Subuh buta belum tersentuh matahari dinginpun masih menusuk. Tapi, anak-anak di desaku termasuk aku. Akan segera berangkat ke sekolah yang jauh seberang desa ini dan kami harus melewati sungai yang memisahkannya. Namun, tak ada benda melayang diatasnya yang memisahkan sungai. Jadi, setiap akan berangkat kami harus membawa sebuah kayu panjang yang ujungnya pipih dan agak lebar, sendiri karena harus menggunakan perahu kecil yang terbuat dari pohon rotan dan hanya dapat memuat 1 atau 2 orang saja. Bisa juga memuat 3-4 orang jika perahunya agak besar.
Biasanya teman-temanku menjemputku. “Tapi, kenapa hari ini mereka tak menjemput?” aku bergumam dalam hati. “Ya sudahlah, mungkin mereka lupa karena terburu-buru” pikirku tidak memasalahkannya. Aku lari terbirit-birit menyusul teman-temanku, hampir aku melupakan sesuatu yang penting untuk mengarungi sungai dengan perahu ”dayung…ya…dayung” aku merasa ada yang kurang.
Saat di sungai, teman-temanku sudah sampai di tengah sungai sedang aku masih ditepi. “Hei….tunggu aku” ku panggil mereka, tapi tak ada yang dengar. segera ku dayung perahuku menyusul mereka, ku dayung begitu cepatnya, hingga akhirnya”…byuuuuuuuuur…..tolong…tolong…” terceburlah sudah aku ke sungai. Tapi, teman-temanku tak ada yang menyadari teriakanku. Ya, aku memang tak bisa berenang seperti teman-temanku.
Dan saat ini siapa yang akan menolongku kecuali pertolonganNya”Ya Allah yang menguasai langit dan bumi Engkau tahu kesulitan hamba, tolonglah hambaMu yang hina ini agar ada seseorang yang mendengar teriakanku” berdo’a dalam hati. Karena, tubuhku tenggelam dan hanya kepalaku yang bisa muncul kepermukaan itu pun dengan susah payah (muncul…tenggelem…muncul…tenggelem)begitu terus, hingga aku akan pingsan dan tenggelam, sedang temanku makin jauh meninggalkanku, membuatku agak putus asa tapi aku percaya Allah akan menolong.
***
Sampai akhirnya ada seorang kakek tua yang asing bagiku. Rambutnya putih sebahu, raut mukanya misterius tapi tampak ramah dan dia memakai baju kumal agak compang-camping. Yang dengar teriakanku, dia menolongku. Tapi, anehnya dia menyelamatkanku dengan tak biasa seperti lainnya. Dia tak menyentuh air sungai tetapi, dia mengangkat tubuhku melayang diatas air meskipun, tanpa tersentuh olehnya. Dia hanya mengangkat tangannya keatas seperti memohon do’a meniupnya ke sungai ini.
Aku tak sadarkan diri, saat kubuka sedikit mataku masih terlihat remang-remang. Karena, kepalaku terasa pening. Kudapati diriku di tempat yang asing (sebuah rumah gubuk) dan dindingnya penuh dengan foto-foto kemerdekaan dan para pahlawan tertata rapi. Aneh, bajuku tak basah padahal tadi…Tak ku teruskan gumamanku karena tiba-tiba, seorang kakek tua muncul dari balik pintu reot akan rubuh. ”Kaaa…kek membuatku kaget” dalam hatiku tak berani kuucapkan. “Sudah sadar ya?” ucap kakek dengan suara seraknya yang bergigi depan tinggal 3 pasang. “Iiii…ya, kek” dengan tergagap aku jawab. “Apakah kakek tadi yang menyelamatkanku?” aku bertanya. “Iya tapi, yang memberi pertolongan adalah Allah swt. melewati saya”. Sebenarnya ada beberapa hal yang inginku tahu dari kakek. Tentang”Apa yang dilakukannya tadi saat menyelamatkanku? Kenapa aku tak pernah melihatnya di sekitar sungai padahal setiap aku ke sekolah melewati sungai ini?Kenapa bajuku bisa kering?”. Hal-hal lain semacam itu yang tak ku tahu darinya. Tetapi, waktu memaksaku untuk segera pergi karena harus berangkat ke sekolah yang sebentar lagi akan masuk. Tak lupa aku mengucapkan terima kasih dan minta maaf harus buru-buru meninggalkanya”terima kasih banyak ya kek…saya minta maaf harus buru-buru karena sebentar lagi bel masuk akan berbunyi,terima kasiih kek….” ku cium tangan keriputnya, yang begitu harum baunya”semoga saya dapat berjumpa lagi dengan kakek” harapku. Kakek tak menjawab dia hanya menganggukkan kepalanya. Ku ucapkan kembali terima kasih dan kakek membalasnya“semoga cepat sampai di sekolah dan hati-hati dan satu lagi jangan cerita kepada siapa-siapa tentang apa yang kakek lakukan tadi!” kenangnya. “Baiklah kek insyallah saya tidak cerita ke siapa-siapa” tukasku.
***
Ku dayung perahuku dengan hati-hati, membutuhkan waktu lebih untuk ke sekolah. Namun, kali ini aku merasa begitu cepat sampai ke permukaan hanya dalam 5 menit, padahal biasanya butuh waktu 15 menitan lebih lama. “Syukurlah bel masuk sekolah belum berbunyi” kutarik nafas dalam dan ku hembuskan ke udara. “Hei, kenapa terlambat?” terdengar suara tanya padaku, ternyata Hanung si gendut teman sebangku ku. “Iiii..ya” jawabku. “Padahalkan kemarin kita semua sudah berencana berangkat pagi-pagi. Tapi, tak usah menjemput” jelasnya. “Benarkah itu?” tanyaku penasaran. “Haah, kau tak tau tentang itu?malahan kemarin kamu aku teriakin sudah sangat keras saat di sungai dan kau juga menjawabnya …iya…” kembali tanya dengan nada tanya penasaran. “Kayaknya, kemarin itu aku sedang melamun deh..,soalnya saat kamu teriak tak begitu jelas terdengar dan aku berpikir paling tak begitu penting besok kan masih bisa kutanyakan” memutar kembali otakku. “Ooo…makanya tadi kok tak menjemputku” batinku. ”Ya…maafkan aku ya teman” memelas minta maafku pada mereka.” Tak apa tenang saja…” jawabnya santai.
***
“Teeeeeeeeeeet…”bunyi bel, tanda kami harus segera menuju ke lapangan melangsungkan upacara”haaa…aku baru ingat bahwa sekarang giliranku memimpin upacara padahal ku belum latihan untuk ini ”ucapku pada Hanung. ”tapi tak apa kau sudah terbiasa,hehe” balasnya, menyemangatiku. Dan aku begitu bersemangat ketika upacara, tak tau kenapa aku sangat menikmati alunan lagu Indonesia Raya yang mengiringi kibaran bendera “merah putih”yang gagah melambai langit di tiup angin. Aku tarik nafas paling dalam, kulantangkan suaraku hingga serak”hormaaaaat…gerak “. Dan diikuti semua teman-temanku serentak mereka mengangkat tangan ke samping kepala, memberi hormat kepada sang merah putih yang perwira. Bagiku ini laksana obat mujarab penyejuk pikiran yang menjalari tubuh.
***
Bel panjang tanda pulang berbunyi. Aku segera melesat pulang. Hidup memaksaku bekerja meski masih sekolah dasar karena aku hanya tinggal sama ibu, dan adik kecilku tanpa seorang ayah. “Ayah?” aku tak tau ayahku, ibu tak pernah cerita tentangnya. Aku dulu pernah tanya pada ibu ”bu, ayah itu seperti apa orangnya?” ibu menjawabnya”ayah…itu…penyayang, gagah berani…” dari matanya mengalirkan sebuah kejadian tak terhapus dari otaknya. Dan saat itu tak pernah lagi ku tanyakan padanya karena sudah cukup penderitaannya selama ini dan tak mau membuatnya mengingat luka masa itu.
***
Sangat membosankan setiap hari harus mendengar celotehan para warga yang selalu mengkritik, mengkritik, dan mengkritik pemerintah ”aduh apa mereka tidak kesal setiap hari mencaci maki pemerintah saja” pikirku. “Yang tak pecuslah, apalah, apapun tang dikatakan mereka selalu menghina”. Dan yang paling parah mereka biasa kumpul di warung tetangga samping rumahku. Sampai-sampai taplak mejanya adalah merah putih bendera yang sudah agak lama hingga memudarkan warna. Mereka juga hampir setiap tahun tak pernah memperingati Hari Kemerdekaan “sungguh mengenaskan”.
***
7 hari lagi adalah peringatan HUT Kemerdekaan RI. Para warga belum ada yang merencanakan peringatan tentang Hari Merdeka. Tapi sungguh ini adalah kejadian yang mencengangkan, tinggal 3 hari adalah Hari Kemerdekaan, perubahan ini sungguh drastis mereka semua telah sadar di tahun ini sudah banyak yang memasang bendera. Dan hari yang ditunggu pada tanggal 17 Agustus adalah upacara bendera di kampung kami. Sungguh mereka melaksanakan upacara dengan bagus dan mengesankan. Tahun ini adalah tahun dimana paling membahagiakan dari tahun-tahun ketika tidak ada peringatan Hari Kemerdekaan.
Cerpen Karangan: Dian Faiqotul Hikmah