Namaku Riani, umurku 15 tahun. Aku adalah anak tunggal dan sekarang aku tinggal bersama orang tuaku. Sejak kecil aku selalu di manja oleh orang tuaku, mungkin karena aku adalah anak tunggal. Meskipun semua kebutuhanku di penuhi aku selalu merasa kesepian karena aku selalu merasa terasing di pergaulan.
Hari ini adalah hari ulang tahun bundaku, aku dan ayah menyiapkan sebuah pesta kecil untuk merayakannya. Aku dan ayah pergi ke sebuah pusat perbelanjaan di kotaku, disana kami membeli beberapa perlengakapan untuk pesta. “maaf,” kataku saat aku secara tidak sengaja menabrak seseorang di parkiran, “iya, tidak apa-apa,” jawab orang yang kurasa umurnya sebaya denganku, “kenalkan, namaku Riani,” ajakku berkenalan dengan ku sodorkan tanganku, “aku Ranika,” ucapnya kaku. Karena menunggu ayah yang sedang mengambil mobil, Ranika menemaniku, kami berbincang tentang banyak hal dan saat itu aku tahu bahwa dia tidak bersekolah karena harus menghidupi adik dan ibunya. “aku pulang dulu ya Ran,” kataku tersenyum, Ranika hanya membalas dengan senyum dan lambaian tangan. Aku bahagia karena aku mendapat teman baru.
“selamat ulang tahun Bunda,” kataku dan ayah bersamaan, “moga panjang umur ya bun,” kataku sambil memberikan sebuah cup cake dan kado kecil untuk bunda, “iya sayang, terimakasih ya,” jawab bunda dengan tersenyum manis padaku. Malam ini aku terdiam dan memandangi bintang yang seolah sedang menyapaku. Aku teringat dengan teman baruku, Ranika. Aku kasihan padanya, dia rela tidak sekolah demi adiknya dan ibunya yang lumpuh. Setelah pulang sekolah aku langsung menuju ke pusat perbelanjaan dimana aku bertemu dengan Ranika. Aku mencari-cari Ranika di antara kerumunan orang yang ada, hingga ada seseorang yang mencubitku, “hai manis, lagi ngapain kamu disini? Ikut aku aja yuk,” kata orang yang kurasa seumuran dengan ayahku, “maaf pak, saya sedang menunggu teman saya,” jawabku singkat, “kalau begitu bapak temenin ya,” kata orang itu lagi sambil memegang tanganku. Karena merasa terganggu, aku langsung berteriak minta tolong, bapak itu pun langsung berlari melihat reaksiku. “Riani?” Tanya orang di belakangku, “Ranika?” jawabku setelah ku lihat orang yang memanggil namaku. Aku langsung mengajak Ranika masuk ke sebuah tempat makan karena kulihat wajahnya pucat pasi seperti belum makan. “ngapain kita kesini Ri?” Tanya Ranika bingung, “ya makan lah, masa kita mau ganti baju disini,” jawabku. Aku langsung memesan makanan dan minuman untukku dan Ranika, “ayo kita makan Ran,” ajakku. Ranika mengiyakan hanya dengan anggukan kecil, kutebak dia termasuk orang yang pendiam.
Setelah kami selesai makan, kami tidak langsung beranjak pergi. “Ran kenapa kamu lebih milih kerja dari pada sekolah?” tanyaku, “karena aku berasal dari keluarga tidak mampu Ri, sesungguhya aku ingin sekali menuntut ilmu,” kata Ranika murung, “kamu beneran mau sekolah Ran?” tanyaku, “iya Ri. Tapi aku hanya bermimpi, aku tidak mampu untuk membayar uang iuran sekolah itu, aku bekerja saat ini juga untuk mengumpulkan uang agar aku bisa kembali melanjutkan sekolahku tanpa membebani siapapun,” jawab Ranika, “memangnya dimana ayah kamu Ran?” tanyaku, “ayahku pergi meninggalkan kami karena tergoda oleh wanita lain Ran,” jawab Ranika ingin menangis. Karena reaksinya, akupun berhenti bertanya. “dia benar-benar ingin sekolah,” kataku lirih.
Setelah memesan makanan untuk di bungkus dan membayarnya, aku dan Ranika langsung keluar dari tempat makan tersebut, hampir semua orang menatap Ranika dengan tatapan aneh, tetapi Ranika hanya menundukkan kepalanya dan diam. “ini Ran untuk kamu dan ibu kamu,” kataku dengan memberikan makanan yang sudah kubeli, “nggak usah Ri, nanti merepotkan,” jawab Ranika, “nggak kok, lagian ayah dan bunda aku pasti udah makan malam duluan, aku pulang dulu ya Ran,” kataku sambil pergi meninggalkan Ranika.
Malam minggu seperti biasa aku berkumpul dengan ayah dan bunda, aku membicarakan tentang Ranika yang ingin sekali bersekolah. “siapakah temanmu itu nak? Dan dimana kamu bertemu dengan anak itu?” Tanya bundaku, “namanya Ranika bun, aku ketemu dia pas nungguin ayah ambil mobil di parkiran. Dia itu anaknya gigih dan pekerja keras, dia rela tidak sekolah karena harus menghidupi adiknya dan ibunya juga sudah tidak bekerja karena lumpuh,” jawabku, “kasihan sekali dia nak. Apa dia benar-benar ingin sekolah?” Tanya ayahku, “iya ayah, sepertinya dia dulu berprestasi,” jawabku.
Aku sudah lama tidak bertemu dengan Ranika, aku terlalu sibuk mengerjakan tugas sekolah yang menumpuk. Hari ini aku berencana untuk menemui Ranika di tempat biasa dia berkeliling untuk menjajakkan dagangannya. Aku sudah lama menunggunya, namun ia tak kunjung datang, kemana Ranika. Aku pun memberanikan diri untuk bertanya pada seorang anak kecil yang sedang menunggu calon pelanggannya datang, “dek, aku bisa minta tolong nggak?” tanyaku, “bisa kak, kakak mau nyemir sepatu ya?” jawab anak itu, karena tidak tega akupun menyemirkan sepatuku. “dek kamu tahu nggak rumahnya Ranika yang pedagang asongan di daerah sini?” tanyaku pada anak itu yang sedang menyemir sepatuku, “oh kakak Nika ya. Aku tahu kak, mau aku anterin?” jawabnya, tanpa menjawab aku pun di ajaknya ke rumah Ranika. Belum sampai di rumah Ranika, aku tertegun melihat Ranika yang tergeletak tak berdaya di pinggir jalan, aku pun langsung menghampirinya. Kulihat banyak darah yang berkucuran dari tubuhnya, seperti dia baru saja kecelakaan. “Ran, kamu udah sadar?” tanyaku saat melihat Ranika mulai membuka matanya, “aku dimana Ri?” tanyanya, “kamu di rumah sakit Ran, kayaknya kamu korban tabrak lari,” jawabku. Setelah kondisi Ranika mulai membaik, aku mengajaknya ke rumahku dan memperkenalkannya pada orang tuaku, sepertinya mereka menyukai Ranika. Orang tuaku seperti sedang membicarakan sesuatu yang serius, aku mencoba mendekat agar tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Ternyata mereka ingin mengadopsi Ranika.
Keesokan harinya, orang tuaku memintaku menunjukkan arah ke rumah Ranika. Aku mengiyakannya. Ternyata dugaanku benar, mereka sedang memita ijin pada orang tua Ranika untuk mengadopsinya. Ranika terlihat terkejut dan tidak percaya, tetapi terlihat raut wajahnya sedang bingung. “maaf pak, saya tidak bisa menjadi anak bapak dan ibu. Saya harus tetap menjaga ibu dan adik saya,” kata Ranika menolak tawaran ayahku. Kulihat ada raut kekecawaan di wajah bunda dan Ranika. Karena aku tahu Ranika benar-benar ingin sekolah, aku mulai mencari peluang beasiswa di sekolahku dan aku mendapatkannya. Aku menawarkannya pada Ranika dan dia menerimanya, Ranika mau sekolah tapi tanpa di biayai orang lain kecuali beasiswa ataupun hasil jerih payahnya sendiri.
Akhirnya Ranika bisa bersekolah bersama denganku. Dia mendapat beasiswa prestasi karena prestasi yang ia dapatkan sendiri tanpa bantuan orang lain. Dan kini aku sudah mempunyai teman.
Cerpen Karangan: Selviana Facebook: Selviana Silfy