Furqon tertunduk, khusyu’ meresapi kuliah tujuh menit di akhir shalat Isya’ berjamaah di masjid Taqwa. Ustadz Ihsan mengulas surat Ar-Rum ayat 21, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Ia menciptakan untukmu dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya di antaramu rasa kasih dan sayang.” Sejenak Furqon menilik ke dalam hatinya, ada yang telah menorehkan jejak kasih sayang di sana. Jejak yang lembut dan hangat, bagai selimut beludru yang menggoda. Di hatinya, kini ada cinta yang meluap dan bergejolak. Cinta yang diharapkannya bukan sekedar angan-angan. Furqon menutup mata dan merenung kembali. Ia tahu, mungkin Tuhan menentang rasa sayang ini. Tapi dalam hati seseorang itu, Furqon menemukan ketenteraman. Lalu di manakah letak kesalahannya? Karena sesungguhnya, ia dan seseorang yang telah mencuri hatinya hanyalah dua manusia yang terjebak dalam sebutan Tuhan yang berbeda. Dalam diam, Furqon berdoa, “Ya Allah, berikan kelapangan hati bagi hamba dan dirinya. Dengan KekuasaanMu, dekatkanlah kami kepada jalan takdir kasih sayang yang penuh dengan ketenteraman yang Engkau janjikan.”
Manik-manik kalung Rosario berwarna keemasan itu berputar ringan di sela-sela jemari Eli. Mulutnya bergerak-gerak, menyuarakan Salam Maria berulang-ulang. Renungan indah hari ini, “Orang yang mengasihi adalah anak Allah, dan ia mengenal Allah. Orang yang tidak mengasihi, tidak mengenal Allah. Sebab Allah adalah kasih (Yohanes 4:7,8)” Sejenak Eli bergumul dengan pikirannya sendiri. Saat ini, hatinya penuh dengan kasih. Ada nama yang selalu hadir di setiap mimpi dan doa. Hari-harinya bahagia dan suka cita bersama seseorang. Ah, Tuhan. Apakah perasaan cinta ini salah? Bersamanya, Eli merasa utuh dan sempurna. Bahkan, Eli merasa dirinya bisa lebih mengenal Allah. Mengapa kasih harus memandang label yang berbeda? Tepukan halus di bahu membuyarkan lamunannya. Bapa Matius tersenyum dan membenarkan letak rosario Eli yang hampir terlepas dari jari-jarinya, “Jangan termenung, Anak. Mengadulah pada Tuhan.” Eli tersenyum canggung. Lalu menunduk sambil mengucap maaf. Lamat-lamat ia mengumandangkan doa, “Bapa di surga, telah dimuliakan namaMu di atas bumi. Salam Maria, penuh rahmat, Tuhan sertamu. Terpujilah nama Yesus, sekarang dan selamanya. Berkatilah hati ini untuk berkasih sayang. Kepada seseorang yang juga mengasihi Tuhannya, sama besar dengan aku mengasihiMu.”
Furqon mengemasi doanya bersama malam yang gelap. Ia berjalan ke tempat parkir yang sepi, menunggangi motor lalu menyalakan mesinnya. Belum sempat ia mengenakan helm, ponselnya berdering. “Halo. El?” “Udah kelar sholatnya, Qon?” “Baru aja keluar masjid. Lu udah selesai rosario?” “Yup. Ketemuan yuk. Di Café Lulang. Pengen pie tuna nih…” “Sip. Gue ajak Cinta sekalian, ya. Dia sms, pengen makan bareng sebelum Nyepi.” “Cinta? Dengan senang hati. Ahahaha…” “Girang amat. Inget ya, bersaing secara sehat, Elian.” “Beres. Laki-laki sejati nggak ingkar janji.” Call ended. Furqon tersenyum. Elian, sahabatnya sejak masih dalam balutan seragam putih-merah hingga kini telah sama-sama bekerja menantang dunia. Sahabat yang sudah seperti saudara. Tapi permainan takdir kepada hati manusia memang tidak bisa ditebak. Entah mengapa, dari milyaran jiwa di dunia, dirinya dan Elian harus mencintai Cinta yang sama. Furqon memencet tombol panggilan cepat di ponselnya. Nada panggil berdering dua kali sampai akhirnya terdengar suara yang renyah dari seberang. “Ta, masih di pura? Aku jemput sekarang ya…”
Cerpen Karangan: Nina Noichil Blog: http://noichil.wordpress.com