“Hati-hati,” suara lembut itu membuatku mendongak. Pemuda itu tersenyum dan mengulurkan tangan kanannya. Senyum manis dari bibirnya terukir sempurna. Aku hela nafasku dan membalas senyumnya walau terkesan janggal.
“Terima kasih tapi maaf,” balasku mencoba bangkit dan mengabaikan uluran tangannya. Bukannya bermaksud menyombongkan diri, hanya begitulah cara yang paling tepat menjaga hatiku. Aku tak mau menyentuh dan disentuh oleh orang lain yang bukan muhrimku. Bagiku, sentuhan itu hanya boleh dilakukan oleh sepasang kekasih dalam hubungan yang dihalalkan Tuhan.
“Mau melihat senja?” Tawarnya mensejajarkan tubuhnya dengan posisiku. Dia mengangguk untuk meyakinkanku. Well, tak ada alasan untuk menolaknya. Lagipula, sepertinya itu ide bagus. Menikmati senja di bukit Sorbonne.
“Nathan,” ujarnya menatapku, sesaat mata kami bersiborok pada satu garis lurus, “Kim Nathan.”
“Jung Nara. Senang mengenalmu.”
Ia mengangguk lalu merapatkan jaketnya. Tatapan kami mengarah pada lembah yang terhampar begitu indah. Lembah itu berupa sabana, sebuah padang rumput yang hijau. Di posisi jam dua, matahari mulai menenggelamkan diri. Cahaya kemerahannya bersemburat dengan warna kekuningan. Lazuardi begitu indah dan memikat bagi siapapun yang melihatnya.
“Inilah waktu yang dinantikan para fotografer. Hanya beberapa menit dan bumi seperti surga Tuhan yang menawan,” suaranya kembali menyergapku. Menghantarkan gelombang mistik yang entah bagaimana mulanya bisa menciptakan ketenangan dalam hatiku.
“A speed moment,” bisiknya lagi.
“Kau lihat sebelah sana!” Suruhnya menunjuk arah yang berlawanan dari matahari. Skuadron warna hijau memenuhi langit sore itu. Mereka mengepak dan berkawan. Burung punai itu menukik lalu kembali terbang bergerombol membuat bukit tempatku berdiri berubah menjadi sedikit gelap. Mataku tercengang menyaksikan pendaran warnanya. Warna keemasan berpadu warna hijau muda para punai. Aku mendesah. Bibirku mengucapkan tasbih, memuji keagungan Tuhan yang amat indah.
“Mereka indah,” Nathan menatap takjub ke langit, “Sungguh, aku ingin bebas seperti mereka. Terbang bebas mengelilingi bumi tanpa takut tersesat, bersahabat dengan lainnya.”
Jauh dalam lubuk hatiku, aku membenarkan ucapannya.
“Kau bandingkan dengan kita, kebanyakan manusia itu egois, mereka membunuh dengan mengucapkan nama Tuhan, mencaci dengan alasan Tuhan.” Nathan berhenti lalu kembali menatap langit yang kini berwarna keemasan lagi karena kawanan burung punai itu sudah melintas jauh, “kadang, aku berfikir, apakah kita layak disebut manusia.”
“Manusia itu tempat salah dan lupa,” belaku lalu menatap kosong ke bukit didepanku, “kita tak bisa menghakimi seseorang apalagi jika itu sudah menyangkut spiritualitas.”
“Kau benar! Kebenaran mutlak milik Tuhan dan tugas kita adalah mencarinya, bukan memutuskan dengan semena-mena.”
Obrolan kami terhenti saat ada beberapa rombongan mahasiswa filsafat duduk di bawah pohon maple. Sepertinya, mereka akan belajar filsafat dengan dosen Sorbonne University. Aku mengamati mereka, tiap pernyataan yang dikeluarkan dosen sebagai wujud bahwa dia seorang filosof, reaksi beberapa mahasiswa yang tak menyetujui pemikiran radikalnya atau beberapa mahasiswa dengan tampang penjilat yang mencoba mencari muka di hadapan dosen itu.
Tanpa kutahu alasannya, Nathan melangkah ke arah mereka. Ia duduk dengan santai diantara mahasiswa filsafat.
“Kalian tahu, pada dasarnya, perpecahan ummat beragama itu disebabkan oleh kebodohan mereka. Ada segolongan orang yang marah saat kitab suci mereka dibakar, diludahi dan diinjak oleh segolongan orang lain,” ucap si Dosen yang menyamarkan siapa golongan itu. Sebagai mahasiswa fakultas pendidikan, aku tahu caranya menyampaikan materi yang sangat menjaga etika. Aku suka caranya mengajar tapi tak suka apa yang dia sampaikan.
“Padahal, mereka tahu, kitab suci mereka itu ada dalam fikiran dan sudah di tulis dalam kalam Tuhan. Yang dibakar, diludahi dan diinjak itu hanya kumpulan kertas. Bukan hakikat kitab suci, jadi kenapa mereka saling hujat dan saling menyerang? Sebuah pemikiran yang bodoh.” Lanjut si Dosen mendapat anggukan dari beberapa mahasiswa tapi juga mendapat tatapan amarah dari beberapa mahasiswa lain, “ada yang tak setuju dengan pemikiran saya?”
“Sir!” Nathan mengacungkan tangannya dan berdiri dari duduknya.
“Yes, kau… Apa kau keberatan dengan pernyataanku?”
“Tidak, sir. Aku hanya ingin bertanya, apa ini diktat mata kuliahmu?” Entah darimana dapatnya, Nathan mengacungkan sebuah diktat ke udara, membuat dosen filsafat itu menurunkan kacamatanya untuk memastikan apa memang benar itu diktatnya.
“Iya, apa kau bukan mahasiswaku?”
Nathan meringis lalu ia menyalakan korek api dan membakar diktat yang ia genggam. Detik berikutnya, ia membuang diktat yang berkobar itu ke tanah dan menginjak-injaknya. Tak cukup hanya itu, ia juga meludahinya. Sejenak, aku berfikir bahwa Nathan adalah pemuda radikal seperti Karl Mark.
“Hey! Cari masalah kau! Dimana otakmu?! Kau memancingku? Siapa kau berani-beraninya membakar, menginjak dan meludahi diktatku?” Dosen itu naik pitam dan bergegas menuju Ryeowook yang berdiri dengan melipat kedua tangannya di dada.
“Kau marah Sir?”
Dosen itu menatap nanar Nathan. Dadanya kembang kempis menahan emosi yang meledak. Wajahnya juga sudah merah padam. Oh, Nathan!
“Sir, bukannya anda yang mengatakan bahwa diktat itu hanya kumpulan kertas? Bukankah ilmunya ada dalam pikiranmu, bukan di kertas itu?” Nathan menunjuk kertas yang kini terbakar dan rusak, “Kau lupa?”
Dosen itu gelagapan lalu tanpa suara meninggalkan mahasiswanya yang terpaku menatap Ryeowook yang cengengesan bahagia. Dosen itu menggerutu lalu hilang di balik pagar taman bukit kampus.
Aku tersenyum, kulihat Nathan yang sedang dielu-elukan mahasiswa filsafat, mereka bersorai bahagia, merayakan kekalahan dosen filsafat tadi. Baiklah, inilah Sorbonne University! Sebuah kampus terbaik dunia, disini segala macam pemikiran beragam dan demokrasi dijunjung tinggi. Di Sorbonne, Mereka yang kuat bukanlah yang berharta, berfisik sempurna atau memiliki jabatan tapi yang kuat adalah mereka yang berilmu.
“Kau mau pulang?” Tanya Nathan menghampiriku setelah bereuforia dengan mahasiswa yang tak dikenalnya.
“Nathan, Thanks!” Ujarku lalu tersenyum.
“Untuk apa?”
“Perkenalan kita,” sahutku enteng lalu berjalan mendahuluinya. Ia mengejarku dan berjalan sejajar denganku.
“Ah, kau lupa dengan dalil dalam agamamu?” Nathan menatapku lalu pindah ke jilbab hijau yang kukenakan, “Allah menciptakan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling kenal mengenal.”
“Well, aku setuju tapi tunggu, darimana kau belajar tentang agamaku dan darimana kau tahu kalau agamaku islam?”
“Kau berjilbab, itu yang membedakanmu dengan mahasiswa Korea lain,” lanjutnya, “Kau bisa memanggilku Ryeowook, aku ini mahasiswa asal Korea selatan, TULEN!” Ryeowook tersenyum setelah menekankan kata tulen di akhir kalimatnya.
“Baiklah, sepertinya kau harus membayarku karena memintaku memanggilmu dengan nama Korea,” cibirku mencoba menggodanya. Entahlah, aku nyaman berbicara dengannya. Ada sisi lembutnya yang manis saat kulihat tingkahnya dan ada sisi evil dalam bicaranya. Ini kepribadian yang keren.
“Mau makan siang denganku?”
“No, thanks.” Ia menatapku seolah tak percaya bahwa aku menolak ajakannya, “Aku puasa.”
“Oh, sorry.” Kekehnya senang lalu menyenandungkan lagu. Aku tersenyum sejenak dengan perilaku anehnya. Dia meminta maaf lalu bernyanyi. Namja ini benar-benar!
END
Cerpen Karangan: Rail Rahardian Facebook: Susan Arisanti Susan Arisanti, memiliki nama pena Rail Rahardian. Lahir di Blitar pada 2 Januari 1990. Gadis yang tinggal di salah satu kabupaten di Lampung; Way Kanan ini memiliki akun twitter @sa02011, akun fb Susan Arisanti, dan email ariantisusan@gmailcom. Mulai menulis dalam masa yang tak terlalu lama, sekitar tahun 2012. Inspirasi untuknya adalah saat bersama dengan orang-orang tercinta guna menikmati kehidupan. Baginya, hidup adalah pilihan dan begitulah ia memilih untuk totalitas dalam menulis dan mengabdikan diri di dunia pendidikan.