D.R. Pardede, dan kakak dari Arjuna Walker dan Veronica Trisha. Saat ini ia berkuliah di UKSW dan mengambil jurusan Teologi, angkatan 2010. Ia mulai menyukai dunia tulis-menulis sejak duduk di bangku SMP kelas 2. Ia tidak hanya tertarik menulis novel, tetapi juga menulis cerpen, dan puisi-puisi. Selain menyukai seni menulis ia juga menyukai seni lukis. Hobi yang digemarinya adalah membaca novel, cerpen, dan puisi-puisi. Ia menyukai olahraga renang. Ia juga tertarik membaca mitos-mitos dan mitodologi. Novel yang paling disukainya adalah Sherlock Holmes karya Sir Athur Conan Doyle. Novel yang paling ia kagumi adalah Cecilia dan Malaikat Ariel karya Joshtein Gardeer. Bagi pembaca tercinta yang ingin memberikan kritik dan saran kepada penulis, silahkan kirim e-mail ke: puspitasandra25(at)yahoo.co.id. Blog: http://worldartsandra.blogspot.com