Sore itu madrasah dipenuhi dengan adik-adik yang mau mengaji. Semuanya sekitar 500an anak, yang laki-laki memakai baju koko seperti yang dipakai ngaji pada umumnya. Dik anah merupakan murid kelas 4 di madrasah “Darul Muttaqin”di desaku. Dik anah merupakan 3 bersaudara, kakaknya sudah menikah kemudian dibawa suaminya pergi dan adiknya masih kelas 2 SD. Sore itu seperti biasa saya melihat dik anah berlari berkejar-kejaran melintasi 2 pohon akasia didepan madrasah Darul Muttaqin. Gadis itu tampak riang penuh canda tawa, namun yang membedakan gadis itu dengan yang lain adalah semua temannya menggenggamm jajanan, karena di depan madrasah tersebut banyak sekali penjual, ada yang jualan siomay, empek-empek, bubur, es, cilok dan lain-lain. Harganya cukup murah, sekitar 500an rupiah. Namun dari beberapa hari ini terlihat dik anah tidak pernah memegang jajan seperti teman lain. Terkadang seringkali anak-anak yang seumuran mengejek tanpa rasa dosa. “Bajumu jelek” sindir dik dini “iya, udah jelek kotor lagi, miskin juga” tambah teman lainnya.
Seperti itu pemandangan yang selalu menghiasi hari-hari di madrasah tersebut. Madrasah mulai belajar jam 2, karena biasanya anak-anak SD pulang jam 12 kemudian jam 2 harus sudah sampai di madrasah. Pemandangan yang sangat menyenangkan karena setiap harinya para penerus dan pejuang agama mau belajar di madrasah. Minimal mereka bisa baca Al-qur’an. Tajwidnya lancar, Tauhid hafal : Sifat Wajib Alloh, Sifat wajib Rasul, Malaikat yang Wajib diketahui, 25 nabi dan Rasul. Adik-adik juga hafal Asmaul Husna, dan bahkan ketika mereka sambil bermain mengucapkan Kalimah Asmaul Husna seperti lagu yang dibawakan oleh Ari Ginanjar “Ya Alloh, Ya Rohman, Ya Rohim, Ya Malik, Ya Quddus, Ya Salaam, Ya Mukmin Ya Muhaimin, Ya ‘Aziiz , Ya jabbar, Ya Mutakabbir , Ya Kholiq ” Sambil berkejar-kejaran dan main lompat tali menggunakan karet mereka melafalkan Asma Alloh SWT. Subhanalloh, masa kecil dimadrasah yang sangat indah, ilmu agama menjadi ruh dalam jiwa anak-anak itu. Aku selalu berdoa semoga kelak setelah besar tetap menjadi apa yang aku lihat sekarang. Batinku. Sambil berlarian mereka mengucapkan asmaul husna. namun ada yang menggelitik sore itu, yang lain membaca Ya Rohman, Ya Rohim tetapi adik itu mengucapkan kata yang diplesetkan Ya Menek Ya Manjat, yang berarti dalam bahasa indonesia adalah naik pohon. Lucu sekali melihat tingkah laku mereka seperti ini.
Malam Menghampiriku, senja sudah mulai berubah warna. Mentari kembali terlelap tidur dan tidak menampakkan sinarnya kembali, karena lelah seharian menyinari bumi kami, namun tetap saja mentari bersinar untuk menyinari bumi di sebelah barat.
Maghrib telah tiba, adzan berkumandang dari mushola kecil di deket rumah. Allohuakbar-Allohuakbar.. Mushola yang bernama Baiturrahman. Saya dan keluarga bergegas menuju mushola, begitu juga tetangga kami. Dik anah berangkat ke mushola bersama adiknya , tidak tau kenapa kok cuma berdua dengan adiknya, mungkin saja ibunya sholat di rumah. Setelah selesai sholat maghrib seperti biasa saya mengajar mengaji, walaupun cuma ada sekitar 8 orang tetapi semua itu merupakan generasi yang wajib saya jaga. Malam itu ngaji tajwid dan sampai pada bab Idgam Bighunnah. Seperti biasa seraya saya menuliskan nadzoman beserta artinya pada papan tulis, adik-adik menghafal pelajaran yang kemarin. Jika tidak hafal maka terkena hukuman berdiri sampai ngaji selesai.
Dik anah masih kecil namun rajin sekali belajarnya walaupun sambil menggunakan mukena yang sudah lusuh dan terlihat compang-camping namun dik anah tetap menunjukkan belajar dengan serius. Teman-teman lain juga tidak memandang dik anah sebelah mata. Setelah selesai belajar kemudian ada jadwal untuk adzan sholat isya’ terkadang saling berebut mau adzan semua dan terkadang sama sekali tidak ada yang mau adzan. Dik anah dan adiknya paling kecil karena rata-rata temennya yang mengaji kelas 5 SD dan ada juga yang kelas 2 SMP. Setelah mengaji kebiasaannya adik-adik sambil berlari dan megang tangan temennya supaya batal wudhunya. Sehingga terpaksa mau tidak mau harus wudhu lagi. Setelah wudhu di batalin lagi. Ada yang cemberut ada yang saling mengejek. Begitulah aku temui suasana setiap hari di mushola kami.
Setelah sholat isya’ kami pulang semua, adiki-adik pulang ke rumah ada yang belajar ada yang menonton TV dan ada juga yang langsung tidur mungkin lelah seharian yang pneh dengan aktifitas. Suasana malam itu dingin sekali, spertinya hujan akan turun. Namun sekitar jam setengah 9 malam ada yang memanggil-memanggil dari luar sambil mendorong gerobag angkong atau biasanya di desa kami digunakan untuk melangsir buah sawit.
“Maas, krupuk, krupuuk, mau beli krupuk gak mz”? suaranya penuh semangat Ternyata suara dik anah dan adiknya yang kelas 2 SD. Dik anah mendorong gerobag angkong sebesar itu sambil menjual krupuk yang terbuat dari ubi. Mulai dari RT yang satu ke RT lainnya. Begitulah setiap harinya. Dik anah berjualan krupuk karena ingin memebantu ibunya. kehidupan dik anah apa adanya, jika mengandalkan jualan sayur ibunya setiap pagi saya rasa tidak cukup untuk sehari-hari. Tanah yang berukuran 50 meter saja sudah dijual ke tetangga sebelahnya, sehingga ibunya hanya mempunyai tanah yang ada rumahnya itu saja. Rumahnya kecil dan terbuat dari papan.
“Mas beli krupuk ya?murah kok satu cuma Rp.500?” suara dik anah dengan nada memelas. “Iya, beli empat ya dik” kemudian saya ambil uang 5000an kemudian saya kasihkan sama dik anah. “ini kembaliannya mas, seraya mengasihkan uang Rp 3000 ke saya” “Gak usah, buat jajan dik anah saja ya’?jawabku “Makasih mas” balas dik anah.
Kemudian dik anak menuju ke tetangga satunya, dik anah jualan pada malam hari dari rumah satu ke rumah lain. Begitulah setiap malamnya. Saya yang hidupnya serba berkecukupan sama sekali kurang rasa syukurnya, sedangkan dik anah yang tiap malam menjual krupuk sama adiknya yang juga permpuan tetap semangat dan selalu ceria. Kita selalu merasa kurang, namun jika kita mau belajar seperti apa yang dik anah rasakan maka kita akan mengerti betapa susahnya hidup ini. Bukankah di seminar-seminar ataupun di majlis ilmu telah disinggung betapa pentingnya bersyukur, betapa pentingnnya bersedekah, karena hakikatnya semua yang kita miliki adalah titipan dariNya dan semua akan kembali kepadaNya.
Dik anah biasanya pulang jualan krupuk jam 10 malam, itupun terkadang krupuknya tidak laku. Hampir setiap kali dik anah ke rumahku dengan senang hati kami akan membelinya. Walapun tidak banyak. Dik anah patut dicontoh, setiap harinya beraktifitas penuh namun tidak pernah mengeluh, Kita yang serba ada masih seringkali mengeluh dan selalu saja merasa kurang. Dik anah tetap berjalan melewati indahnya kehidupan yang penuh tandatanya ini. Dik anah ditinggal ayahnya ketika masih berumur 3 tahun. Menurut kabar yang ada ayahnya meninggal karena kebanyakan minum alkohol masa mudanya. Ibu dik anah tiap harinya jualan sayur didesa kami menggunakan gerobag angkong juga. Ketika pagi sampai sore gerobag angkong di pakai ibunya untuk berjualan dan malam harinya dik anah yang mendorong angkong itu sambil menjajakan krupuk ubinya. Gadis kecil ini selalu menebarkan senyum tanpa rasa beban. Dunia itu indah jika kita melihatnya indah dan kita akan menjadi benar-benar manusia jika kita mau berusaha dan berdoa. Dik anah selalu berbagi kebahagiaan dengan siapapun yang dijumpainya, Dik anah berharap kelak masa depannya lebih indah dari apa yang dialaminya sekarang.
Cerpen Karangan: Muhammad Sofyan Arif Blog: http://emsofyan.blogspot.com