Siang itu panas sekali, “Fuih… panas sekali, mungkin es kelapa muda bisa menghilangkan rasa dahagaku ini” pikirku yang sedang menunggu bus di halte bus sambil menahan rasa hausku ini. Ah, sudah lima belas menit aku menunggu di halte itu namun tak kunjung datang bus yang kutunggu-tunggu. Tak lama kemudian, seorang bapak-bapak menghampiriku. Bapak itu, dengan langkahnya yang berat penuh pengharapan dan kulitnya yang keriput serta perawakannya yang kurus dibalut kaos putih yang kelihatan lusuh dan celana pendeknya berjalan mendekat dan sampailah ia pada jarak kurang dari satu meter di hadapanku.. “Permisi, apa anda Aldi, yang kerja di toko elektronik itu?” tanya bapak itu sambil menunjuk toko elektronik tempat kerjaku di seberang sana. “Iya, ada apa pak?” jawabku dengan agak tak kupedulikan. “Anu, saya mau menjual televisi saya” “ya, bisa pak, tapi dimana barangnya?” “Di rumah saya, mari ke rumah saya, gak jauh kok dari sini” ajak bapak itu.
Akhirnya bapak itu pun membawaku ke rumahnya. Tak jauh memang, tapi karena panas kurasa membuatku sangat lelah. Akhirnya aku sampai di rumah bapak ini. “Jl. Flamboyan no. 9” kubaca alamat rumah ini. Saat ia buka pintu rumahnya, bau tak sedap menusuk hidungku. Aku tak mau menyinggung perasaan bapak ini dengan tidak menutup hidungku. Walaupun aku tak suka dengan bau itu, kuberanikan diri untuk memasuki rumah ini. Di dalam rumahnya, terdapat sedikit sekali barang-barang berharga. Setelah kutelusuri rumah ini dengan penglihatanku, hanya kudapati lemari, meja makan, dan televisi saja. “Ya Tuhan, masih ada saja orang-orang yang masih belum beruntung” pikirku seraya memandang sekeliling tempatku duduk. Tampak temboknya terkelupas seakan dindingnya mau ambruk, atapnya bolong-bolong, aku tak dapat membayangkan bagaimana keadaan rumah ini saat hujan, pasti basah. Untung sekarang masih ujung musim kemarau.
“Maaf ya pak, rumahnya jelek” ujar bapak itu kepadaku basa-basi. “Oh, gak apa kok pak. Oh ya, dimana televisinya?” ucapku mengakhiri basa-basi kami “Oh itu, di atas meja itu” jawab bapak itu sambil menunjuk televisinya yang kupikir sedikit lebih bagus daripada televisi jadul. Tiba-tiba, dua anak kecil berlari dari luar memasuki rumah ini, akupun sempat kaget dibuatnya. Tanpa memedulikan keberadaanku dan bapak ini. Dua anak itu langsung menghidupkan televisinya. “mereka siapa, pak?” tanyaku kepada bapak ini memecah pikirannya. “mereka anak-anakku” Akupun sempat berpikir, andaikan televisi ini aku bawa, kasihan kan anak-anak itu. Kupikir mungkin televisi adalah satu-satunya hiburan bagi keluarga kecil ini.
“lalu, kemana ibu mereka?” tanyaku lagi. “Istriku…” ia tak mau menyelesaikan kalimatnya dan seperti akan mengalihkan perhatianku. Mungkin ada sesuatu yang menimpa istrinya dan membuat bapak ini sedih ketika membicarakan masalah istrinya. “..Bagaimana pak? Apa anda berkenan membeli televisi ini?” tanya bapak itu memecah pikiranku. Baru pertama kali ini aku dihadapkan pada keadaan seperti ini, apa aku harus memilih antara barang dan uang atau memilih sentuhan kemanusiaan dan empatiku, terutama pada anak-anak itu.
“Mau diapakan pak televisi kita?” tanya salah satu anak kepada bapak ini. Aku merasa sangat kebingungan dan pikiranku terombang-ambing. “Ya Tuhan, tolong aku !” ucapku dalam hati meminta bantuan kepadaNya. Tiba-tiba tanpa kusangka terucap dari mulutku, “maaf pak, saya tidak bisa?” “lho ! kenapa?” tanyanya begitu kaget. “kasihan anak bapak kan, kalau seandainya televisi ini saya bawa” ucapku lirih. “biarlah anak saya mencari hiburan di luar rumah. Ayolah pak beli televisinya!” bapak itu memaksaku, aku tak kuasa untuk mengiyakannya, aku tak bisa membawanya!!. Tiba-tiba terlintas dalam pikiranku untuk keluar dan meninggalkan rumah ini. “maaf pak, saya tidak bisa membawa televisinya” ucapku sambil segera membawa tasku dan meninggalkan rumah di Jl. Flamboyan no. 9 ini.
Keesokan harinya, jam menunjukkan pukul 9.34, pikirku masih terbayang akan kejadian kemarin siang. Apa aku harus membawa televisinya? Kurasa keluarga itu sangat membutuhkan uang. Uang? Apa aku harus memberinya uang? Lagipula aku sudah lama tidak bersedekah, dan bapak itu sangat membutuhkan uang. Akhirnya dengan membawa amplop berisi uang dan selembar kertas yang telah kutuliskan sebuah pesan, aku melangkah meninggalkan rumahku dan dengan sepeda motorku aku menuju ke rumahnya. Aku mencari alamatnya, Jl. Flamboyan no. 9. Sesampainya di rumah itu, aku segera menaruh amplop dan surat itu di sebelah dalam jendela rumahnya, dan akupun segera pergi.
Bapak itu melangkah begitu beratnya dan mengayunkan tangannya menggapai gagang pintu rumahnya. Dengan berat pula ia membuka pintu dan memasuki rumahnya. Ketika ia melihat ke jendela. “amplop apa ini?” tanyanya menyelimuti pikiran. Ia membuka amplop itu dan betapa terkejutnya ketika ia mendapati lembaran kertas merah bertuliskan seratus ribu rupiah yang sangat banyak. “masya’allah !! uang dari mana ini?” bapak itu terkejut. Ia pun merogoh amplop tadi dan menemukan selembar kertas bertuliskan : “Maaf pak, jangan jual televisi itu, kasihan anak-anak bapak”. Ucapan puji syukur yang ia ucapkan kepada Tuhan memenuhi atmosfer ruangan di rumah Jl. Flamboyan no. 9 itu.
Cerpen Karangan: Dicky Cahyo Facebook: dickyjames.p.peverell[-at-]facebook.com