Matahari siang ini masih saja terik seperti biasanya, rasanya hanya beberapa jengkal saja dari kepala. Keadaan ini membuat kerongkonganku kering kerontang sehingga memaksa tubuhku untuk dipenuhi haknya. Kuputuskan untuk rehat sejenak di pos satpam sebuah restoran yang sering kulewati. Karena satpam yang menjaga tersebut sudah lama mengenaliku, jadi mudah saja bagiku untuk mendapat ijin darinya.
“Siang ini kita makan apa ya?” seloroh seorang lelaki berdasi kepada kedua rekan sejawatnya ketika turun dari mobil jeep hitam yang mereka kendarai. “Saya tahu restoran Jepang yang menyajikan makanan lezat di sekitar sini, beberapa minggu lalu saya pernah mencobanya.” Jawab rekannya sambil membetulkan letak kaca mata minusnya. “Baiklah kalau begitu, kita akan makan siang di sana” sahut rekan lainnya.
Setelah memarkirkan mobil, bapak-bapak yang diperkirakan berprofesi sebagai pejabat tersebut berjalan bersama menuju restoran yang dimaksud sambil membicarakan berbagai hal. Birokrasi, manipulasi, paradigma, otoritas, eksploitasi dan sederet istilah-istilah asing yang mereka lontarkan entah apa artinya aku tak tahu atau lebih tepatnya aku tak mau tahu apa maksud dari istilah-istilah yang mereka bicarakan itu. Yang terpenting bagiku sekarang adalah bagaimana caranya agar bisa mendapatkan beberapa lembar rupiah untuk membelikan makanan kedua adikku di rumah yang sedari kemarin pagi perut mereka belum terisi makanan secuil pun. Batu kerikil kecil yang biasanya ku ikatkan pada perutnya tampaknya sudah tidak bisa lagi merekayasa rasa lapar sehingga membangkitkan rasa ibaku untuk mencarikan sesuatu yang bisa untuk mengganjal perut mereka.
Sebenarnya sehari-hari aku bekerja sebagai kuli angkut di Pasar Induk, tetapi entah mengapa seharian itu barang ibu-ibu di pasar seolah lari dan tak ingin di sentuh olehku. Alhasil tak ada selembar pun uang yang berhasil aku bawa pulang.
Dengan sedikit berlari aku bergegas mengikuti mereka sambil membunyikan kerecek yang aku pegang, sambil menyanyikan sebuah lagu dari salah satu band ternama di negeri ini. Satu menit berlalu aku mengikutinya, namun yang kutuju tak jua bergeming seakan suaraku hanya angin lalu saja. Mereka masih saja khusyuk dengan pembicaraan mereka. Menit kedua, salah satu dari mereka yang kuketahui bernama Pak Sarto dari tanda pengenalnya menoleh ke arahku menyodorkan lembaran dua puluh ribu rupiah sambil tersenyum dan berucap “ini nak buatmu, semoga bermanfaat.”
Sambil membungkuk ku terima uang itu sambil tersenyum dan mengucapkan terima kasih seraya membayangkan betapa bahagianya wajah adik-adikku melihat aku membawakan sesuatu yang bisa dimakan untuk mereka sebentar lagi. Tiba-tiba saja dengan pandangan sinis salah satu dari mereka berucap. “Buat apa Bapak memberikan uang sebanyak itu kepada pemalas seperti dia? Dia hanya pemuda gelandangan yang mengharapkan datangnya rupiah tanpa harus memeras keringat. Dasar pemalas.” Bagaikan ditimpa tujuh lapis langit, dadaku terasa sesak karena menahan amarah mendengar kata-katanya. Bagaimana mungkin dia menyebutku ‘pemalas’. Padahal dia tidak pernah tahu bagaimana aku harus berjuang untuk mendapatkan uang hanya untuk bertahan hidup hari ini saja. Kalau saja aku tidak memandang Pak Sarto yang baru saja menunjukkan rasa ibanya kepadaku, ingin rasanya aku mendaratkan bogem mentah tepat di mulutnya.
Sambil tersenyum Pak Sarto menjawab “ jangan berburuk sangka dulu Pak Roy, bisa saja prasangka Bapak itu keliru. Ia mungkin tidak punya pilihan lain selain mengamen di jalanan seperti ini. Bukankah lebih baik jika ia mengamen daripada ia merampok atau bahkan yang lebih parahnya lagi membunuh?” Dengan sisi-sisa kesabaran yang ku punya, ku beranikan diri untuk membalas ucapan Bapak tersebut. “Maaf sebelumnya kalau sekiranya kehadiran saya mengusik kegiatan Bapak-bapak.” Dengan nada tinggi Pak Roy menanggapi ucapanku “siapa yang menyuruhmu bicara? Orang sepertimu tidak punya hak untuk berbicara di hadapan orang-orang seperti kami.” Orang-orang yang lewat di sekitar tempat itu melihatku dengan rasa iba.
“Tenang Pak Roy, biarkan ia berbicara. Kapan lagi kita bisa mendengarkan secara langsung ada rakyat yang mau berbicara seperti sekarang ini?” kata temannya yang sedari tadi hanya bertindak sebagai pendengar yang setia. “Iya Pak, biarkan saja dulu ia berbicara” timpa Pak Sarto. “Silahkan nak.” “Ada beberapa hal yang ingin saya katakan. Dulu, Ibu saya pernah bilang kepada saya jika suatu saat kamu jadi pemimpin, maka jadilah pemimpin yang menjadi pelayan bagi rakyatmu. Bukan malah engkau yang minta untuk dilayani. Pemimpin adalah panutan bagi rakyatnya. Wibawa seorang pemimpin tidak di ukur dari berapa banyak orang yang takut kepadanya, akan tetapi berapa banyak orang yang hormat sekaligus segan kepadanya. Dan apakah Bapak pernah berpikir kalau semakin banyak orang miskin seperti saya, maka itu adalah sebagai bukti nyata kegagalan pemimpin-pemimpin seperti anda? Silahkan saja Bapak berbuat sesuka hati. Tapi satu hal yang perlu di ingat, spanduk dan baliho yang bapak pampang pada saat kampanye akan menjadi saksi atas sikap anda ini nantinya.” Tanpa memperdulikan ocehannya, aku segera mengambil langkah seribu menjauhi mereka semua. Dalam hati rasanya puas sekaligus lega karena telah berhasil memukulnya dengan cara yang elegant.
Cerpen Karangan: Nada Aisyah Facebook: Nada Aisyah
Nama Asli : Eka Rahayu Nama pena : Nada Aisyah sejak 2 tahun yang lalu Alhamdulillah diberi kesempatan oleh-Nya untuk melanjutkan study di Universitas Muhammadiyah Malang.