“An, dicari Alwi tuch. Ditungguin di perpustakaan.” “Kok dia engga sms aja, Ly?” “I don’t know..” “Ya udah. Makasih ya, Lely.” Aku mengikuti langkahnya ke perpustakaan. Karena jujur saja aku khawatir dengannya. Hari ini dia bukan Ana yang kukenal. Sambil pura-pura meminjam buku dan akan membacanya di perpustakaan, aku mencari posisi yang tepat supaya bisa melihat dan (siapa tau) bisa mendengar pembicaraan Ana dengan pacarnya, Alwi. “Tapi kamu engga bilang sama aku, Wi. Aku punya salah apa sama kamu? Apa aku selingkuh? Atau gara-gara aku lupa hari ulang-tahunmu kemarin?” “Kamu engga punya salah apa-apa, An. Cuma, sebenarnya aku engga benar-benar sayang sama kamu, An. Aku engga mau terus-terusan bohong sama kamu. Maaf ya.” “Kalau engga benar-benar sayang, kenapa pacaran kita bisa bertahan dari kita SMP sampai sekarang? Empat tahun, Wi. Dan kamu bilang kamu cuma iseng? Atau jangan-jangan kamu mutusin aku karena kamu sudah mau lulus dan kuliah di luar kota? Sebenarnya ada apa sih, Wi?” “Maaf ya.” Lalu Alwi meninggalkan Ana sendirian di perpustakaan. Kejadian di bangku belakangku barusan membuatku terpaku. Apa yang harus aku lakukan? Pura-pura tidak tau dan tidak mendengar? Sedangkan saat ini Ana sangat membutuhkan dukungan dan sandaran, mungkin untuk menangis dan protes atas sikap pacarnya. Belum juga selesai aku berpikir, Ana sudah berada di depanku dengan mata berkaca-kaca. Seolah-olah dia mengatakan kalau dia memang membutuhkan teman, sekarang juga. Aku pegang tangannya dan aku tarik dia keluar dari perpustakaan. Aku ajak dia ke lapangan basket di belakang sekolah. Begitu sampai lapangan basket, Ana langsung memelukku dan menangis. “Aku engga salah apa-apa, Ky. Tapi dia mutusin aku. Aku sayang banget sama dia. Tapi dia cuma iseng. Aku engga terima, Ky.” “Menangislah semaumu, An. Pundak ini ada untuk kamu bersandar. Keluarkan semua kesedihanmu sekarang.” kataku berusaha menenangkan dan membelai rambutnya. ***
Hari pembagian raport. “Ciye… Ciye… Yang juara II paralel.” “Ah kamu apaan sih? Selamat ya, An. Sang juara I paralel. Aku salut sama kamu. Aku belum berhasil mengalahkan kamu dari SMP. By the way, kamu jadi masuk jurusan Bahasa, An?” “Jadi donk! Aku khan calon ahli bahasa! Kalahkan aku di kelas XI Bahasa nanti!” “Siapa takut? Makan, yuk! Aku yang traktir deh.” “Asyiiik!!” Entah dia sudah lupa dengan masalah kemarin, atau dia memang pandai menyembunyikan kesedihannya. Aku semakin khawatir padanya. Tapi aku juga tak tega untuk bertanya tentang masalah itu. Kenapa aku jadi banyak pikiran begini ya? Akhirnya kami berdua makan dengan tanpa ngobrol barang satu topik. Dan aku sudah cukup puas melihat senyumnya hari ini. ***
Empat tahun lalu, hari pertama masuk sekolah. Kelas satu SMP. “Hai, kenalin. Aku Ana. Kamu?” ternyata ada cewek dengan senyum yang sangat indah menghiasi paras cantiknya di kelasku ini. “Aku Lucky.” “Melamun aja? Ntar kesambet lho. Hihihi.. Ke kantin, yuk!” Mulai saat itu, aku kecanduan senyumnya, kecanduan mendengar suaranya, kecanduan keaktifannya di kelas, aku kecanduan dia. Aku juga lah orang yang menyarankan untuk menerima pernyataan cinta Alwi, kakak kelas kami. Sampai sekarang, naik kelas XI, akupun memutuskan untuk memilih kelas jurusan bahasa, kelas yang sama dengan Ana. Selain aku juga sangat menggilai bahasa, karena aku tak mau kehilangan waktu tanpa melihat Ana. Karena rasa kecanduanku itulah, aku jadi sangat khawatir saat dia punya masalah dengan (sekarang mantan) pacarnya itu. ***
“Halo. Ky, you know? Aku menang lomba English Speech Contest di Untag Banyuwangi!” “Wow, congratulation! Ya aku tunggu traktirannya ya! Hehehehe” “Iya, aku dapat voucer makan juga kok. Ntar kita makan bareng di sana ya! Eh, udah dulu ya. Bye..” Bikin hatiku kepanasan sampai kepala ini terasa berasap dan kebakaran karena keikutsertaan dan kemenangannya. Sebenarnya aku juga ikut, tapi naskahku tidak lolos seleksi. Keesokan harinya, saat aku mengajak Ana berdiskusi tentang puisi-puisi ciptaan Sutarji Kalsum Bachri. “Ana san.” “Iya, Sensei (panggilan untuk guru dalam bahasa Jepang)?” “Ana san belum beruntung tahun ini dalam benrontaikai (lomba speech contest dalam bahasa Jepang) tahun ini. Tapi tetap mendapatkan sertifikat dan souvenir kok. Ana san bisa mengambilnya di meja saya. Tahun depan, motto ganbatte ne (lebih semangat ya)!” “Hai, ganbarimasu (iya, saya akan berjuang). Terimakasih, Sensei.” Arang sisa kebakaran kemarin masih berasap, terkena hembusan berita itu, hatiku kebakaran lagi! Bahasa Jepang, aku akan menaklukkanmu! “Teeeeett.. Teeeeett..” bel sekolah tanda sastra Indonesia dimulai. “Selamat siang.” Pak Affan menyapa kami. “Selamat siang, Pak…” seruku dan teman-teman sekelas dengan semangat, karena hari ini Pak Affan akan mengumumkan cerpen siapa saja yang akan dibukukan dalam buku kumpulan cerpen siswa kelas XI. “Kalian semua memang pantas masuk kelas Bahasa. Saya salut pada kalian, karena semua cerpen karya kalian dinyatakan lolos dan akan dibukukan.” “Tapi, ..” lanjut Pak Affan. “.. yang menjadi favorit tim teaching Bahasa dan Sastra Indonesia adalah cerpen yang berjudul ‘Memulihmu’.” Keributan seketika melanda kelasku karena tidak ada seorangpun yang tau judul tersebut karya siapa, dan tidak ada yang mengaku. Aku langsung mencurigai satu orang. Yupz! Siapa lagi kalau bukan teman sebangkuku yang super pintar, Ana. “Kenapa ngeliatin aku kayak gitu?” “Cerpen kamu ya?” selidikku. “Hehehe.. Alhamdulillah..” jawabnya dengan muka datar. Lama-lama aku bisa gosong dibuatnya. Anak ini dikasih makan apa ya oleh orangtuanya? Atau melakukan ritual tertentu? “An, sepulang sekolah, aku main ke rumahmu ya!” “Boleh. Tapi tumben banget tiba-tiba mau ke rumahku. What’s up?” “Nothing. Hehehe.” ***
Sesampai rumahnya, kami disambut oleh ibunya. “Eh, ada tamu to? Siapa ini, An? Pacar baru?” “Ibu, apaan sih? Ini yang namanya Lucky, Bu.” “Owalah.. Ini to yang namanya nak Lucky. Ana sering cerita tentang kamu lho!” Aku hanya tersenyum lebar mendengar hal itu. Senang, tidak percaya, surprise, campur aduk tak karuan. Setelah bersalaman dengan ibunya, lantas kami masuk rumahnya. Rumah yang sangat sederhana. Di ruang tamu ini hanya terdapat meja yang ditata rapi di atas karpet sederhana dan sudah jebol di beberapa bagian. Dinding ruangan yang menghadap pintu berhiaskan foto Ana dan kakak laki-lakinya waktu masih TK (terlihat dari seragam yang mereka kenakan) sedang membawa piala. Ada juga dua lukisan, kucing hutan dan induk burung yang sedang memberi makan anak-anaknya dalam sarang di atas pohon. Terdapat bekas rembesan air di beberapa titik plafonnya. Tebakanku mengatakan kalau pasti ruangan ini bocor di sana-sini saat hujan. Bersebelahan dengan tempatku sekarang bertengger alias duduk, terdapat dua rak buku yang tersusun rapi dan bertanda ‘Ana’ di salah satu rak, dan ‘Afiq’ di rak yang lain. “Sebentar ya, Ana masih ganti baju.” Kata ibu sambil membawakanku segelas air putih dan mi goreng. Mi goreng? Ya, mi goreng. “Ini cuma ada mi goreng. Ndak apa-apa ya? Buat mengganjal perut. Karena ibu tidak masak nasi hari ini. Silahkan dimakan dulu, sambil menunggu Ana. Ibu tinggal dulu ya.” “Iya, Bu. Terimakasih. Ini makanan favorit saya kok, Bu.” Beberapa menit kemudian mi goreng buatan ibu sudah ludes masuk lemari penyimpanan makananku beserta segelas air putihnya, dan Ana pun muncul. Aku mengikuti kegiatan demi kegiatan yang Ana lakukan. Yang pertama adalah duduk-duduk di samping rumahnya sambil mengejakan PR dan tugas yang diberikan guru-guru tercintaku hari ini. Menurut cerita Ana, kursi kayu yang lengkap dengan mejanya ini adalah her and her brother’s request. Katanya sangat nyaman bila belajar di sini. Menghadap kebun singkong dan tanaman kebutuhan dapur yang terhampar di samping rumahnya ini, membuat suasana belajar menjadi sejuk dan hijau yang menenangkan sejauh mata memandang. Benar saja, tanpa terasa kami berdua sudah mengerjakan PR, tugas, sekaligus latihan soal-soalnya selama dua jam! Padahal biasanya aku hanya sanggup berkutat dengan buku paling lama 30 menit. Sugoi (awesome)! Setelah itu, Ana mengajakku ke sebuah ruangan di belakang rumahnya. “Gudang?” komentarku saat Ana membuka pintu ruangan itu. “Ini bukan sembarang gudang, Ky. Ini bengkel kakakku. It’s time to play. Have fun!” “Bengkel, dengan aroma cat yang sangat pekat? Tempat bermain?” Kataku dalam hati. “Hei, bawa teman hari ini?”seorang pria berkacamata menyapa kami. “Iya, kak. Sudah siap?” “Siap donk!” “Kakak duluan.” “Ok!” Mereka setor hafalan kosakata dalam tiga bahasa secara bergantian! Oh my god, Ana menyebut ini bermain? Kalau melihat ekspresi kakak beradik ini hafalan, memang terlihat seperti sedang bermain kuis. Setelah mereka selesai dengan kegiatan ‘bermain’nya, kak Afiq mengajak kami belajar melukis di atas kanvas. You know? Bukan pemandangan atau hewan yang Ana gambar, tapi dia menulis huruf kanji! Dasar calon ahli bahasa! “Eh, tadi kita belum kenalan ya. Aku Afiq, kakaknya Ana.” “Lucky, teman sebangkunya Ana.” “Kak, Ky. Aku kebelet nih. Sebentar ya. Hehehehe.” Kak Afiq bercerita banyak padaku tentang dirinya dan Ana. Dari ceritanya baru aku tau bahwa foto mereka yang dipajang di ruang tamu adalah foto saat menang lomba di kecamatan. Kak Afiq menang lomba menggambar, dan Ana menang lomba baca puisi. dan dua lukisan yang mengapit foto itu tentu saja hasil coretan kak Afiq. “Bapak ibu sudah mengajarkan keberanian pada kami sejak kecil. Berani berbicara dengan guru, berani bertanya bila tidak memahami sesuatu, berani tampil di depan orang banyak, dan berani berkompetisi. Selain itu, belajar dan berlatih adalah kegiatan yang diprioritaskan di rumah ini. Apa pun kegemaran kami, kami diijinkan melakukannya, asalkan dengan ketekunan, keseriusan dan disiplin. Karena aku suka menggambar sejak kecil, aku menekuninya sampai sekarang dan telah memenangkan berbagai lomba dan pernah mengadakan pameran tunggal. Dan kamu pasti tau apa yang disukai Ana. Jadi jangan kaget bila seharian melihat Ana berkutat dengan bahasa dan selalu membawa notebook ijonya itu kemana-mana.” Aku tak dapat berkomentar. Inilah ritual yang Ana lakukan setiap hari sehingga dia bisa selalu menjadi nomor 1. Tapi, pertanyaan masih mengusikku. Apa isi notebook ijonya? Apakah di dalamnya terdapat mantra-mantra yang bisa membuatnya tetap menjadi nomor 1? “Hei, kok bengong? Mau ikut engga?” Ternyata Ana sudah kembali ke bengkel seni ini. “Kemana?” Tanpa menjawab, dia menggeretku ke ruang tamu. “It’s about my lovely green notebook. Tadi aku mendengar kak Afiq cerita tentang bukuku ini. Kalau kamu penasaran isinya, kamu boleh membawanya pulang kok. Tapi besok harus kamu kembalikan lagi. Bagaimana?” “Deal.” Tak terasa siang sudah tergantikan oleh petang. Akupun berpamitan pulang. Tak ada bungkusan yang kubawa sebagai oleh-oleh dari rumahnya. Ilmu? Jangan ditanya, jika ilmu memiliki berat, mungkin aku tak sanggup memikulnya sampai rumahku. ***
Bahkan saat tak bersamanya, aku tetap mendapatkan ilmu baru darinya. Ini mengenai kitab ijo miliknya. Buku itu berjudul ‘My Diary’ pada halaman terdepan, dan berisi daftar kosakata tiga bahasa (bahasa Inggris-Jepang-Arab) yang sudah dia pelajari. Di pojok kanan atas setiap lembar tertulis tanggal secara berurutan tanpa jeda, pertanda bahwa dia mempelajari kosakata baru setiap hari. Dan terdapat semacam curahan hati di lembar paling belakang, Alwi sudah terhapus dalam hatiku. Aku harus fokus untuk masa depan dan cita-citaku. Tiada detik tanpa belajar dan berlatih. Ganbatte, Ana! Ingat pesan Bapak, “JADILAH NOMOR SATU DIMANAPUN DAN KAPANPUN”
You know? Aku malu pada diriku sendiri. Selama ini aku sombong dan sangat puas dengan prestasi yang telah aku raih. Rasanya sangat tidak pantas bila dulu aku merasa terbakar oleh pencapaian-pencapaiannya. Karena aku sama sekali tak melakukan apapun, hanya berlagak sombong dan yakin, tapi dengan kekosongan di dalamnya. Apa yang sudah aku lakukandan usahakan? Motto itu sekarang menjadi motto hidupku juga.
Nama Penulis: Ana Rifqi Jamil