“Sial!” Danu mendesis kesal. Ia membungkukkan badannya sampai sembilan puluh derajat, dengan napas yang belum stabil. Keringat mulai membasahi tempatnya berpijak. Bagai gutasi di ujung daun, peluh itu turun satu-satu dari rambutnya yang meruncing karna basah. Terik matahari membakar lintasan lari yang berwarna kemerahan.
“Latihan lagi ya Dan. Kalau di dalam sekolah saja kalah dengan Topan, apa kabar di tingkat Provinsi minggu depan? Ini baru simulasi tingkat kota Dan. Di tempat kedua saja tidak cukup. Rekor larimu masih kalah jauh dengan Topan.” Seorang laki-laki paruh baya menepuk punggung Danu. Danu lantas berdiri dengan tegak, menghadap laki-laki itu. Namanya Setya dia pelatih tim atletik di SMA. “Kita beruntung, sekolah kita punya dua kandidat yang lolos. Memang lebih beruntung lagi kalau kita dapat dua tempat di podium juara. Tapi, lakukan saja sebisamu.” Kata Setya lalu beranjak menuju Topan. Mereka saling berpelukan. Ish berasa sudah menang?! Percaya diri sekali. Pikir Danu kesal.
Danu melangkah gontai menyambar tasnya yang tergeletak di pinggiran lintasan, Ia bergegas pulang. “Dan!” Tanpa menoleh Danu sudah tahu suara siapa itu. “Apa?” Jawabnya malas. Topan menghampirinya dengan senyum lebar. “Bagaimana simulasi kali ini?”, “Biasa saja.” Danu melanjutkan perjalanan. Topan berjalan mengimbangi. “Tadi ada wartawan Majalah Remaja, katanya mereka akan mewawancarai pemenang lomba lari 800 meter minggu depan. Haha aneh ya belum lomba tapi mereka sudah menemuiku. Aku jadi tidak enak. Maksudnya apa ya?” Katanya santai. Tidak terdengar angkuh tapi kata-katanya seperti pemandu sorak yang sedang menyoraki kekalahan Danu. “Mungkin mereka takut kau mati sebelum tanding.” Kata Danu ketus. Topan memperlambat langkahnya. Lalu kembali mengimbangi Danu. “Hey hey jangan ketus begitu. Mungkin mereka masih punya rubrik yang kosong, seperti ‘Sebuah Kekalahan’ atau ‘Depresi Remaja’. Dan kau bisa jadi narasumbernya.” Kata Topan meledek. Kali ini Danu yang berhenti melangkah. Lalu menatap Topan. “Aku lebih suka mengisi harian kriminal, dengan headline tebal bertuliskan ‘Mutilasi Rival Mulut Ember’. Bahkan aku tidak keberatan wajahku tidak diblur sebagai cover.” Kata Danu dingin. Topan diam tak berkutik. Kata-kata Danu cukup mengerikan. “Hey, jangan sombong begitu. Selamat kalah ya minggu depan!” Topan berteriak mengiringi Danu yang semakin menjauh. Danu hanya menggerutu, tidak menyahut lagi.
***
“Brak.” Suara pintu dibanting. Karin tengah duduk di ruang keluarga sambil menonton drama di TV dengan suara pelan. Karin hendak melihat siapa yang akan lewat. Sejujurnya ia sudah bisa mencium bau adiknya dari sini. Karin memeluk kaleng kue dan mengambil satu buah kue dari dalamnya. Danu grasak-grusuk masuk ke ruang keluarga lalu membanting badannya di sofa, tepat di sebelah Karin. Kemudian ia merampas kaleng kue dari Karin. Mengobok-obok isinya dan memakannya rakus, meskipun terlihat kesal. Ia meletakkan kaleng itu di meja kaca dengan kasar. Karin memelototi adiknya. Kalau sudah begini, berarti adiknya sudah ngamuk sekali. Karin memberanikan diri untuk bertanya. “Kalah lagi?” Danu melirik Karin dengan ujung mata. “Aku memimpin di detik awal. Tiba-tiba si Topan melewatiku dan bertahan di depan. Aku tahu dia mendapat pelatihan ekstra dari Pak Setya, lagi pula sepatu larinya itu sangat mahal dan berkualitas. Ringan dan membantu pelari ortodok seperti dia, melesat bagai angin. Kurang ajar.” Danu mendumel. “Lantas kau mau bagaimana sekarang?” Tanya Karin. “Entahlah, aku telah memberikan semua usaha yang aku bisa. Tapi kenapa aku selalu kalah? Bahkan di sekolahku sendiri aku sudah kalah dengan Topan. Apa lagi di tingkat Provinsi? Apa aku lebih lambat dari siput? Lelah rasanya, tapi kalau mundur tidak mungkin.” Keluh Danu. “Mungkin memang kau begitu.” Kata Karin sambil mematikan TV. “Terimakasih pujiannya.” Kata Danu sebal. “Itu menandakan kalau kau adikku. Kepayahan itu adalah identitasmu, bukan?” Karin meledek. “Itu juga menjawab siapa kakakku. Aku payah, bagaimana kakakku?” Sahut Danu retoris. Karin melemparkan bantal sofa pada adiknya. “Itu tandanya kau tidak sungguh-sungguh.” Karin menepis bantal yang berbalik ke arahnya. “Kurang apa? Berlatih, dan menabung untuk beli sepatu sendiri memang tidak mencerminkan kesungguhan??” Danu mulai kesal dengan situasi ini. Karin memutar otak, kalau dipikir-pikir memang Danu sudah pol-polan berlatih. “Pasang target. Misalnya bisa keliling lapangan sekolah dalam waktu lima detik.. Lalu”, “Kau gila?” Danu memotong omongan Karin. “Kau yang gila. Baiklah, kalau tidak lapangan sekolah coba yang lebih sederhana seperti mengalahkan Topan. Atau hal-hal ekstrim lainnya.” Lanjut Karin “Cih. Itu namanya bukan target. Tapi eksperimen terhadap diri sendiri.” Kata Danu pesimis. “Kata-katamu itu menandakan kalau kau mengakui ketidakmampuanmu.” “Realistis kak. Bedakan itu. ini hidup nyata, target kalau dijadikan eksperimen hanya buang-buang waktu.” Karin mendengus pelan. “Kau seperti mau mati besok saja. Lagi pula target memang terkait eksperimen kan? Bisa jadi rasional, dan nyata. Bisa juga tidak. Proses realisasinya adalah tahap percobaan. Yaitu eksperimen yang kau bilang tadi. Tapi aku lebih senang menyebut target itu ‘mimpi’.” “Jadi, apa yang harus aku lakukan dengan ‘mimpi’ itu?” Danu merendahkan suaranya. Mulai tertarik dengan topik ini. “Ingatlah mimpi-mimpimu ketika kau jatuh dan lelah. Supaya bisa bangkit lagi.” Jawab Karin ringan. “Caranya? Maksudku aku bermimpi setiap malam dan mendapati diri terlupa di pagi hari. Bagaimana aku bisa mengingatnya. Dan bagiku semua mimpi juga tetap sama. Bunga tidur, lamunan, dan apa yang kusebut target. Kadang semuanya seperti kabut. Hanya bisa menggelapkan pandangan. Sekalipun mendekati kenyataan, terasa seperti labirin. Rumit. Berkelok-kelok. Dan aku tidak dapat peta untuk keluar dari sana.” Karin mendengarkan seksama. Lalu menggaruk tengkuknya. “Orang yang ada di hadapanmu lebih mudah kau ingat meski sudah berpisah, daripada orang yang ada di foto.” Danu menunggu kelanjutannya. “Kau harus membuat mimpimu itu jadi begitu nyata. Terlalu dekat untuk kau lupakan. Ibarat manusia sebagus apapun pigura yang mengelilinginya, sosok asli tentu saja lebih mudah kau ingat dibanding hasil cuci klise. Buatlah dia nyata.” Danu terdiam beberapa saat. “Dan bagaimana? Aku harus membuat gambarnya menjadi bentukkan tanah liat?” “Ya!” Karin memetik jari. “Kau benar. Buat benda tiga dimensinya. Dari batu kalau perlu, supaya awet. Jadi kau harus memahatnya.” Kata Karin menatap adiknya. Danu terkekeh pelan. “Jadi begini, kau harus punya alatnya..” Karin memasang wajah serius. “Oke. Apa?” sahut Danu. “Seperti mesin… Oh aku tahu mesin pemahat mimpi. Itu nama alatnya. Fungsinya untuk membuat mimpimu yang berbentuk khayalan sederhana, menjadi suatu bentuk signifikan. Tiga dimensi.” Danu mendengarkan serius. Ada senyum melengkung di wajahnya. “Bayangkan, sensasi petualangan tiga dimensi yang akan kau rasakan. Contohnya, lomba lari minggu depan. Dengan alat itu kau bisa merasakan bentuk piala juaranya, mencium bau kemenangannya, dan kerasnya emas murni pada medalinya. Terlalu nyata untuk jadi angan. Visualisasi menkjubkan. Lebih dari sekedar teknologi LED 72 inchi. Merangsang neuron-neuron ditubuhmu, membuat suatu gerak kompulsif yang meruntuhkan segala sesuatu yang menjadi hambatan dan ketakutanmu. Dan kau akan meraih mimpi itu dalam dunia yang sesungguhnya. Bukan lagi maya, namun nyata. Eksistensi dari kemenangan itu sendiri.” Jelas Karin Danu terperangah. “Teori yang bagus. Sekarang, berikan aku mesin pemahat mimpi itu. agar visualisasi mimpiku jadi lebih nyata.” “Kau harus membelinya.” Kata Karin serius. “Dimana?”, “Hati. Department store of morality.” Karin membetulkan posisi duduknya. “Lalu, aku harus bayar dengan apa? Darah?” “Bukan. Tapi tekad. Ada banyak di sudut lain hatimu, bersebelahan dengan si penjual mesin tadi. Hanya saja tekad dengan kualitas bagus sulit di dapat. Kalau mau dapat, bersungguh-sungguhlah.” Kata Karin sambil menepuk pundak adiknya. Danu memandangi kakaknya kagum. Atas ilmu dan sedikit ketidak warasan gadis itu. “Oh ya, apa mesin itu ada cara kerjanya?” tanya Danu lagi. “Tentu. Yaitu, berhentilah menyalahkan ketidakmampuanmu, kesalahamu di masa lalu, siapa rivalmu, seberapa mahal sepatunya, dan yang terpenting berhentilah lari dari tantangan yang harusnya kau pecahkan. Tapi mulailah untuk fokus pada mimpimu, meningkatkan kemampuanmu, mensyukuri apa yang kau punya, dan menyadari bahwa semua hal dari sepele sampai yang kompleks sudah ada yang mengatur.” Kali ini Danu merasa cukup. Ia merasa bodoh telah mengeluh selama ini. Sungguh malam ini punya pembicaraan yang sangat menarik, dan berharga. “Baiklah, aku harus pergi. Terimakasih untuk pembicaraan kali ini. harus kuakui kau hebat.” Danu beranjak dari sofa, menuju kamarnya. “Memangnya kau mau kemana?” Tanya Karin sambil tertawa pelan. “Bersiap-siap. Ke Department store of morality.”
***
Ribuan orang memadati kursi penonton yang mengelilingi area atletik. 28 peserta dari satu provinsi siap memperebutkan sebuah medali. Danu melakukan pemanasan. Ia masih ada di pinggir lapangan, Karin menghampirinya. “Jadi bagaimana untuk hari ini?” tanya Karin pada adiknya. “Aku sudah membeli mesin pemahat mimpi, dan hasilnya luar biasa. Aku bisa melihat pemandangan dari podium kemenangan nanti.” Kata Danu santai. “Baiklah, bagaimana kalau kau kalah.. maksudku tidak ada mesin yang bekerja sempurna, kan?” Lanjut Karin. Danu tersenyum ramah. “Aku masih punya sisa tekad. Karena kalau bukan di lapangan ini, dan bukan saat ini, masih ada podium lain yang menanti kakiku untuk berpijak disana.” “Aku tahu kau siap.” Karin berdecak salut.
***
Peluru siap ditembakkan ke langit. Suasana di lapangan tambah memanas karena matahari dan lebih-lebih semangat para peserta lari. Topan tersenyum sinis pada Danu. Sementara Danu membalasnya dengan senyum ramah. Begitu suara tembakkan terdengar dua puluh delapan pasang kaki mengayun menuju tujuannya. Dan bagi Danu tujuannya adalah kemenangan. Menyongsong sinar matahari. Merengkuh kemenangan itu ke dalam dunia nyata. Produk mesin pemahat mimpi segera menjadi nyata!
Cerpen Karangan: Ajeng Laksmi Facebook: http://www.facebook.com/ajeng.laksmi Jakarta