Saat itu rencana keluargaku berlibur ke Pulau Bali. Aku sangat bahagia, karena selama ini aku hanya bisa mendengar cerita teman–temanku yang pernah ke sana, atau melihat di internet situs–situs yang menceritakan keindahan pulau Bali.
Kami sengaja berangkat malam, dengan alasan suasana malam jauh lebih tenang, tidak panas, tidak terlalu ramai, dan cukup indah. Selain itu kami juga akan mampir dulu ke rumah kakek di Surabaya. Ternyata kami tidak menyadari bahwa perjalana malam berresiko tinggi. Saat malam datang rasa kantuk pun tiba. Jika sudah mengantuk, tidak ada obat yang lebih nikmat selain tidur. Aku tidur di bangku belakang sambil memeluk boneka kesayangannku. Sedangkan mama menemani papa di kursi depan. Saat keheningan malam menghampiri, hawa dingin menusuk dada, jalan semakin gelap, ditambah kabut malam yang menghalangi ruas jalan. dan AA………. brakk,….
Tiba-tiba saja ayah hilang kendali saat hendak menyelip sebuah truk pengangkat kayu. Kecelakaan pun tak bisa dihindarkan. Aku sama sekali tidak menyadari saat tubuhku terlempar ke luar, dan kaki kananku terjepit pintu mobil. Setelah kejadian itu, hilang semua kebahagiaanku, keceriaan,dan senyumanku. Hari–hari kupenuhi dengan air mata. Tuhan memang benar–benar tidak adil. Aku,.? Anak sekecil aku, yang masih ingin bermain, berlari, harus kehilangan kaki? kaki yang kuharap suatu saat nanti bisa berjalan mengelilingi ka’bah, atau lari-lari kecil antara safa dan marwah, atau solat di masjidilharram seperti yang pernah orang tuaku lakukan. Dan bahkan sekarang aku tidak bisa lagi melakukan hobiku, bermain bulu tangkis. Olahraga favoriet ku. Dan apa kata teman-teman ku nanti? apa mereka akan mengejekku? si cacat? atau… TIDAK,,….!!!!
Aku belum siap, aku sama sekali tidak siap dengan semua ini. Tuhan memberiku cobaan yang sangat berat, dalam kecelakaan di Semarang itu kakiku hilang, sedangkan orang tuaku hanya luka-luka ringan yang seminggu dua minggu pun sembuh.
Semenjak itu, aku tak bisa mengendalikan emosiku. Aku tak mau sekolah, mudah marah, mudah menangis, dan jarang tertawa. Banyak orang yang aku marahi hanya karna hal sepele. Jika ada teman-teman yang menengok, aku tak pernah keluar kamar. Selalu menolak niat baik mereka. Untungnya, mereka semua mengertiku. Mereka selalu sabar menghadapiku. Mereka tahu bahwa aku sedang depresi berat dan tenggelam dalam kesedihanku.
Suatu saat, aku dimarahi mama karena aku memarahi bibi dengan keterlaluan. Aku menangis, dan pergi dari rumah. Aku berjalan sedikit demi sedikit dengan bantuan tongkat menuju tempat favorietku. Tempatku melampiaskan amarah, dan kesedihanku. Aku menangis lepas disana, tidak mempedulikan mamaku dan keluargaku yang mencariku kian kemari. Aku duduk di kursi taman yang tak jauh dari perumahanku. Disampingku duduk 2 orang yang memakai pakaian tidak layak. Seorang perempuan seusiaku, dan satu lagi seorang laki-laki yang usianya di bawah usiaku yang sedang menangis.
“de, kamu kenapa?” tanyaku penasaran “aku kasihan pada kakaku.” Jawabnya sabil tersenggal-senggal. “itu,,kakakmu?” timpalku sambil melirik ke sebelah kanan anak itu. “iya, semuanya gara-gara ayah” Aku mulai mendekatinya, “memangnya kenapa ayahmu?” aku semakin penasaran “semua ini karna ayah, kakaku buta sejak lahir. 3 minggu yang lalu ibu meninggal. Setelah ibu meninggal aku dan kakak sering dimarahi ayah, bahkan tadi pagi ayah memukul kaki kakak, hingga kakak tidak bisa berjalan. Lihatlah kakinya.!” Jelasnya dengan suara lirih sambil menunjukan ke arah kaki kakaknya yang memar dan, aw… kelihatannya sangat sakit. “teganya..dimana rumahmu dik?” “aku tak punya rumah sekarang, ayah tak bisa membayar kontrakan, ia pergi meninggalkan kami, dan kami diusir oleh pemilik kontrakan.”
Aku tak bisa berkata apa-apa. Cerita adik kecil membuatku iba dan tiba-tiba saja hatiku sakit, itu menyadarkanku bahwa ada orang yang lebih menderita dariku. Tiba-tiba mama datang menghampiriku “Sayang..maafkan mama..kamu kemana aja sih? mama khawatir sama kamu.” Cerocosnya sambil memelukku. “Mah, kita harus menolong adik kecil ini dan kakaknya.” jawabku tanpa menghiraukan ucapan mama tadi. “Memangnya?” tanya mama sambil mengerutkan keningnya. Kemudian aku menceritakan apa yang terjadi kepada kakak beradik itu. akhirnya aku dan mama sepakat akan membawa mereka ke rumah sebelum mendapat perlindungan dari KOMNAS PERLINDUNGAN ANAK. Dan kami yakin papa juga pasti setuju dengan hal ini.
Setelah itu, aku menyadari bahwa aku orang yang sangat-sangat beruntung. Aku disayang orang tuaku, teman-temanku, dan saudara-saudaraku.
Tuhan… Ternyata aku salah selama ini. Kau adil bahkan sangat adil. terimakasihTuhan atas segala nikmatmu. Maaf aku tak mensyukurinya. Sekarang aku sadar bahwa dibalik penderitaanku masih ada yang lebih menderita.
Cerpen Karangan: Zakia She Azhura Blog: zuemongx.blogspot.com